Pemerintah Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 57:
Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensil. Akan tetapi, sifatnya tidak murni karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran itu antara lain tercermin dalam konsep pertanggungjawaban [[Presiden Indonesia|Presiden]] kepada [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia|MPR]] yang termasuk ke dalam pengertian lembaga parlemen dengan kemungkinan pemberian kewenangan kepadanya untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya, meskipun bukan karena alasan hukum. Kenyataan inilah yang menimbulkan kekisruhan, terutama dikaitkan dengan pengalaman ketatanegaraan ketika [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]] diberhentikan dari jabatannya. Jawaban atas kekisruhan itu adalah munculnya keinginan yang kuat agar anutan sistem pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat Presidensil dipertegas dalam kerangka perubahan Undang-Undang Dasar 1945.<ref name="struktur tata negara"/>
 
Selain alasan yang bersifat kasuitiskasuistis itu, dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama ini memang selalu dirasakan adanya kelemahan-kelemahan dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem pemerintahan yang dianut, dimata para ahli cenderung disebut ‘quasi presidentil’ atau sistem campuran dalam konotasi negatif, karena dianggap banyak mengandung ''distorsi'' apabila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang mempersyaratkan adanya mekanisme hubungan ''checks and balances'' yang lebih efektif di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kerana itu, dengan empat perubahan pertama UUD 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan Presiden langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem pemerintahan Indonesia semakin tegas sebagai sistem pemerintahan Presidensil.<ref name="struktur tata negara"/>
 
== Yudikatif ==
Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamahMahkamah agungAgung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa [[kekuasaan]] kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar Mahkamah Agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (''constitutional court'') yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (''supreme court''). Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan [[Mahkamah Konstitusi]] yang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.<ref name="struktur tata negara"/>
 
Dalam perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang; (b) mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar; (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan (e) memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik<ref name="struktur tata negara"/>