Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Gilang Bayu Rakasiwi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Gilang Bayu Rakasiwi (bicara | kontrib)
Baris 59:
[[Berkas:Alun-alun Lor.JPG|jmpl|240px|Tanah lapang, "Alun-alun Lor", di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon ''Ringin Kurung''-nya]]
 
Alun-alun Lor ([[Hanacaraka]]: {{jav|ꦄꦭꦸꦤ꧀​ꦄꦭꦸꦤ꧀​ꦭꦺꦴꦂ}}) adalah sebuah lapangan berumput<ref>Aslinya Alun-alun ditutupi dengan pasir dari pantai selatan (Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat [Media])</ref> di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi<ref>Gambaran dinding pagar di sekeliling alun-alun yang relatif masih seperti aslinya dapat dilihat di Alun-alun Kidul, dimana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan lebih utuh (On location [[Desember]] [[2007]])</ref>. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.
 
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (''Ficus benjamina''; famili ''Moraceae'') dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan '''Waringin Sengkeran/Ringin Kurung''' (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama '''Kyai Dewadaru''' dan '''Kyai Janadaru'''<ref>Versi lain bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru.</ref>. Pada zamannya selain Sultan hanyalah ''Pepatih Dalem ''<ref>Pepatih Dalem adalah pegawai kerajaan tertinggi yang diangkat oleh Sultan untuk mengelola kerajaan.</ref> yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe"<ref>Tapa Pepe bermakna menjemur diri. Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh ''Pepatih Dalem'' bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta.</ref> saat Pisowanan Ageng<ref>Pisowanan ageng bermakna pertemuan besar. Dalam kegiatan ini rakyat dan pejabat menghadap/menemui Sultan sebagai tanda kesetiaan mereka kepada Sultan dan Kesultanan.</ref> sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah<ref name="ReferenceA"/>. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.