Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 53:
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orangtuanya. Walaupun ayahnya adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hari-hari pertama setelah orangtuanya bercerai, Malik tak masuk sekolah. Ia menghabiskan waktu berpergian mengelilingi kampung yang ada di Padangpanjang. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah, hingga mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya marah saat mendapati Malik di pasar pada hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik sempat membolos selama lima belas hari berturut-turut sampai seorang gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik. Mengetahui Malik membolos, ayahnya marah dan menamparnya.
 
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Sejak ia menemukan bahwa gurunya, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka bibliotek, perpustakaan persewaan buku, Malik sering menghabiskan waktunya membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan [[Balai Pustaka]], cerita China, dan karya terjemahan Arab. Setelah rampung membaca, Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perekat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Namun, karena Malik sering kedapatan sering membaca buku cerita, ayahnya menanyakan apakahkepada dirinya apakah akan "menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita". Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berpura-pura membaca.
 
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek.PNG|ka|jmpl|262px|[[Masjid Jamik Parabek]]]]
 
Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke Maninjau untuk mengunjungi ibunya. Namun, ia merasa tidak diperhatikan sejak ibunya menikah lagi. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar ''[[kaba]]'', kisah-kisah yang dinyanyikan bersama [[Musik Minang|alat-alat musik tradisional Minangkabau]]. Ia berjalan lebih jauh sampai ke [[Bukittinggi]] dan [[Payakumbuh]], sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama [[Ibrahim Musa|Syekh Ibrahim Musa]] di [[Parabek, Ladang Laweh, Banuhampu, Agam|Parabek]], sekitar lima kilometer dari Bukittinggi. Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka hidup mandiri.
 
Di Parabek, Malik remaja berlajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun belajar menyesuaikan diri, Malik masih membawa kenakalannya. Malik pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti hariamau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya tahayultakhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Malik berjalan keluar asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan keesokan hari berencana membuat perangkap keesokan hari, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=17}} Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=52}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=7}}<!-- Kecenderungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, Datuk Indomo kepada Malik -->
 
== Perantauan ==