Pariwisata di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis) |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
||
Baris 25:
|page =
}}</ref>
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Straatgezicht bij Hotel Centrum in Fort de Kock TMnr 60043496.jpg|thumb|left|Hotel Centrum di Fort de Kock (sekarang [[Bukittinggi]] pada 1900-an.<!--Kota ini telah dipromosikan menjadi salah satu kota tujuan wisata (touristdestination) di Sumatera. Asisten Residen Agam L.C. Westenenk menulis buku panduan untuk turis guna mempromosikan Fort de Kock dan daerah-daerah sekitarnya sebagai daerah tujuan wisata, yaitu: Acht Dagen in de Padangsche Bovenlanden (1909) dan Sumatra: Illustrated Tourist Guide: Fourteen Days Trip in the Padang Highlands (The Land of Minangkabau) (1913).-->]]
Setelah [[Sejarah Nusantara (1800-1942)|masuknya Bangsa Belanda ke Indonesia]] pada awal abad ke-19, daerah Hindia Belanda mulai berkembang menjadi daya tarik bagi para pendatang yang berasal dari [[Belanda]],<ref name="sejarah"/> yang pada awalnya —di daerah seperti Jawa— masih tertutup bagi para wisatawan. Di era-era ini, pemerintah kolonial tidaklah menyukai wisatawan karena alasan stabilitas keamanan pasca pemberontakan-pemberontakan di Jawa dan [[Perang Aceh]], juga agar masyarakat asing tak menyaksikan kemewahan pejabat kolonial yang didapat dari hasil eksploitasi kekayaan di Pulau Jawa dan lainnya di Nusantara.<ref name=saidi>{{aut|Saidi, Ridwan}} (24 Maret-6 April 1989). "Pariwisata Tempo 'Doeloe' di Jawa". ''Amanah''. '''71''': Hlm 12, 13, & 118. [[Jakarta]]: PT Sarana Bakti Semesta. ISSN 0215-255X.</ref> Kelak, gubernur jenderal pada saat itu memutuskan pembentukan biro wisata yang disebut ''Vereeeging Toeristen Verkeer'' pada 13 April 1908 di [[Batavia]] yang gedung kantornya juga digunakan untuk maskapai penerbangan ''Koninklijke Nederlansch Indische Luchtfahrt Maatschapijj'' (kini disebut dengan [[KLM]]).<ref name="sejarah"/><ref name=historia>{{cite web|url=https://historia.id/politik/articles/turis-bukan-hanya-orang-asing-6aeB0|title=Turis Bukan Hanya Orang Asing|author=Firdausi, Fadrik Aziz|date=7 Juli 2017|accessdate=6 Februari 2019|work=Majalah Historia}}</ref> Tak lama daripada itu, pada 1911 sudah tiada lagi hambatan bagi para pelancong untuk bergerak bebas hambatan di seluruh Jawa dan 1916, buat pulau-pulau lainnya. Ketika itu, Jawa menjadi tempat perlancongan yang mahal oleh sebab tingginya biaya [[kapal uap]] dari [[Singapura]] ke [[Batavia]]. Wisatawan di awal abad ke-20 suka melewati dataran-dataran tinggi di daerah [[Jawa Barat]] untuk melawat ke 'jantung hati' kebudayaan Jawa, yakni di [[Jogjakarta]] dan [[Surakarta]].<ref>{{aut|Cohen, Matthew Isaac}} (editor: Janelle Reinelt dan Brian Singleton) (2010). ''[https://books.google.co.id/books?id=rb-GDAAAQBAJ&pg=PA49 Performing Otherness: Java and Bali on International Stages, 1905-1952]'' hlm.49. Diterbitkan oleh Palgrave-Macmillan dan Springer. ISBN 978-0-230-30900-5.</ref> Hotel-hotel mulai bermunculan seperti [[Hotel des Indes]] di [[Batavia]], [[Hotel Majapahit|Hotel Oranje]] di [[Surabaya]] dan [[Hotel De Boer]] di [[Medan]].<ref name="sejarah"/>
|