Universitas Khairun: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di hari + pada hari)
→‎top: bentuk baku
Baris 99:
Kapten Altaide dalam laporannya menyebutkan bahwa penduduk Kristen Katolik di Halmahera Utara pernah membantunya dalam berperang melawan orang-orang Muslim di wilayah itu dalam rangka membangun Portugis Baru di Kepulauan Maluku. Meskipun begitu, Leonard Y. Andaya (sejarawan Universitas Hawaii) memiliki yang agak berbeda dengan Valentijn, Xaverius, Galvao, de Castro hingga Altaide seperti yang telah diuraikan di atas. Andaya lebih lanjut mengatakan bahwa kebesaran Sultan Khairun sebagaimana ditunjukannya dalam perjuangan itu adalah karena ia dikenal sebagai seorang pembela Islam yang sangat kuat.
 
Secara historis, pencitraan Portugis mengenai sikap dan watak Sultan Khairun yang santun dan toleran adalah suatu kekeliruan belaka. Di balik itu semua, pengiriman Kaicili Khairun oleh Altaide ke Goa untuk alasan pendidikan, ternyata menciptakan suatu bangunan pemikiran tersendiri bagi Kaicili Khairun yang bertujuan untuk menanamkan citra jelek dengan memusuhi dan anti kepada agamanya sendiri, Islam. Hal tersebut dapat dicermati dari amanat Kaum Salibis Eropa sebagaimana termanifestasi dalam teori 3G (Gold, Gospel, and Glory), bahwa bangsa Iberia (Andalusia; Portugis dan Spanyol) diharapkan mampu mewujudkan impian mereka atas dominasi Kerajaan Moro (Islam) di Kepulauan Maluku. Artinya, dalam rangka untuk menguasai perdagangan cengkehcengkih di kepulauan ini, maka peran penting bangsa Portugis adalah untuk melenyapkan kekuasaan Islam atas dominasi mereka dalam perdagangan cengkehcengkih di wilayah itu. Dalam literatur Spanyol, Kerajaan Maluku sering disebut sebagai Moro atau orang Moro yang dapat dimaknai sebagai Kerajaan Islam. Istilah Moro yang kemudian dikenal di Maluku sekarang, pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Eropa ketika mereka datang di Maluku pada abad ke-16. Sesuai laporan Pigafetta tahun 1521, bahwa ketika bangsa Spanyol tiba pertama kali di Tidore dengan kapal Victoria dan Trinidad yang bertujuan untuk membeli cengkehcengkih di pulau ini, seseorang yang mula-mula menyambut kedatangan Spanyol dan naik ke atas kapal Victoria adalah Sultan Tidore, Al-Mansur. Lebih lanjut dikatakan oleh Pigafetta bahwa Al-Mansur adalah seorang Moro. Informasi sebagaimana disampaikan oleh Pigafetta ini dapat disimpulkan bahwa Al-Mansur adalah seorang Muslim atau seorang yang beragama Islam. Kata Moro, adalah sebutan dari orang-orang Iberia (Andalusia) kepada pasukan Islam Maroko yang pernah menginvasi wilayah itu melalui Maroko (Afrika Utara) pada 19 Juli 711 yang dipimpin oleh Thariq Ibn Ziyad. Istilah Moro di Eropa, memiliki konotasi pada ajaran Islam, kerajaan Islam, dan orang Islam. Rentetan peristiwa ini merupakan bagian dari upaya Kaum Salibis Eropa untuk menaklukan Kerajaan Islam, memaksa penduduk Muslim untuk mengkonversi agama mereka ke Kristen Katolik di wilayah manapun mereka temui, termasuk Kerajaan Islam dan orang Islam di Kepulauan Maluku. Di belahan Dunia-Timur, sebutan Moro tidak hanya terdapat di Kepulauan Maluku saja, tetapi juga istilah ini terdapat di wilayah Filipina Selatan yang dikonotasikan kepada para pejuang Front Pembebasan Nasional Islam-Moro (MNLF) yang dipimpin oleh Nur Misuari. Di wilayah ini terdapat dua Kerajaan Islam, yaitu Mangindanao dan Sulu yang pada masa lalu pernah memiliki jaringan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku. Wilayah Filipina Selatan juga pernah digunakan oleh Spanyol sebagai pusat untuk mengontrol jaringan perdagangan rempah-rempah (cengkehcengkih) di Kepulauan Maluku.
 
Namun sayangnya, impian bangsa Iberia itu telah menjadi isapan jempol belaka seiring peristiwa pada 28 Februari 1570. Perjuangan Sultan Khairun yang sesungguhnya adalah melindungi kemakmuran kerajaan di balik kebesaran ideologi. Bagi Sultan Khairun; Islam, CengkehCengkih, dan Kerajaan adalah satu kesatuan trilogi kerajaannya (triaspolitika-Maluku) yang sudah sejak lama membentuk karakter orang-orang Maluku seperti yang digambarkan oleh Andaya sebagai Dunia-Maluku. Dunianya orang-orang Maluku yang jauh berbeda dengan Dunia-Eropa. Dengan cengkehcengkih, agama Islam dan Kerajaan (Kesultanan) telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat di wilayah Kepulauan Maluku yang dapat dijadikan oleh penduduk setempat sebagai ideologi dan karakter mereka hingga kini. Karena cengkehcengkih itu pulalah, banyak anak yatim, janda dan air mata menjadi kenangan pahit di kawasan ini.
 
'''Wafatnya Sultan Khairun'''
Baris 113:
Pada penghujung tahun 1575, Sultan Babullah menerima informasi bahwa ada beberapa kapal Portugis di Peraian bagian timur Manado sedang menuju ke Ternate. Informasi ini telah menimbulkan kehawatiran Sultan Babullah kalau kapal-kapal itu akan membawa pasukan pengawal Portugis dari Malaka ataupun Goa yang akan menyerang Ternate. Sultan Babullah kemudian memerintahkan pasukannya untuk menyerang benteng Sao Paolo di Gamlamo. Namun, sebelum benteng itu diserbu oleh pasukan Sultan Babullah, kapten benteng Sao Paolo terakhir, yaitu Nuno Pareira de Lacerda menawarkan perdamaian dengan Sultan Babullah. Penawaran perdamaian yang diajukan oleh de Lacerda kepada Sultan Babullah, tetapi hanya ditanggapi oleh Babullah bahwa orang-orang Maluku kini telah bersatu untuk melawan orang-orang Portugis. Atas jawaban Sultan Babullah seperti itu membuat de Lacerda kemudian menyetujui untuk mengakhiri perang dengan Ternate dan menyerah tanpa syarat kepada Sultan Babullah. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1575. Tiga hari kemudian, sebuah kapal Portugis yang tiba di Ternate dari Malaka, diperintahkan oleh Sultan Babullah untuk mengangkut seluruh orang-orang Portugis maupun penganut Kristen Katolik lokal untuk meninggalkan Ternate menuju Ambon dan selanjutnya mereka ke Malaka.
 
Setelah pengusiran orang-orang Portugis keluar dari Ternate itu, Sultan Babullah mengirimkan sepucuk surat kepada Raja Portugis di Lisabon untuk meminta keadilan dan pertanggung-jawaban de Lacerda atas kematian ayahnya. Kepada de Lacerda yang akan meninggalkan Ternate, Sultan Babullah mengatakan bahwa ia akan memelihara benteng Sao Paolo untuk Raja Portugis, dan mengizinkan seorang kapten dengan 12 orang anggota pasukan pengawal untuk menangani kepentingan Portugis yang mendesak di Ternate. Akan tetapi, 13 orang Portugis yang tersisa di benteng Sao Paolo itu ada yang berkeinginan bergabung dengan rekan-rekan mereka untuk berlayar meninggalkan Ternate menuju Ambon. Dalam pelayaran ke Ambon itu ada sebagian di antara mereka singgah dan menetap di pulau ini, dan sebagiannya lagi meneruskan perjalanan mereka menuju Malaka. Meskipun begitu, ada beberapa orang Portugis memilih untuk tinggal dan menetap di Ternate karena di antara mereka itu ada yang menikah dengan perempuan lokal setempat. Sebagian dari mereka juga memilih untuk tinggal dan menetap di Tidore dalam rangka melanjutkan perdagangan cengkehcengkih dengan penduduk dipulau itu. Benteng Sao Paolo di Gamlamo Ternate yang semula dibiarkan kosong itu kemudian digunakan oleh Sultan Babullah dan kemudian Sultan Said sebagai kedaton resmi mereka hingga benteng itu diambil alih dan diduduki oleh bangsa Spanyol pada tahun 1606. Sinyalemen para sejarawan Eropa mengenai Kidung Senja Portugis di Kepulauan Maluku ternyata terbukti kebenarannya. *
 
1957-1964: Fase Perjuangan Ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, terbukalah kran kebebasan bagi anak bangsa Indonesia. Kebebasan untuk menentukan bentuk negara sendiri terlepas dari bayang-bayang para penjajah, dan kebebasan untuk mengatur diri dan mensejahterakan rakyat banyak, termasuk dalam pendidikan. Setelah Indonesia Merdeka, pendidikan yang awalnya terbatas hanya di kalangan tertentu dalam masyarakat kolonial, kini mengalami perkembangan signifikan. Seiring-sejalan dengan kemerdekaan itu, geliat untuk menciptakan kebebasan dan peningkatan kualitas pendidikan juga berkembang di Maluku Utara. Di Kota Ternate misalnya, pada tahun 1955 telah berdiri SMA Negeri dan SGA, dan tahun 1956 berdiri Yayasan Pendidikan Islam yang membina SD, SMP dan SMA Islam, menyusul SMA Katolik. Seiring dengan itu juga, cikal-bakal pendirian universitas juga terlahir di Kota Ternate. Menurut Adnan Amal, salah seorang pendiri Unkhair, latar belakang berdirinya Unkhair karena perjuangan politik untuk memperjuangkan terbentuknya Provinsi Maluku Utara. Jadi, bukan semata-mata pendidikan. Itu yang penting kita ketahui. Waktu itu belum ada universitas swasta di negeri ini, apalagi universitas di ibukota kabupaten. ―Untuk di Indonesia Timur barangkali hanya Ternate.‖ Berdirinya Unkhair adalah sebagai dukungan kepada terbentuknya provinsi. Drs. H. Rivai Umar, M.Si, dalam bukunya Memoriku Dari Mahasiswa Hingga Menjadi Rektor Universitas Khairun, menulis setidaknya ada tiga tujuan utama didirikannya Unkhair: pertama, untuk memberi kesempatan kepada para lulusan SLTA yang mempunyai kualifikasi akademik yang baik dan mau melanjutkan studi ke perguruan tinggi, terutama mereka memiliki keterbatasan keuangan; kedua, mempersiapkan tenaga Sarjana Muda dan Sarjana yang mampu mengelola pendidikan, pemerintahan, dan pembangunan di Maluku Utara, dan ketiga, sebagai salah satu institusi pelengkap bagi perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara.