Cultuurstelsel: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Membatalkan suntingan berniat baik oleh Muhammad Alfito (bicara): Riset asli tanpa sumber. (Twinkle ⛔)
Tag: Pembatalan
Baris 3:
 
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan [[Belanda]]. Wilayah yang digunakan untuk praktik ''cultuurstelstel'' pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
 
Beberapa sejarawan banyak yang berpendapat bahwa sebenarnya pemerintah Hindia Belanda hanya menetapkan aturan cultuurselsel sedangkan pelaksanaan dilakukan oleh pribumi setiap daerah dengan bupati sebagai pengawas dan penanggung jawab. Jika hasil bumi yang diserahkan suatu daerah lebih besar dari daerah lain maka kepala daerah yang bersangkutan akan mendapatkan ''cultuurprocenten'' (upah) dari pemerintah. Maka dari itu para bupati di setiap daerah di Hindia Belanda berlomba-lomba mendapatkan cultuurprocenten sebanyak mungkin dengan melakukan tanam paksa sehingga istilah 'tanam paksa' muncul karena keinginan bupati mendapatkan ''cultuurprocenten'' sebanyak mungkin.
 
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi [[Hindia Belanda]]. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli [[VOC]] karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada [[1835]] hingga [[1940]].