Penyatuan Jerman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 168:
<center><small> – artikel dari ''[[The New York Times]]'' yang diterbitkan pada 1 Juli 1866<ref>''[http://query.nytimes.com/mem/archive-free/pdf?res=F10F10F73D551A7493C3A9178CD85F428684F9 The Situation of Germany.]'' ([[Portable Document Format|PDF]]) - [[The New York Times]], 1 Juli 1866.</ref></center></small>
 
Kebutuhan akan besi ''dan'' darah tampak semakin mencuat. Pada tahun 1862, saat Bismarck mengutarakan pidatonya, gagasan sebuah bangsa-negara Jerman dalam jiwa [[Pan-Jermanisme]] yang damai telah bergeser dari karakter yang liberal dan demokratik pada tahun 1848 menjadi karakter yang mengakomodasi ''Realpolitik'' Bismarck yang lebih konservatif. Sebagai seorang pragmatis, Bismarck paham akan kemungkinan, hambatan, dan keuntungan sebuah negara yang bersatu. Ia juga memahami kepentingan mengaitkan negara tersebut dengan dinasti Hohenzollern, yang dianggap beberapa sejarawan sebagai kontribusi utama Bismarck terhadap pendirian [[Kekaisaran Jerman]] pada tahun 1871.<ref>Michael Eliot Howard, ''The Franco-Prussian War: the German invasion of France, 1870–1871.'' New York, MacMillan, 1961, hlm. 40.</ref> SekejtaraWalaupun traktat-traktat yang mengikat berbagai negara-negara Jerman melarang Bismarck untuk mengambil tindakan sepihak, jiwa politikus dan diplomat dalam diri Bismarck menyadari ketidakpraktisan tindakan tersebut.<ref>Mann, hlm. 390–395.</ref> Untuk menyatukan negara-negara Jerman, Bismarck memerlukan satu musuh dari luar yang akan menyatakan perang terhadap negara-negara Jerman terlebih dahulu, sehingga menjadi ''[[casus belli]]'' untuk mengerahkan semua orang-orang Jerman. Kesempatan ini muncul dengan meletusnya [[Perang Perancis-Prusia]] pada tahun 1870. Sejarawan telah lama memperdebatkan peran Bismarck dalam peristiwa-peristiwa yang mengarah pada perang tersebut. Menurut sudut pandang tradisional, yang didukung oleh sejarawan-sejarawan pro-Prusia akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sejak awal Bismarck memang bertujuan untuk menyatukan Jerman. Namun, sejarawan-sejarawan setelah tahun 1945 meyakini bahwa Bismarck bersifat oportunis dalam jangka pendek dan tidak memiliki skema besar untuk menyatukan Jerman.<ref>A.J.P. Taylor, ''Bismarck: The Man and the Statesman.'' Oxford, Clarendon, 1988. Bab 1, dan Kesimpulan.</ref> Meskipun begitu, Bismarck bukan penjahat maupun santo: dengan memanipulasi peristiwa pada tahun 1866 dan 1870, ia menunjukkan kemampuan politik dan diplomatik yang membuat Wilhelm beralih padanya pada tahun 1862.<ref>Howard, hlm. 40–57.</ref>
[[Berkas:Jutland Peninsula map.PNG|jmpl|180px|kiri|Dari utara ke selatan: wilayah [[Jutlandia]] bagian Denmark berwarna ungu dan merah tua, wilayah [[Kadipaten Schleswig|Schleswig]] berwarna merah dan coklat, dan [[Kadipaten Holstein|Holstein]] berwarna kuning muda. [[Permasalahan Schleswig-Holstein]] terkait dengan status wilayah-wilayah tersebut.]]
Terdapat tiga peristiwa yang berperan penting dalam penyatuan politik dan administratif Jerman. Peristiwa pertama adalah kematian [[Frederik VII dari Denmark]] tanpa penerus laki-laki, sehingga mengakibatkan [[Perang Schleswig Kedua]] pada tahun 1864. Kemudian, [[penyatuan Italia]] memberikan sekutu baru bagi Prusia untuk berperang melawan Austria dalam [[Perang Austria-Prusia]] pada tahun 1866. Yang terakhir, Perancis - yang takut dikepung oleh Hohenzollern - menyatakan perang terhadap Prusia pada tahun 1870, sehingga memicu [[Perang Perancis-Prusia]]. Melalui gabungan diplomasi dan kepemimpinan politik Bismarck, reorganisasi militer [[Albrecht von Roon|von Roon]], dan strategi militer [[Helmuth von Moltke yang Tua|von Moltke]], Prusia menunjukkan bahwa tidak ada penandatangan [[Traktat Paris (1815)|perjanjian perdamaian tahun 1815]] yang dapat menjamin lingkup pengaruh Austria di Eropa Tengah, sehingga Prusia memperoleh hegemoni di Jerman dan mengakhiri perdebatan dualisme.<ref>Sheehan, hlm. 900–904; Wawro, hlm. 4–32; Holt, hlm. 75.</ref>