Filsafat Buddhis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 137:
|style="line-height: 125%; font-size: 80%; padding: 2px 2px 2px 3px; border-top: 1px solid #777; background: #FFFFCC"|{{navbar|Buddhisme|plain=1}}
|}
'''Filsafat Buddha''' merujuk pada pandangan atau penerapan ajaran [[Buddha]] terhadap terhadap nilai-nilai kehidupan, [[eksistensi]], [[pengetahuan]], [[Budi|akal budi]], [[materi]], serta [[moralitas]] manusia. Semasa hidupnya, [[Siddhartha Gautama|Buddha Gautama]] secara personal tidak pernah mendokumentasikan apa yang ia ajarkan dalam bentuk tulisan, sehingga filsafat Buddha dibangun berdasarkan rekonstruksi yang dilakukan terhadap ajaran-ajaran Buddha yang berkembang di perguruan-perguruan Buddha pasca kematian beliau.<ref>Emmanuel M. Steven (2013). ''[https://books.google.co.id/books/about/A_Companion_to_Buddhist_Philosophy.html?id=P_lmCgAAQBAJ&redir_esc=y A Companion to Buddhist Philosophy]''. Willey-Blackwell. hlm 1. "Another salient fact for us is that the Buddha did not commit any of his teachings to writing..."</ref> Pokok kajian filsafat Buddha pada awalnya ditekankan pada [[dukkha]] yang menjadi awal permasalahan dan eksistensi kehidupan di dunia ini. Pokok kajian tersebut di rangkum dalam empat kebenaran mulia, termasuk didalamnya jalan pembebasan dari dukkha tersebut untuk mencapai nibbana.<ref>{{Cite book|url=https://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/buddha/|title=The Stanford Encyclopedia of Philosophy|last=Siderits|first=Mark|date=2015|publisher=Metaphysics Research Lab, Stanford University|editor-last=Zalta|editor-first=Edward N.|edition=Spring 2015}}</ref> Seiring berjalannya waktu, kajian filsafat Buddha kemudian mencakup kajian filsafat pada umumnya seperti [[etika]], [[epistemologi]], [[fenomenologi]], [[logika]], [[ontologi]], serta [[logika]] ; termasuk nantinya isu-isu kontemporer seperti etika lingkungan, [[biomedis]], perang dan perdamaian, [[hak asasi manusia]] hingga studi gender.
 
Seperti ajaran Buddha yang berkembang menjadi dua aliran yang dikenal secara umum; [[Theravada]] dan [[Mahayana]]. Kajian terhadap filsafat Buddha juga terbagi kedalam beberapa perguruan Buddhis yang berkaitan dengan dua aliran tersebut. Perguruan-perguruan ini memiliki persepsi yang berbeda terhadap beberapa poin dalam ajaran Buddha, yang kemudian menjadi kajian ilmu filsafat klasik maupun kontemporer.
Baris 200:
====== Kamma ======
{{Main|kamma}}
Kamma atau karma (dalam bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti perbuatan atau suatu aksi. Istilah ini merujuk fenomena dimana setiap aksi atau perbuatan pastilah membawa konsekuensi. Ajaran Buddha memberikan perhatian bahwa setiap perbuatan yang patut atau tidak patut dan kebiasaan yang bermanfaat atau merugikan akan membawa kita kepada suatu konsekuensi yang sesuai.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/437204503|title=An Introduction to Buddhist Philosophy.|last=J.|first=Laumakis, Stephen|date=2008|publisher=Cambridge University Press|isbn=9780511385896|location=Leiden|oclc=437204503}} Hlm. 83. "Literally ‘‘action’’ or ‘‘deed,’’ this term refers to the fact that actions, intentions, volitions, and, in general, states of mind have or produce consequences. The basic Buddhist account of it is that appropriate and inappropriate, wholesome and unwholesome mental tendencies or habits lead to actions that ultimately produce fruits orconsequences. "
</ref> Kamma menempatkan individu sebagai penanggunnya. Suatu individu akan menerima baik-buruknya konsekuensi dari perbuatannya entah saat ini, di masa depan atau dikehidupan berikutnya.<ref>{{Cite web|url=https://www.thebuddhistsociety.org/page/kamma-actions-and-results|title=The Buddhist Society: Kamma - Actions and Results|website=www.thebuddhistsociety.org|language=en|access-date=2017-10-20}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.accesstoinsight.org/lib/study/kamma.html#kamma|title=Kamma: A Study Guide|website=www.accesstoinsight.org|language=en|access-date=2017-10-20}}</ref>
 
Baris 211:
{{utama|Buddha Theravada}}
[[Berkas:Sermon in the Deer Park depicted at Wat Chedi Liem-KayEss-1.jpeg|kiri|jmpl|Lukisan Sang [[Siddhartha Gautama|Buddha Gautama]] saat melakukan ceramah.]]
Theravada secara harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran Dahulu". [[Theravada]] merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan ajaran Buddha pada awalnya.<ref>Emmanuel M. Steven (2013). [https://books.google.co.id/books/about/A_Companion_to_Buddhist_Philosophy.html?id=P_lmCgAAQBAJ&redir_esc=y ''A Companion to Buddhist Philosophy''.] Willey-Blackwell. hlm 72-85. "The title “Theravāda” is Pāli language, meaning “doctrine (vāda) of the Elders ...(thera),”
</ref> Ajaran Theravada berakar pada ontologi yang realistis terhadap alam semesta. Dalam definisi ini, pemikir , pikiran dan objek yang dipikirkan merupakan entitas yang keadaannya tidak saling berkaitan, sehingga objek merupakan hal yang nyata dan bukanlah produk pemikiran dari subjek pemikir.<ref name=":12">{{Cite web|url=http://www.advaitayoga.org/advaitayogaarticles/buddhistschools.html|title=Buddhist beliefs: Theravada (Hinayana) and Mahayana schools of philosophy.|website=www.advaitayoga.org|access-date=2017-10-21}}</ref> Namun menurut pandangan [[Theravada]], objek dan dunia ini tidak memiliki keadaan yang mutlak. Setiap objek dalam kajian Theravada memiliki ketergantungan dengan objek yang lainnya. Seperti contoh pasir berasal dari kerikil, kerikil berasal dari batu, batu berasal dari magma dan seterusnya, sehingga dunia ini, secara keseluruhan dalam pandangan Theravada hanya memiliki realitas yang relatif dan bukan absolut. Keadaan dunia yang memiliki realitas saling bergantung ini dinamakan ''[[Paticcasamuppada]]'' atau hukum sebab musabab.<ref>{{Cite web|url=http://www.buddhism-guide.com/buddhism/pratitya-samutpada.htm|title=Buddhism / pratitya-samutpada|website=www.buddhism-guide.com|access-date=2017-10-21}}</ref> Tujuan spiritual dari pengertian ini adalah untuk menyadari bahwa dunia ini hanyalah aliran semu dari berbagai objek terhadap waktu. Dengan kesadaran ini manusia diharapkan dapat terbebas dari nafsu dan kemudian terbebas dari ''dukkha'' dan penderitaan, sehingga kemudian mencapai [[Nirwana|''nibbana'']] .<ref name=":12" />
 
Baris 244:
 
====== Ajaran Buddha dan permasalahan yang berkaitan dengan biomedis dan bioetika ======
Pada poin pertama dari empat kebenaran mulia, Sang Buddha mengajarkan aspek-aspek dari dukkha yaitu: kelahiran adalah dukkha, proses penuaan adalah dukkha, kematian adalah dukkha dan lain sebagainya. Ajaran Buddha memberikan perhatian pada kekurangan manusia tidak melalui fantasi mengerikan dari suatu penderitaan atau ''dukkha,'' melainkan penilaian secara realistis dari kondisi yang akan dialami manusia sperti kelahiran, pertambahan usia, kematian dan lain sebagainya. Kesehatan dan keterbebasan dari penyakit merupakan aspek penting dari kebahagiaan manusia, dan juga merupakan poin penting dalam ajaran Buddha.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/32052064|title=Buddhism & bioethics|last=1951-|first=Keown, Damien,|date=1995|publisher=St. Martin's Press|isbn=0312126719|location=New York|oclc=32052064}} Hlm. 1-2. "Buddhism draws attention to the shortcomings of human existence not out of a morbid fascination with suffering but in order to encourage a realistic appraisal of the human condition. ..."
</ref>
 
Baris 265:
Potongan ayat diatas menekankan bahwa ajaran Buddha menolak tindakan kekerasan, bahkan kebencian terhadap musuh.<ref name=":8" />
 
Saat membahas tentang peperangan dan perdamaian dalam konteks ajaran Buddha, sangat penting untuk membedakan antara kajian filsafat dan praktik dari ajaran Buddha secara spesifik. Ajaran Buddha maupun dalam kajian filsafatnya baik Theravada dan juga Mahayana sangat menekankan konsep tanpa kekerasan pada setiap aspek kehidupan termasuk dalam pengambilan keputusan. Sementara umat Buddha sendiri jika dikaji berdasarkan sejarah hingga saat ini dapat ditemukan partisipasinya dalam peperangan atau tindakan kekerasan.<ref name=":9">Emmanuel M. Steven (2013). ''A Companion to Buddhist Philosophy''. Willey-Blackwell. hlm. 630-640. "This is because Buddhist philosophy on the subject, especially in the teachings of the Buddha and the mainstream Mahāyāna teachings, so heavily emphasizes non-violence, ...., Such a system was formalized in Thailand, for example, early in the twentieth century, when the motto of the state became: “Nation, Religion, King,” with “Religion” referring to Buddhism, and the three together representing the three foundations of Thai society. At times national rhetoric blurs the line between religion and state and allows both state and religious actors to speak of the defense of the state and the Dhamma as a single thing, as occurred in Sri Lanka in the twentieth and early twentyfirst centuries. ..... "
</ref> Seperti pada yang ditemui pada gerakan nasionalis di Thailand, Sri Lanka,<ref name=":9" /> dan Myanmar ; Atau bahkan lebih jauh ke zaman peradaban Tiongkok kuno, terdapat catatan sejarah diimana pada tahun 621, para biksu dari kuil Shaolin berpartisipasi dalam pertempuran untuk membantu Dinasti Tang yang berkuasa.<ref name=":10">{{Cite news|url=https://www.thoughtco.com/war-and-buddhism-449732|title=How does a Peaceful Philosophy Reconcile to the Reality of War?|newspaper=ThoughtCo|access-date=2017-10-21}}</ref> Keterlibatan dalam suatu pertempuran untuk mempertahankan diri, keluarga, dan negara secara umum tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Begitu pula dalam pandangan awam umat Buddha.<ref name=":10" /> Hal ini kemudian yang umum dipakai oleh pemimpin politik untuk menyusun suatu narasi, demi mempertahankan wilayah, atau bahkan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
 
====== Hak asasi manusia dalam pandangan ajaran Buddha ======
Secara singkat, hak asasi manusia merupakan suatu norma yang didefinisikan secara universal untuk melindungi seluruh manusia dari penyalahgunaan kekuasaan, hukum, dan tradisi.<ref>{{Cite book|url=https://plato.stanford.edu/archives/spr2017/entries/rights-human/|title=The Stanford Encyclopedia of Philosophy|last=Nickel|first=James|date=2017|publisher=Metaphysics Research Lab, Stanford University|editor-last=Zalta|editor-first=Edward N.|edition=Spring 2017}}</ref> Contoh hak asasi manusia seperti : hak dalam kebebasan beragama, hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat siksaan, hak untuk terlibat dalam aktivitas politik, dan lain-lain.<ref>{{Cite web|url=http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/|title=Universal Declaration of Human Rights|website=www.un.org|language=en|access-date=2017-10-21}}</ref> Dalam ajaran Buddha, tidak terdapat definisi pasti mengenai hak asasi manusia. Kata "hak" selalu menjadi kata yang asing jika diterjemahkan dalam bahasa yang terkait literatur ajaran Buddha.<ref name=":11">Emmanuel M. Steven (2013). ''A Companion to Buddhist Philosophy''. Willey-Blackwell. hlm. 651-662. "There is no precise definition of human rights in the Buddhist lexicon and no concept that can be mapped without problem in any of the Buddhist canonical languages. No matter how we parse the word “rights,” it remains a foreign concept when translated into Buddhist languages ......"
</ref> Meskipun demikian, hal ini bukan berarti ajaran Buddha tidak mendukung konsepsi dari hak asasi manusia, bukan pula menandakan bahwasanya ajaran Buddha kekurangan konsep untuk menjelaskan istilah "hak asasi manusia". Melainkan perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap ajaran Buddha untuk mendapatkan pandangannya terhadap konsep hak asasi manusia. Pandangan ajaran Buddha terhadap hak asasi manusia jika dikaji lebih lanjut, tersatukan bersama konsep kewajiban dan pengakuan terhadap adanya ''dukkha.''<ref name=":11" /> Kewajiban manusia dalam ajaran Buddha diatur melalui hukum karma. Melalui hukum ini, setiap individu bertanggung jawab terhadap perbuatan, perkataan dan pemikiran mereka, dan juga menerima konsekuensinya.<ref name=":11" /> Tersirat juga dari hukum karma bahwa setiap memiliki kebebasan untuk melakukan hal apapun namun dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan makhluk lainnya, karena akan membawa karma buruk yang berdampak pada diri sendiri.
 
====== Persepektif ajaran Buddha pada kesetaraan gender ======
[[Berkas:Prince Siddhartha with his maternal aunt Queen Mahaprajapati Gotami.JPG|jmpl|Lukisan [[Siddhartha Gautama|Pangeran Siddharta]] bersama bibi sekaligus ibu angkatnya [[Mahapajapati Gotami|Mahapajapati]]]]
Meskipun dipandang sebagai ajaran dengan konsep [[egalitarianisme]] atau ajaran yang menekankan persamaan dalam segala aspek, ajaran Buddha dalam tradisi dan praktiknya masih mendapat kritik dalam hal kesetaraan gender ; Termasuk di dalamnya mengenai dominasi kaum pria yang begitu mencolok di institusi keagamaan Buddha.<ref name=":22">{{Cite journal|last=R.|first=Sirimanne, Chand|date=2016|title=Buddhism and Women-The Dhamma Has No Gender|url=http://vc.bridgew.edu/jiws/vol18/iss1/17|journal=Journal of International Women's Studies|language=en|volume=18|issue=1|issn=1539-8706}}</ref><ref>{{Cite web|url=http://www.jfsonline.org/issue1/articles/chen/|title=The Journal of Feminist Scholarship|website=www.jfsonline.org|access-date=2017-10-23}}</ref><ref name=":20">{{Cite news|url=https://www.thoughtco.com/buddhism-and-sexism-449757|title=Is Buddhism a Sexist Religion? The Status of Women in Buddhism|newspaper=ThoughtCo|access-date=2017-10-23}}</ref> Jika ditelisik melalui risalah yang berkaitan dengan ajaran Buddha, terdapat risalah yang menyatakan permintaan [[Mahapajapati Gotami]], ibu angkat sekaligus bibi dari Sang [[Siddhartha Gautama|Buddha Gautama]], meminta kepada Sang Buddha untuk menjadi biarawati dan mempraktikan hidup sebagai petapa.<ref>{{Cite news|url=https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/penahbisan-maha-pajapati-gotami/|title=Penahbisan Maha Pajapati Gotami - Samaggi Phala|date=2010-11-02|newspaper=Samaggi Phala|language=en-US|access-date=2017-10-23}}</ref><ref name=":21" /> Sang Buddha awalnya menolak, namun setelah dibujuk oleh [[Ananda]] keponakannya, akhirnya beliau menyetujui Mahapajapati untuk bergabung sebagai biarawati, namun dengan delapan aturan tambahan yang diberi nama ''gurudharma.''<ref name=":21">Emmanuel M. Steven (2013). [https://books.google.co.id/books/about/A_Companion_to_Buddhist_Philosophy.html?id=P_lmCgAAQBAJ&redir_esc=y ''A Companion to Buddhist Philosophy''. Willey-Blackwell]. hlm 665. "One of the better knownpassages in the early scriptures narrates that the Buddha ’ s foster-mother and aunt, Prajapati, petitioned the Buddha to allow women to take monastic vows and practice that lifestyle. The Buddha refused three times and was finally persuaded only when his attendant Ananda argued that, because women could be enlightened, they should be allowed to follow the lifestyle that had been so helpful to men in pursuing that goal. The Buddha relented, but also imposed eight so-called “heavy rules” (the literal translation of gurudharma) ....."
</ref><ref name=":18">{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/951210328|title=The foundation history of the nuns' order|last=Bhikku,|first=Anālayo,|isbn=9783897333871|location=Bochum|oclc=951210328}} 90-125</ref><ref>{{Cite web|url=https://studybuddhism.com/en/advanced-studies/prayers-rituals/vows/conference-report-on-bhikshuni-ordination-lineages/issues-in-reinstating-bhikshuni-ordination|title=Issues in Reinstating Bhikshuni Ordination|website=studybuddhism.com|language=en|access-date=2017-10-23}}</ref> Penerimaan Sang Buddha terhadap keinginan Mahajapati dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner pada masanya, karena pada masa itu wanita dianggap lebih rendah dari kaum lelaki dan dijauhkan dari aktivitas keagamaan.<ref name=":22" /><ref name=":19">{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Keyakinan_umat_Buddha.html?id=NhvtNAAACAAJ&redir_esc=y|title=Keyakinan umat Buddha: buku standar wajib baca|last=Dhammananda|first=Sri|date=2005|publisher=Yayasan Penerbit Karaniya : [Ehipassiko Foundation]|language=id}} Hlm. 309 " ... . merupakan guru spiritual pertama yang memberikan kebebasan..."</ref> [[K. Sri Dhammananda|Sri Dhammananda]] dalam bukunya menyatakan bahwasannya, Sang Buddha merupakan guru spiritual pertama yang memberikan kebebasan berkeyakinan terhadap wanita, dimana sebelum masa tersebut wanita bahkan tidak diperbolehkan untuk memasuki tempat ibadah atau membaca ayat-ayat keagamaan.<ref name=":19" /> Namun dalam kajian kontemporer, terdapat perdebatan mengenai delapan aturan tambahan yang diberikan Sang Buddha Gautama.<ref>{{Cite web|url=http://www.buddhismtoday.com/english/sociology/021-religiousorder.htm|title=021-religiousorder|last=thichnhattu|website=www.buddhismtoday.com|access-date=2017-10-23}}</ref> Terdapat pendapat yang menilai aturan tersebut memuat poin yang mendiskriminasi wanita, terdapat juga pandangan yang menyatakan bahwa poin-poin tersebut disesuaikan pada masanya agar tidak timbul gejolak sosial yang besar, atau pandangan lainnya yang menyatakan poin-poin tersebut telah mengalami penyimpangan makna dari yang dimaksud pada awalnya<ref name=":20" /><ref name=":18" />.<ref>{{Cite news|url=https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/sangha-bhikkhuni/|title=Sangha Bhikkhuni Theravada|date=2003-10-23|newspaper=Samaggi Phala|language=en-US|access-date=2017-10-23}}</ref>