Gereja Masehi Injili Halmahera: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
→‎Gereja di Halmahera (1941-1949): ASEAN belum ada tahun 1941.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
Baris 30:
 
=== Zaman Zending Belanda (1866-1941) ===
19 April 1866 De Bode dan Van Dijken tiba di Galela dan memulai pekerjaan Injilnya melalui semboyannya: penginjilan lewat pembangunan negeri.  Sehingga tidak mengherankan bahwa Van Dijken selain seorang penginjil adalah seorang petani ulung. Ia menanam kopi, coklat, panili, pala dan segala tanaman palawija serta tembakau.   Pertanian ini menarik simpati warga Galela yang masih belum mengenal system pertanian secara baik sehingga rumah Van Dijken menjadi tempat berkumpul banyak orang. Kesempatan ini dipakai Van Dijken untuk mengajar menulis dan membaca. Bahkan ketika wabah kolera menyerang, banyak orang yang disembuhkan Van Dijken. Jelaslah bahwa zending melayani warga Halmahera melalui aspek-aspek kehidupan manusiawi. Dari sanalah orang mulai menjadi Kristen. Namun orang Kristen pertama baru dibaptis pada 17 Juli 1874 atau lebih dari 2½ tahun orang menjadi Kristen. Yang dibaptiskan ialah 5 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Sementara di Tobelo banyak orang yang dibaptis oleh Hueting dalam baptisan massal. Hueting tiba di Tobelo awal tahun 1897 atau 23 tahun setelah Van Dijken ditahbiskan menjadi penginjil di Ternate. Hal ini lantas menjadi sebuah perbedaan pola pelayanan antara Van Dijken dengan Hueting yang selalu dicakapkan oleh peneliti sejarah GMIH. Bagi sebagian peneliti GMIH Van Dijken melakukan pola pelayanan dididik dahulu baru dibaptis, sementara Hueting dibaptis dahulu baru kemudian dididik. Namun hemat kami peneliti bahwa ada banyak faktor yang membuat Van Dijken menempuh jalan seperti itu. Di antarafaktor agama Islam yang dipeluk oleh kesultanan Ternate yang juga sebagian warga Galela yang beraada di bawah daerah kekuasaan kesultanan Ternate. Selain itu sebuah kesepakatan antara Belanda dan kesultanan yang berisi usaha Belanda yang tidak bermaksud mengkristenkan pribumi. Kesepakatan ini juga menghalangi usaha Van Dijken, serta identitas dan patuhnya Van Dijken terhadap aturan bahwa dia bukanlah seorang penginjil sehingga tidak berhak membaptiskan orang, karena baru tanggal 5 Januari 1873 ia ditahbiskan sebagai utusan Injil dan bukan lagi pembantu, oleh Ds. Höeker di Ternate. Tapi tak bisa disangkal juga bahwa faktor kesiapan orang menerima Injil ditekankan oleh Van Dijken yang tak sekadar memberikatakan Injil tetapi juga mempersiapkan dengan baik untuk menerima Injil melalui pendidikan, kesehatan, pertanian dan kehidupan sosial. Berbeda dengan keadaan Tobelo pada tahun kerja Hueting yang bergejolak menuntut keluar dari kekuasaan kesultanan Ternate sehingga kemungkinan besar mereka melihat bahwa alternatif terbaik adalah menjadi Kristen yang merupakan agama Belanda sehingga kelak mendapatkan perlindungan Belanda.<ref name=sejarah/>
 
Periode baru zending di Halmahera dimulai oleh zendeling Anton Hueting, yang tiba di Galela pada tgl 7 Agustus 1896, lalu membuka posnya di Gamsoengi di Tobelo. Hueting dipengaruhi pendekatan-pendekatan baru dalam pekabaran Injil, yang tidak mengutamakan pertobatan pribadi, melainkan pertobatan massal. Tujuan misi adalah Kristenisasi seluruh masyarakat. Baptisan mendahului pembinaan-pembinaan untuk menjadi Kristen dewasa (sidi). Dalam hal ini kuantitas mendahului kualitas Kekristenan.<ref>[http://oase-intim.blogspot.com/2013/06/sepintas-sejarah-kekristenan-halmahera.html?m=1 Sepintas Sejarah Kekristenan di Halmahera]</ref>
 
=== Gereja di Halmahera (1941-1949) ===
Pada tahun 1940 diadakanlah konperensi di Kupa-Kupa, [[Tobelo]] yang sudah ada tanda-tanda bahwa Zending hendak menyerahkan usaha penginjilan untuk   diteruskan pribumi karena Jepang hampir pasti menguasai Asia Tenggara –Halmahera dikuasai Jepang pada Mei 1942– dan Belanda dikuasai oleh Jerman pada 10 Mei 1940. Pada konperensi ini diputuskan mengumpulkan dana setempat guna menutupi defisit anggaran Zending yang disebabkan oleh pemutusan komunikasi dengan negeri Belanda.<ref>James Haire, Sifat dan Pergumulan Gereja di Halmahera 1941-1079, Jakarta: BPK GM, Hal. 17.</ref> Hasil konperensi antara lain membentuk founds Injil dan hasil dana dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup para penginjil setempat serta cita-cita pengelolahan gereja Halmahera oleh pribumi.
Kemudian [[Jepang]] mulai menghilangkan segala sesuatu yang berbau kebelandaan di Indonesia. Imbasnya banyak Zending –bahkan guru jemaat pun–yang ditawan oleh Jepang. Jemaat yang seperti inilah membuat reaksi datang dari pribumi sebagai upaya terus menghidupi gereja yang sudah berkembang di Halmahera. Beberapa pribumi menemui Mentsjibu Jepang—mirip resimen kolonial Belanda—di Ternate yang difasilitasi oleh Sultan Ternate, Iskandar Mohammed Djabir Sjah guna membicarakan kepentingan gereja Halmahera. Jepang kemudian menyuruh membentuk sebuah badan persiapan kemandirian gereja yang keanggotaannya berdasarkan persetujuan Jepang. Tak lama berdirilah '''Gereja Protestan Halmahera''' (GPH) walaupun unsurnya lebih banyak melibatkan daerah Halmahera Barat.
Sementara di Tobelo dan Galela pada Mei 1942 telah mengadakan pertemuan di Pitu guna mengantisipasi “perginya” Zending. Inti hasil pertemuan yang adalah keinginan mandiri akhirnya disampaikan oleh delegasi Tobelo-Galela ke Sultan Ternate dan Mentsjibu. Mereka meminta agar Pdt. Kriekhoff yang adalah pendeta Gereja Protestan Maluku di Ternate melayani sakramen di Halmahera khususnya Tobelo dan Galela.  Permintaan ini disetujui. Sebenarnya keinginan ini sangat beralasan karena kedekatan Tobelo dan Galela kepada orang Ambon (GPM) karena banyaknya penginjil dan guru-guru jemaat yang telah-bahkan selanjutnya- adalah orang [[Ambon]] sementara di Halmahera Barat cenderung berasal dari [[Sulawesi Utara]]. Walau demikian upaya menyatukan diri dalam gereja Halmahera selalu ada kendati cara Halmahera Barat dan Tobelo-Galela—Halmahera Utara — terlihat berbeda.
Usaha kemandirian ini mengalami banyak tantangan di antara: [[Perang Dunia II]] ketika sekutu berhasil mematahkan kekuatan Jepang saat sekutu menjadikan Morotai sebagai basis kekuatan di Asia. Walau demikian runtuhnya Jepang juga menjadikan gereja di Halmahera kembali dilayani oleh para Zending. Akhirnya dengan fasilitas dan pengalaman zending diadakanlah pertemuan demi terciptanya gereja Halmahera yang mandiri dengan berdirinya '''Gereja Masehi Injili di Halmahera''' pada 6 Juni 1949.<ref name=sejarah/>