Tafsir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
AMA Ptk (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
AMA Ptk (bicara | kontrib)
Baris 6:
 
== Cara penafsiran ==
Dalam menafsirkan Quran, ada cara [[Ibnu Taimiyyah]] yang dikutip Buya Hamka dalam ''Tafsir al-Azhar''-nya. Pertama ayat dengan ayat, kalau meragu akan makna suatu ayat, sambungkan dengan ayat lainnya. [[Buya Hamka]] mengambil contoh [[Surat Thaha]] ayat 67, dan merincikannya dengan [[Surat al-A'raf]] ayat 116. Sehingga, ayat yang ''mujmal'' (atau umum) dirincikan dengan ayat lain yang ''mufashshal'' (atau merinci).<ref name=hamka31>HamkabHamka (1967), hlm.30{{spaced ndash}}32.</ref> Dilanjutkan oleh [[Sunnah]]. Kemudian kepada tafsiran para sahabat Rasulullah, kemudian kalau tidak ada, kepada pendapat tabiin —itupun harus dengan disaring dulu, dicari mana yang paling dekat dengan Quran dan Sunnah.<ref name=hamka31/>
 
Menurut [[Buya Hamka]] dalam ''Tafsir al-Azhar'', dalam menafsirkan al-Quran, maka yang utama adalah berdasar kepada [[Sunnah]], yakni segala perkataan (''aqwal'') maupun perbuatan (''af'al'') Rasulullah dan perbuatan orang lain —yakni sahabat-sahabatnya RA— yang disetujui oleh beliau. Karena itulah seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Quran dengan berlawanan kepada Sunnah.<ref name=H2122>Hamka (1967), hlm.21{{spaced ndash}}22.</ref> Karena itu pula, orang yang menafsir Quran dengan ayat-ayat hukum tak berpedoman kepada Sunnah Rasul, maka dia tidak berpedoman kepada syariat. Tidak bisa berdasar kepada kehendaknya sendiri. Menurutnya, ini dikecualikan untuk nash Quran yang tak perlu tafsiran, karena sudah sangat jelas, tapi bertemu hadits ahad yang bukan [[hadits masyhur]], sedang isinya berlawanan dengan nash yang jelas dari Quran.<ref name=H2122/>
 
Di luar itu, ada pula penafsiran dengan akal, yang menurut ulama [[Zamakhsyari]] tidaklah mengapa menafsir dengan akal yang sehat. Menafsir dengan begini juga diikuti oleh [[Al-Ghazali]], yang menurutnya adanya penafsiran yang berlain-lainan antara tabiin dan sahabat juga menjadi indikasi adanya penafsiran dengan ra'yi atau pemikiran. Karena itu menurutnya, menafsirkan al-Quran tidak boleh semata akal, dan tidak bisa pula hanya mengandalkan naqal atau dalil saja.<ref name=hamka35>Hamka (1967), hlm.34{{spaced ndash}}35.</ref>
 
Karena itulah, al-Qashthalani, ulama pensyarah [[Shahih Bukhari]] menyatakan boleh saja menafsir Quran dengan pendapat yang baru dengab syarat sesuai ketentuan [[bahasa Arab]], dan tidak melawan pokok-pokok dasar ajaran agama.<ref name=hamka35/> Karena itu, ia menyebut 4 syarat supaya tafsir dengan akal diterima:<ref name=hamka35/>
* mengerti bahasa Arab
* tidak menyalahi dasar dari Sunnah Nabi Muhammad
* tidak berkeras pandangan mempertahankan suatu mazhab, lalu dibelokkanlah maksud ayatnya supaya sesuai mazhabnya
* ahli dalam bahasa tempat dia menafsir.
 
== Makna ==