Teknologi biomedis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di tahun + pada tahun)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Di tahun +Pada tahun)
Baris 38:
 
== Sejarah Teknologi Biomedis ==
Sejarah Teknologi Biomedis telah dimulai sekurang-kurangnya sejak 3,000 tahun yang lalu. Klaim tersebut didasarkan pada penemuan prostesis (alat pengganti organ) kayu pada sebuah mumi yang berumur 3,000 tahun di Thebes, Yunani. DiPada tahun 1816, Fisikawan Prancis Rene Laennec menggunakan gulungan koran untuk mendengarkan detak jantung pasien – untuk menghindari cara yg lazim ketika itu; menempelkan telinga pada dada seorang pasien. Ia kemudian menyempurnakan idenya dengan untuk membuat alat yang kita kenal sebagai stetoskop ("History of Biomedical Engineering," 2013).
 
Pada abad modern, sejarah TB dimulai sekitar 200 tahun yang lalu. Ketika itu, tepatnya pada tahun 1848, melalui publikasinya yang terkenal “Ueber de tierische Elektrizitaet”, Dubois Reyomnd dan rekannya Herman von Helmholtz mengidentifikasi prinsip tahanan dan arus listrik lemah pada otot dan nervous system katak – yang kemudian dikenal dengan electrophysiology. ''Milestone'' penemuan teknologi biomedis terjadi pada penghujung abab 19, ketika serangkaian peralatan medis diciptakan dalam selang waktu yang berdekatan; Spygmomanomemeter (1881) oleh Samuel Segfried Karl von Basch, Sinar X (1885) oleh Wilhem Rontgen, serta Electrocardiograph (ECG, 1885) oleh Willem Einhoven. Tren ini berlanjut pada awal abad ke 20 dengan beberapa penemuan alat medis yang masih digunakan sampai sekarang; ginjal buatan (artificial kydney) oleh Abel, Rountree dan Turner (1913), haemodialisis oleh (1924).
Baris 47:
Teknologi Biomedis (TB) mulai diperkenalkan ke dalam sistem pendidikan Amerika di akhir tahun 50-an. Semenjak itu, perkembangan TB sangat pesat bukan hanya di Amerika, namun juga di berbagai institusi pendidikan papan atas di hampir seluruh dunia (Harris, Bransford, & Brophy, 2002). Di Indonesia, eksistensi bidang ini sebagai sebagai sebuah disiplin keilmuan baru dimulai setidaknya sejak 1967, ketika Kementrian Kesehatan mendirikan Akademi Teknik Rontgen (ATRO), saat ini berubah nama menjadi Politeknik Kesehatakan Jakarta II di Jakarta("Sejarah Teknik Elektromedik," 2015). Tujuan utama didirikannya sekolah tinggi ini adalah untuk menyediakan dukungan teknis[[:Berkas:///C:/Users/iMac i7/Dropbox/AKADEMIS/MEdical Device/AIPPSA/Teknologi Biomedis di Indonesia - Revisi 1.docx# ftn2|[2]]] – dalam hal ini pemeliharaan peralatan medis yang tersebar di seluruh rumah sakit di Indonesia.
 
Di tingkat Universitas (yang berada di bawah di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), TB mulai diperkenalkan pada tahun 1998. Institute Teknologi Bandung (ITB) merupakan institusi di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pertama yang menawarkan TB sebagai konsentrasi studi pasca sarjana (S2) di bawah jurusan Teknik Elektronika ("Bidang Keilmuan KK," 2015). Tidak lama berselang – tepatnya pada tahun 2000 – sebuah Universitas swasta, Swiss Germany University (SGU) berdiri di Serpong, Tangerang dan menawarkan jurusan Biomedical Engineering pada tingkat sarjana (S1). DiPada tahun 2007, Universitas Indonesia membuka jurusan yang sama, Pasca Sarjana Teknologi Biomedis.
 
DiPada tahun 2008, Universitas Airlangga, Surabaya membuka program studi S1 Teknobiomedik setelah terlebih dahulu membuka jalur S2 Teknobiomedik. Hal ini pun mengukuhkan UNAIR sebagai universitas negeri pertama yang membuka jalur sarjana. Pada tahun ini pula, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) memperkenalkan jurusan Teknik Biomedika sebagai jurusan mandiri pada level strata 1 (undergraduate) – merupakan jurusan sarjana Teknik Biomedika yang pertama di Indonesia ("ITS Buka Jurusan Biomedical Engineering Pertama di Indonesia," 2007). Di ITB, teknik biomedis dikelola oleh Kelompok Keahlian Biomedical Engineering (KK-BME) dan menjadi bagian dari Sekolah Tinggi Teknik Elektro dan Informatika (STEI ITB)("Bidang Keilmuan KK," 2015). Selain itu, beberapa universitas besar sedang dalam proses pengembangan – dalam tahap persiapan maupun telah menawarkan TB sebagai konsentrasi studi ataupun pada jenjang S2; Univeritas Gadjah Mada menawarkan konsentrasi studi ''Biomedical Engineering'' dengan titik berat Biomaterial. Ke depan, jumlah universitas yang manawarkan TB sebagai jurusan mandiri diyakini akan terus meningkat.
 
Jika dilihat dari trend di atas, terlihat bahwa periode tahun 2000-an merupakan ''turning point'' bagi ‘diterimanya’ TB sebagai disiplin ilmu yang potensial pada perguruan tinggi ‘umum’[[:Berkas:///C:/Users/iMac i7/Dropbox/AKADEMIS/MEdical Device/AIPPSA/Teknologi Biomedis di Indonesia - Revisi 1.docx# ftn3|[3]]]. Sebagaimana halnya yang terjadi di Jerman dan Amerika bahwa universitas mempunyai peran vital dalam pengembangan bidang TB, perkenalan TB pada pendidikan tinggi di Indonesia diharapkan mampu memberikan peran substantif pada perkembangan industri TB di tanah air. Namun demikian, perlu adanya kesatuan pandangan dan koordinasi arah riset antar universitas, yang masih sporadis dan tumpang tindih.
Baris 60:
Tidak hanya produktifitas dan dukungan kebijakan pemerintah yang rendah, bidang TB pun sangat rentan terhadap korupsi. Namun demikian, korupsi di bidang ini tidak mudah diketahui publik. Kecuali korupsi alat kesehatan (alkes) di Tangsel yang terungkap lebih dikarenakan politik dinasti daripada objek korupsinya, sangat sedikit catatan korupsi alkes yang dapat diketahui publik. Mari kita amati kembali catatan korupsi bidang ini pada masa lampau.
 
Pasca desentralisasi, tercatat ‘hanya’ ada lima kasus korupsi yang terungkap ke publik. DiPada tahun 2006, kasus korupsi alkes wabah flue burung yang melibatkan terdakwa Soetedjo Yuwono, Sekretaris Menko Kesra yang saat itu dijabat oleh Aburiza Bakrie. Tahun berikutnya, korupsi alkes melibatkan terpidana Ratna Dewi Umar – juga pada kasus Kejadian Luar Biasa (KLB)  flu burung dengan kerugian negara 50.477 milliar rupiah. Kasus ini pula menyeret dua mantan menteri Kesehatan; Siti Fadillah Supari dan Endang Rahayu Setyaningsih. Masih pada tahun 2007, korupsi alkes lainnya melibatkan mantan Kepala Pusat Penanggulan Krisis Kemenkes, Rustam Syarifuddin Pakaya dengan kerugian negara 2,47 milyar, kasus alat bantu Belajar Rumah Sakit (2009). DiPada tahun 2010, dugaan korupsi alat kesehatan tak bertuan ‘merambah’ ke Bangli, Bali.  Dan, yang teranyar adalah korupsi alat kesehatan di RS International Universitas Udayana, Bali (2015).
 
Dari berbagai kasus korupsi di atas, ditemukan beberapa permasalahan yang lebih teknis seperti: