Mantingan, Bulu, Rembang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jovan Kevin (bicara | kontrib)
Jovan Kevin (bicara | kontrib)
Baris 20:
Ada satu cerita mitos yang berkembang di Desa Mantingan, yang salah satu larangannya yang masih di taati oleh warga Mantingan. Bemula dari jaman dahulu ketika Maling Kopo dan Maling Gentiri oleh musuhnya. Mereka berlari hingga tertangkap di pemakaman ( dukuh Pos ) sebelum di bawa pergi mereka berpesan “ sok Mben nek dadi rejane jaman, desa iki tak jenengke Mantingan ( Montang – manting iso mangan )” ini berasal dari ketika berlari pontang – panting dikejar – kejar musuh tapi mereka masih bisa bertahan hidup selain itu mereka juga melarang warga dukuh pos untuk tidak menanam “lompong dan kedelai” apabila ini dilanggar akan terjadi pageblok (wabah penyakit). Mereka berpesan seperti itu karena sebelum tertangkap mereka “ keserimpet oyot mimang dan tanaman kedelai” menyebabkan mereka terjatuh dan tertangkap.
 
Seperti yang telah diceritakan oleh para Sesepuh Desa, keadaan Desa Mantingan tidaklah semaju sekarang. Hutan Mantingan dulu sangat lebat, penerangan listrik belum ada, bahkan kolam renang yang menjadi pusat wisata orang – orang luar daerah tidaklah sebagus sekarang., Semuanyasemuanya belum tertata dengan baik., Banyakbanyak sekali loji – loji bekas rumah Belanda atau Pesanggrahan yang berada di Desa Mantingan yang masih bisa dilihat sebagai bukti sejarah tempo dulu, ada Loji Besar Kantor orang Belanda, beserta loji loji berada di area Asrama Polisi Kehutanan/Perhutani, dan sangat disayangkan bangunan bersejarah itu dibongkar oleh Perum Perhutani, sekarang hanya tinggal pondasinya. Ada juga loji loji yang di bongkar dan sekarang menjadi asrama dan Kantor Polsek Bulu, yang tersisa hanya 1 di depan TPK Mantingan, itupun keadaannya hampir roboh.
 
Meski demikian jaman dulu sarana transportasi sudah sangat ramai. Apalagi sejak di bangunnya stasiun kereta api pada tahun 1898 lama kelamaan banyak sekali orang – orang dari luar Desa Mantingan terutama para pedagang yang singgah di Desa Mantingan Yang singgah untuk Menawarkan dagangannya.
 
Pada saat itu sturktur pemerintahan tidak begitu jelas. Hingga sekitar tahun 1918 Desa Mantingan dipimpin seorang lurahLurah ( Kepala Desa ) yang bernama “ Djoyo suwito”Suwito” dari kecamatan [[Bangkle]] Kabupaten Blora dari tahun 1918 – 1938 yang lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Djoyo” selanjut nyaselanjutnya “Sutrisno” dari tahun 1938-1945 dan dilanjutkan oleh “Wakijan” yang berasal dari Medang Kabupaten Blora dari tahun 1945 – 1955. Semua lurah – lurah tersebut tidaklah dipilih melalui pemilihan Kepala Desa oleh masyarakat Desa Mantingan melainkan ditunjuk langsung oleh pemerintah, sehingga lebih dikenal dengan sebutan “Lurah Bayangan”
 
Satu sejarah yang tidak dapat dilupakan, sekitar tahun 1945 – 1949 tentara “Jati Kusuma” dari Tuban singgah di Pemandian/Pesanggrahan dan sekarang yang lebih dikenal dengan Wana Wisata Mantingan untuk bergerilya melawan penjajah ( Jepang dan Belanda.