Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Secara eksplisit, disebutkan tahun penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa
Baris 32:
}}
 
'''[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|DR.]] [[Haji (gelar)|H.]] Abdul Malik Karim Amrullah''', pemilik [[nama pena]] '''Hamka''' ({{lahirmati|[[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Nagari Sungai Batang]], [[Tanjung Raya, Agam|Tanjung Raya]], [[Kabupaten Agam]], [[Sumatera Barat]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}}) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat [[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) pertama, dan aktif dalam [[Muhammadiyah]] sampai akhir hayatnya. [[Universitas al-Azhar]] (1959) dan [[Universitas Nasional Malaysia]] (6 Juni 1974) menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara [[Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)|Universitas Moestopo, Jakarta]] mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk [[Universitas Hamka]] milik Muhammadiyah dan masuk dalam [[daftar Pahlawan Nasional Indonesia]].
 
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di [[Sumatera Thawalib|Thawalib]], menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke [[Mekkah]]. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama paruh waktu di Medan. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah ''Pedoman Masyarakat''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.