Ekonomi Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Sapnor (bicara | kontrib)
k Penyelarasan tata bahasa sesuai PUEBI, khususnya kata depan (contoh: di, mana, di luar, di bawah, dll.).
Baris 51:
}}
 
'''Ekonomi Indonesia''' merupakan salah satu kekuatan ekonomi berkembang utama dunia yang terbesar di [[Asia Tenggara]] dan terbesar di Asia ketiga setelah China dan [[India]]. Ekonomi negara ini menempatkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-16 dunia yang artinya Indonesia juga merupakan anggota G-20. Setelah mengalami gejolak politik dan sosial yang hebat pada pertengahan 1960an dibawahdi bawah Presiden [[Soekarno]], Indonesia yang dipimpin oleh Presiden [[Soeharto]] segera melakukan restrukturisasi tata kelola fiskal yang tercerai berai akibat berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan perimbangan neraca [[APBN]] yang ada dengan berbagai cara, dari mengadakan renegosiasi terkait pembayaran utang jatuh tempo hingga meminta [[IMF]] untuk mengasistensi pengelolaan [[fiskal]] Indonesia yang masih rapuh. Selama 2 dekade Indonesia membangkitan kembali ekonomi, ekonomi Indonesia yang ditopang dari kegiatan [[industri]] dan [[perdagangan]] berbasis [[ekspor]] menggerakkan ekonomi Indonesia masuk sebagai salah satu ''The East Asia Miracle'' pada tahun 1990an, dimanadi mana Indonesia mampu menciptakan stabilitas politik, sosial dan pertahanan-keamanan yang menjadi fondasi ekonomi yang kuat untuk menghasilkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang dari sektor industri manufaktur berbasis ekspor dan industri pengolahan sumber daya alam.
 
Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang terindustrialisasi seperti Jepang, [[Korea Selatan]] dan Thailand. Meski Indonesia berhasil mencapai stabilitas polsoshankam dan industri [[manufaktur]] dan pengolahan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata keberadaan [[infrastruktur transportasi]] seperti [[jalan tol]], [[pelabuhan]], [[kereta api]] dan [[bandara]] yang ada di Indonesia tidak mampu mengejar pertumbuhan kebutuhan pasar yang ada dan perlahan, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di antara [[Pulau Jawa]] dan Pulau diluardi luar Jawa akibat minimnya pembangunan infrastruktur transportasi di luar pulau Jawa, mengakibatkan terjadi maraknya urbanisasi massal warga luar Pulau Jawa yang menuju Pulau Jawa memunculkan kesimpulan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diperuntukkan untuk Pulau Jawa sendiri. Tidak hanya itu saja, pengelolaan fiskal APBN yang mulai menunjukkan perimbangan neraca yang tidak sehat dan penegakan regulasi dan pengawasan kegiatan sektor finansial yang lemah karena minimnya kecakapan instansi untuk mengatur kegiatan sektor jasa keuangan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pinjaman tidak bergerak (non-performing loan) yang tidak terkendali, hal ini tidak lepas juga dari peran regulator finansial yang gagal untuk menegakkan peraturan untuk memberikan pertanggungjawaban sosial perusahaan berupa edukasi keuangan kepada rakyat.
 
Hal tersebut mencapai titik klimaksnya ketika [[Krisis moneter 1998]] merebak keberbagai negara di Asia, ketika jaring pengaman sistem keuangan gagal menahan epidemi krisis moneter tersebut masuk ke Indonesia, maka merebaklah krisis tersebut kesemua sektor perekonomian dan menjangkiti industri keuangan Indonesia yang akhirnya menjadi awal kejatuhan ekonomi dan segala pencapaian yang Indonesia raih yang diawali dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja massal yang berakhir dengan berbagai kerusuhan yang menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia, membuat Indonesia mau tidak mau harus meminta IMF untuk mengajukan pinjaman untuk melakukan normalisasi ekonomi Indonesia yang sudah sakit akibat harus menanggung biaya yang sangat berat akibat kegagalan jaringan sistem pengamanan keuangan Indonesia saat itu untuk mendeteksi adanya kejatuhan sistem keuangan secara sistemik dan mengantisipasi terjadinya peningkatan beban yang luar biasa, hal ini tidak lepas dari ketidakmampuan rezim Soeharto yang tidak mampu menciptakan ekonomi yang berpondasi kuat untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya ekonomi, ditambah lagi dengan kurang cakapnya pejabat dan sistem yang terkait untuk mengantisipasi adanya krisis moneter tersebut.
Baris 60:
{{Main article|Sejarah Ekonomi Indonesia}}
=== Orde Baru (1966-1998) ===
Seiring dengan munculnya berbagai demonstrasi di kalangan masyarakat untuk menuntut Presiden Soekarno untuk mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari 20 tahun akibat gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan masyarakat menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akibat berbagai demonstrasi tersebut, memutuskan untuk memulai transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk [[Soeharto]] melalui [[Surat Perintah Sebelas Maret]] sebagai landasan hukum untuk mengijinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk segera menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik. Utang luar negeri menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan dimanadi mana-mana hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh Soeharto yang baru saja menjabat sebagai Presiden. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU no 1 Tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia berupa investasi diberbagaidi berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus sebagai upaya mengembalikan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keamanan Indonesia dimatadi mata dunia. Tercatat, sejak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang telah ditanamkan di Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 9 Miliar dari 30 negara.<ref>Uqbah Iqbal, Sejarah Ringkas Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepun, Munich: BookRix GmbH & Co. KG., 2015.</ref>
 
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan [[Orde Baru]] yang dipimpin oleh Presiden [[Soeharto]], ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita [[dolar AS|$]]70 menjadi lebih dari $1.000 pada [[1996]]. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, [[rupiah]] stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui [[bantuan asing]]. Pada pertengahan [[1980-an]] pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari [[1987]]-[[1997]], dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Baris 131:
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
 
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen [http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 [http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawahdi bawah 1.0 persen dari PDB [http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB [http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 [http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
 
== Referensi ==