Tjong Yong Hian: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Lie Pin Pin (bicara | kontrib)
Lie Pin Pin (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
 
Awal mula masuk Indonesia 1867, Tjong Yong Hian dikenal juga sebagai Zhang Yu Nan atau Zhang Rong Xuan, keturunan keluarga Hakka, lahir di Guangdong, kota Songkou, kabupaten Mei Xian, Tiongkok Selatan, pada tahun 1850. Dia merantau dari Tiongkok ke Indonesia,berangkat melalui pelabuhan Shantou dan berlayar mengarungi Laut China Selatan, setelah berlayar selama 21 hari, dia mendarat di Jakarta (dulu namanya Batavia), tahun 1867 pada usia 17 tahun. Tiga tahun kemudian, setelah mempunyai tabungan yang cukup, Tjong Yong Hian meninggalkan Batavia menuju Medan, Sumatera, dengan niat memulai usaha sendiri.
 
Tjong Yong Hian fasih berbahasa Melayu yang merupakan bahasa terhormat di Sumatera Utara.
 
Dibarengi dengan jiwa filantropis, dimana rasa kasih sayangnya terhadap sesama perantau dan terhadap sahabat serta terhadap lingkungan sekitar. Berkawan akrab dengan siapa saja, dari berbagai bangsa, mulai dari Belanda, Arab, India dan Melayu. Tjong Yong Hian menjadi seorang pengusaha yang cepat meraih kesuksesan.
 
Tahun 1870 memulai usaha sendiri
 
Mendirikan NV. Wan Yun Chong. Usahanya berkembang pesat sampai berinvestasi di perkebunan tebu, tembakau, karet dan agrikultur yang lain. Dia bekerja sama dengan bekas majikannya di Batavia, yaitu Tjong Fatt Tze memulai perusahaan perkebunan di Yogyakarta. menanam karet, kelapa, kopi dan teh. Mereka memiliki tanah seluas ratusan km persegi, meliputi 8 perkebunan karet dan pabrik pengolahan teh, sehingga dapat menyediakan lapangan kerja untuk ribuan orang. Kemudian membuka bank Jogja bekerja sama dengan Tjong Fatt Tze. Dengan bantuan adiknya Tjong A Fie, bisnis Tjong Yong Hian berkembang makin maju, berusaha lagi di bidang pembangunan real estate, di Medan yang dikenal kawasan Kesawan. Tahun 1907 mendirikan bank Deli bersama adiknya Tjong A Fie, dimana Bank Deli berusaha menghilangkan monopoli Bank Hindia Belanda, dimana Bank Hindia Belanda memiliki prosedur yang rumit untuk mengirimkan uang ke negara Tiongkok oleh orang Tiongkok perantauan di Sumatera. Usahanya menyebar ke berbagai penjuru dunia, dengan kapitalisasi modal terbesar di Asia Tenggara pada masa itu. Tjong bersaudara kembali bekerja sama dengan Tjong Fatt Tze mendirikan dua perusahaan pelayaran, di Batavia dan Medan bernama Yi Chong dan Fuk Guang.
 
Tjong Yong Hian diangkat oleh Belanda menjadi mayor dan adiknya Tjong A Fie diangkat menjadi sebagai kapten. Mayor adalah pangkat perwira menengah, peringkat terendah dalam ketentaraan, satu tingkat dibawah letnan kolonel dan satu tingkat diatas kapten.
 
Tjong Yong Hian sangat dihormati oleh komunitas Tionghoa dan sangat dihargai pemerintahan Belanda.
 
Pada tahun 1904, Tjong Yong Hian mendapat penghargaan tertinggi dari Belanda, atas dedikasi pengorbanan tenaga, pikiran dan waktu, demi keberhasilan suatu tujuan mulia : pengabdian melaksanakan cita-cita yang luhur untuk kemanusiaan.
 
Kontribusinya dalam pembangunan Masjid Raya Al-Mashun, Rumah Sakit di Belawan, Vihara Tian Hou, dan Masjid Lama di Gang Bengkok. Dengan hadirnya Tjong Yong Hian ini, kita dapat melihat bagaimana kerukunan antar umat beragama pada zaman dahulu. Saling membantu dalam membangun rumah ibadah bagi setiap umat walaupun berbeda agama, ras, dan suku.*
 
Tjong Yong Hian memiliki dua bank
 
Pertama adalah bank Jogja yang berpatungan dengan bekas majikannya Tjong Bi Shi, dan kedua adalah bank Deli berpatungan dengan adiknya Tjong A Fie dan kawan-kawan.
 
Baris 29 ⟶ 25:
 
Kontribusi sosial
Kontribusi yang diberikan oleh Tjong Yong Hian terhadap Medan, Penang dan China ternyata mendapat perhatian dan penghargaan dengan gelar dari Pemerintah Qing untuk kontribusi sosialnya di China. Ia juga mendapat kehormatan diterima dua kali di Beijing oleh Ratu Ci Xi dan Kaisar Guang Xu. Pada tahun 1904, atas kontribusinya terhadap pembangunan Medan Tjong Yong Hian diberikan penghargaan dengan menamai sebuah jalan yang ramai Jalan Tjong Yong Hian, kemudian berubah menjadi Jalan Bogor. Serangkaian dengan Hari Pahlawan tahun 2013, Jalan Bogor ditabalkan kembali menjadi Jalan Tjong Yong Hian oleh Pelaksana Tugas (Plt) Wali kota Medan Dzulmi Eldin.
 
Tjong Yong Hian memiliki banyak rumah di Medan dan juga beberapa rumah di kampung halamannya China. Alamatnya di China adalah : Guangdong City, Meizhou province, Meizhou state, South Songnan village. Ia dan isterinya (Nee Xu) mempunyai tiga anak laki-laki Pu Ching, Cen Ching dan Min Ching dan empat anak perempuan. Rumah keluarga Tjong di Medan terletak di Jalan Kesawan (sekarang Jalan A. Yani). Sementara di China, Tjong dan leluhurnya memiliki rumah di Meixian, China. Tjong Yong Hian meninggal dunia di usia 61 tahun (11 September 1911), ribuan pelayat dari segala suku dan kebangsaan. Tempat peristirahatan terakhir Tjong Yong Hian adalah di Taman Mao Rong sebuah taman miliknya di kawasan Jalan Kejaksaan Medan. Saat berada di Taman Tjong Yong Hian ini, luasnya tidak seperti aslinya lagi. Makam berwarna merah menyala Tjong Yong Hian dan isterinya menghadap ke kolam teratai. Taman ini tetap terjaga keberadaannya karena dirawat oleh cicit Tjong Yong Hian, Budihardjo Chandra (Chang Hung Kuin), generasi keempat, dan keluarganya.
 
Wafat 1911
Setelah wafat pada 1911, putra tertuanya Chang Pu Ching beserta saudaranya melanjutkan kegiatan sosial ayahnya dengan membangun jembatan Tjong Yong Hian yang melintasi Sungai Babura (Jalan KH. Zainul Arifin). Kini jembatan itu diberi nama Jembatan Kebajikan dan telah dijadikan sebagai salah satu warisan sejarah dan budaya Kota Medan, serta mendapatkan penghargaan Unesco Award Of Merit Tahun 2003.
 
Adik Tjong Yong Hian, yaitu Tjong A Fie yang meninggal pada tahun 1921, membuat surat wasiat tentang harta warisannya yang tidak boleh dipindah-tangan maupun diperjual-belikan kepada pihak lain. Semua warisannya harus dikelola oleh yayasan Toen Moek Tong.
Setelah wafat pada 1911, putra tertuanya Chang Pu Ching beserta saudaranya melanjutkan kegiatan sosial ayahnya dengan membangun jembatan Tjong Yong Hian yang melintasi Sungai Babura (Jalan KH. Zainul Arifin). Kini jembatan itu diberi nama Jembatan Kebajikan dan telah dijadikan sebagai salah satu warisan sejarah dan budaya Kota Medan, serta mendapatkan penghargaan Unesco Award Of Merit Tahun 2003.
Sementara, sampai saat ini, belum diketahui dengan jelas bagaimana isi surat wasiat dari Tjong Yong Hian. Tetapi dari berbagai sumber, didapat kabar bahwa
 
Adik Tjong Yong Hian, yaitu Tjong A Fie yang meninggal pada tahun 1921, membuat surat wasiat tentang harta warisannya yang tidak boleh dipindah-tangan maupun diperjual-belikan kepada pihak lain. Semua warisannya harus dikelola oleh yayasan Toen Moek Tong.
 
Sementara, sampai saat ini, belum diketahui dengan jelas bagaimana isi surat wasiat dari Tjong Yong Hian.
 
Regenerasi usaha keluarga Tjong Yong Hian
Baris 45 ⟶ 39:
Tjong Yong Hian mendarat di Batavia pada tahun 1867 di saat Indonesia berada dalam masa penjajahan Belanda. Kepintaran Tjong Yong Hian dalam melihat kesempatan usaha sangat terpuji, berangkat dari seorang kuli toko, Tjong Yong Hian membaca kondisi keperluan masyarakat dan kebutuhan pengusaha pada saat itu. Tjong Yong Hian bergaul baik dengan otoritas Hindia Belanda dan juga menjaga hubungan yang baik dengan Raja Sultan Deli pada masa itu. Hubungan yang baik dengan para penguasa tersebut, membuat Perusahaan Tjong Yong Hian mengalami kemajuan yang sangat pesat.
 
            Generasi kedua, Chang Pu Ching/Tjong Hau Lung, Chan Cen Ching/Tjong Hian Lung dan Chang Min Ching/Tjong Seng Lung, masih berada dalam lingkungan kondisi Indonesia dalam masa penjajahan Belanda. Kementerian perdagangan Kerajaan Qing, China mengangkat Chang Pu Ching sebagai inspektur untuk mengawasi proyek pembangunan jalan kereta api antara kota Chao Chow dan kota Chow Shan Tou, hal ini karena pemilik Perusahaan pembangunan kereta api sebelumnya adalah Tjong Yong Hian dan adiknya Tjong A Fie, sedangkan pada tahun 1904 anak-anak Tjong A Fie masih dalam masa pendidikan sekolah.
 
Tentang kemewahan kehidupan generasi penerus Tjong Yong Hian, tertulis dalam buku keponakan Tjong Yong Hian bahwa : “Kami menikmati mobil Fiat kuning pertama di Medan tahun 1920, suamiku membuka bank barunya Kong Siong Bank mengikuti jejak papa saya Tjong A Fie dengan Bank Delinya. Sesuai status barunya sebagai konsul China, sepupu saya Chang Pu Ching merombak rumah Tjong Yong Hian menjadi  Konsulat China, disitu Chang Pu Ching tinggal dengan keluarganya menikmati kehormatan dari komunitasnya dan kekebalan hukum. Saudara Chang Pu Ching, Kung We, Kung Lip dan Kung Tat selalu menjelajahi jalanan kota dengan model mobil terbaru seperti Hudson dan Cadillac, dan istri-istri mereka berusaha pamer satu sama lain dengan busana mewah dan perhiasan mahal. Mereka seolah melupakan Perang Dunia Pertama yang baru terjadi, dan menyimpang dari kehidupan sebelumnya, mereka menjadi orang kaya baru. Mereka tidak bijaksana terhadap warisan orang tuanya yang bersusah payah dalam mendapatkan uang dan tidak menghormati warisannya. Mamanya istri Tjong Yong Hian dari desa, tante Hsi, seorang yang rajin dan hidup hemat sudah melihat kehidupan anaknya yang menjadi bahan kritikan masyarakat. Dan ketika buku ini terbit, semua kehidupan mewah itu sudah sirna” (Queeny Chang, 1981, hal 159)