Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (1945): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
IqbalMut (bicara | kontrib)
→‎Sejarah: Keterangan organisasi
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
(ringkasan suntingan dihapus)
Baris 12:
| country = Indonesia
| native_name = Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
|merger= [[PersatuanNahdlatul IslamUlama]]<br/> [[Nahdlatul UlamaMuhammadiyah]]<br/> [[Muhammadiyah|Persatuan Islam]]<br/> [[Persatuan Umat Islam|Perikatan Umat Islam]]
| abbreviation = Masyumi
| predecessor = [[Majelis Islam A'la Indonesia]]
Baris 23:
'''Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia''' ({{lang-en|Council of Indonesian Muslim Associations}}) atau disingkat menjadi '''Masyumi''', adalah sebuah partai politik Islam terbesar di [[Indonesia]] selama [[Sejarah Indonesia (1950–1959)|Era Demokrasi Liberal di Indonesia]]. Partai ini dilarang pada tahun 1960 oleh Presiden [[Sukarno]] karena diduga mendukung pemberontakan [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia|PRRI]].
 
Masyumi adalah nama yang diberikan kepada sebuah organisasi yang dibentuk oleh [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Jepang yang menduduki Indonesia]] pada tahun 1943 dalam upaya mereka untuk mengendalikan umat Islam di Indonesia.<ref name="RICKLEFS194">Ricklefs (1991) p194</ref> Tidak lama setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]], pada tanggal 7 November 1945 sebuah organisasi baru bernama Masyumi terbentuk. Dalam waktu kurang dari setahun, partai ini menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi termasuk dalam kategori organisasi Islam, sama seperti [[Persatuan Islam]] (PERSIS) [[Nahdlatul Ulama]] dan [[Muhammadiyah]]. Selama periode demokrasi liberal, para anggota Masyumi duduk di [[Dewan Perwakilan Rakyat]] dan beberapa anggota dari partai ini terpilih sebagai [[Perdana Menteri Indonesia]], seperti Tokoh [[Persatuan Islam]] (PERSIS) [[Muhammad Natsir]] dan [[Burhanuddin Harahap]].<ref name="SIMANJUNTAK">Simanjuntak (2003)</ref>
 
[[Berkas:Sukarno at Masyumi Convention Suara Merdeka 30 December 1954.jpg|jmpl|Presiden [[Soekarno]] dalam konvensi Masyumi tahun 1954]]
Baris 35:
Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti [[MIAI]] (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang [[Sarekat Islam|Partai Sarekat Islam Indonesia]] (PSII) dan [[Partai Islam Indonesia]] (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam [[Putera]] (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
 
Masyumi pada zaman pendudukan [[Jepang]] belum menjadi partai namun merupakan federasi dari Enpatempat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu, [[Nahdlatul Ulama]] (NU), [[Muhammadiyah]], [[Persatuan Umat Islam]], dan [[Persatuan Umat Islam Indonesia]].<ref>[http://www.al-shia.com/html/id/service/Info-Universitas/universitas%20Islam%20Indonesia.htm PosisiSejarah [[PersatuanSingkat Universitas Islam Indonesia]]</ref> Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian [[Abadi (PERSISsurat kabar)|Abadi]] pada tahun 1947.
dibekukan pada saat itu, ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, <ref>[http://www.al-shia.com/html/id/service/Info-Universitas/universitas%20Islam%20Indonesia.htm Sejarah Singkat Universitas Islam Indonesia]</ref> Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian [[Abadi (surat kabar)|Abadi]] pada tahun 1947.
 
[[Nahdlatul Ulama]] (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, [[Hasyim Asy'arie|KH Hasyim Asy'arie]], terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan [[Pengurus Besar Nahdlatul Ulama]] (PBNU) pada tanggal [[5 April]] [[1952]] akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada [[Pemilu 1955]]. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun [[1960]].
Baris 42 ⟶ 41:
=== Di bawah Kabinet Natsir ===
{{main|Kabinet Natsir}}
Presiden Soekarno memberikan tanggung jawab pembentukan [[Kabinet Pemerintahan Indonesia|kabinet pemerintahan]] pertama Indonesia pasca kemerdekaan kepada tokoh [[Persatuan Islam]] (PERSIS) yang menjabat sebagai Ketua Umum Masyumi, [[Mohammad Natsir]].{{sfn|Feith|1962|p=148}} Dengan 49 kursi parlemen, Masyumi merupakan partai terbesar yang menduduki kursi DPR. Sebagian besar pengamat berasumsi, bahwa kurangnya persentase mayoritas Masyumi di parlemen menghilangkan hak mereka untuk memerintah secara sepenuhnya, oleh karena itu mereka membutuhkan pragmatisme politik untuk berusaha membangun pemerintahan koalisi. [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) yang merupakan partai terbesar kedua di parlemen, sempat dipertimbangkan sebagai mitra koalisi Masyumi dalam kabinet.{{sfn|Lucius|2003|p=75}}
 
Sebagai formatur, pada awalnya Natsir mencoba membentuk kabinet dengan menggabungkan Masyumi bersama PNI, namun serangkaian perselisihan mengenai pembagian posisi kunci di kementerian menyebabkan upaya-upaya ini gagal. Natsir kemudian mengubah strateginya, dan dengan berani mengganti rencananya untuk mengatur kabinet dengan menemptkan para anggota Masyumi sebagai inti, ditambah dengan perwakilan non-partai dan anggota dari banyak partai kecil di parlemen, sedangkan PNI diabaikan dalam rencananya.{{sfn|Feith|1962|p=150}} Hasilnya, ia mampu membentuk kabinet dimana kader-kader Masyumi memegang jabatan [[Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri]], kemudian posisi kunci seperti [[Menteri Luar Negeri Indonesia|Menteri Luar Negeri]], [[Menteri Keuangan Indonesia|Keuangan]], dan [[Menteri Agama Indonesia|Agama]]. Kelima jabatan tersebut diberikan kepada individu-individu yang tidak memiliki hubungan dengan partai tertentu, dan sembilan kursi lainnya dialokasikan ke beberapa partai kecil, masing-masing terdiri dari [[Partai Sosialis Indonesia]] (16 kursi), [[Partai Indonesia Raya]] (9 kursi), [[Parkindo]] (4 kursi), [[Persatuan Indonesia Raya]] (18 kursi), Fraksi Katolik (8 kursi), Fraksi Demokrasi (14 kursi), dan [[Partai Sarekat Islam Indonesia]] (5 kursi). Pembagian dua jabatan menteri yang relatif sederhana ke PSI memungkiri fakta bahwa kelima menteri tanpa afiliasi partai dianggap telah berbagi agenda politiknya.{{sfn|Feith|1962|p=151}}