Bahasa Mandailing: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
+conten
+conten
Tag: mengosongkan halaman [ * ]
Baris 36:
 
Secara umum, orang Mandailing akan menggunakan bahasa Melayu bila bertemu, apabila ada kata-kata yang tidak dimengerti dalam dialek lokalnya masing-masing.
 
== Sastra Mandailing ==
=== Kesusasteran Mandailing klasik ===
Seni sastra Mandailing ditularkan melalui tradisi yang khas, misalnya melalui medium berikut:<ref name=askolani/>
 
1. Marturi
Tradisi bercerita dalam konteks sosial Mandailing yang dilakukan secara verbal. Cerita ditularkan secara turun-temurun. Plot menggunakan alur maju dan banyak memuat ajaran tentang budi pekerti.
 
2. Ende Ungut-ungut
Dibedakan atas temanya. Ende merupakan ungkapan hati, ekspresi kesedihan karena berbagai hal, misalnya kesengsaraan hidup karena kematian, ditinggalkan, dan lain-lain. Selain itu juga berisi pengetahuan, nasehat, ajaran moral, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Ende ungut-ungut menggunakan pola pantun dengan persajakan ab-ab atau aa-aa. Sampiran biasanya banyak mengadopsi nama tumbuhan, karena adanya bahasa daun.
 
Contoh :
{{Verse translation|
{{lang|btm|'''[[Bahasa Mandailing]]'''
tu sigama pe so lalu
madung donok tu Ujung Gading
di angan-angan pe so lalu
laing tungkus abit partinggal}}
 
|'''Bahasa Indonesia'''
Ke Sigama pun tidak sampai
Sudah dekat ke Ujung Gading
Yang di angankanpun tidak sampai
Tetap tersimpan kain kenangan}}
 
=== Masa kolonial ===
Beberapa tonggak sastra yang berkembang di masa kolonial antara lain:
* [[Willem Iskander]] (1840-1876) menulis buku
#“Hendrik Nadenggan Roa, Sada Boekoe Basaon ni Dakdanak.” (Terjemahan). Padang: Van Zadelhoff and Fabritius (1865)
# “Leesboek van W.C. Thurn in het Mandhelingsch Vertaald.” Batavia: Landsdrukkerij. (1871)
# “Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk.” (1872)
# “Taringot di Ragam-ragam ni Parbinotoan dohot Sinaloan ni Alak Eropa.” Naskah ini diadaptasi dari buku “Ceritera Ilmu Kepandaian Orang Putih” yang ditulis oleh Abdullah Munsyi, seorang sastrawan dan ahli tata bahasa Melayu. (1873)
 
* Soetan Martua Raja (Siregar). Ia lahir dari keluarga aristokrat di Bagas Lombang Sipirok, berpendidikan HIS, sekolah elite di Pematang Siantar. Karyanya adalah:
# “Hamajuon” (Bahan Bacaan Sekolah Dasar)
# “Doea Sadjoli: Boekoe Siseon ni Dakdanak di Sikola.” (1917). Buku ini menimbulkan daya kritik terhadap pemikiran anak-anak. Ditulis dengan aksara Latin (Soerat Oelando) yang relatif mengembangkan pedagogik sekuler. Buku ini mengadopsi poda, semacam storyteller yang berisi petuah, ajaran moral dalam konteks tingkat berpikir anak-anak.
# “Ranto Omas” (Golden Chain), 1918.
 
* Soetan Hasoendoetan (Sipahutar), penulis novel dan jurnalis. Karya-karyanya:
# Turi-Turian (cerita bertutur, mengisahkan hubungan interaksi antara manusia dengan penguasa langit)
# “Sitti Djaoerah: Padan Djandji na Togoe.” (1927-1929), sebuah serial berbahasa Angkola Mandailing yang dimuat secara berantai dalam 457 halaman. Serial ini dimuat di mingguan “Pustaha” yang terbit di Sibolga. Kisah ini diyakini menjadi alasan pembaca membeli surat kabar tersebut. Serial ini mengadopsi cerita-cerita epik, turi-turian, dan berbagai terminologi sosial masyarakat Angkola-Mandailing dan ditulis dengan gaya bertutur novel. Ini selaras dengan berkembangnya berbagai novel berbahasa Melayu yang dipublikasikan pemerintah kolonial. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, masa ini dikenal dengan masa Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20-an. Soetan Hasundutan mengatakan bahwa ia menulis novel roman ini karena terinspirasi dengan novel “Siti Nurbaja” (Marah Rusli, 1922) yang sangat populer ketika itu.
# “Datoek Toengkoe Adji Malim Leman.” (1941), terbitan Sjarief, Pematang Siantar.
* Mangaradja Goenoeng Sorik Marapi, menulis buku “Turian-turian ni Raja Gorga di Langit dohot Raja Suasa di Portibi.” Buku ini diterbitkan Pustaka Murni Pematang Siantar bertajuk tahun 1914.
 
* Sutan Pangurabaan. Karyanya, “Ampang Limo Bapole.” (1930), “Parkalaan Tondoeng” (1937), “Parpadanan” (1930), dan sebuah buku berbahasa Melayu “Mentjapai Doenia Baroe” (1934). Di samping buku-buku yang ditulis Willem Iskander, buku-bukunya juga menjadi buku bacaan untuk sekolah-sekolah masa kolonial.
 
* Soetan Habiaran Siregar menggali bahasa, tari-tarian, dan lagu yang berasal dari Angkola-Mandailing. Ia menulis beberapa turi-turian, antara lain: “Turi-turian ni Tunggal Panaluan”, “Panangkok Saring-Saring tu Tambak na Timbo” (1983), dan lain-lain. Selain itu, ia juga membuat komposisi lagu yang dibuat menggunakan komposisi beat berirama cha-cha.
Selain sastra berbahasa Mandailing Angkola tersebut, penting dicatat tumbuhnya sastra Indonesia yang berbahasa Melayu tetapi dengan mengadopsi warna lokal. Misalnya novel “Azab dan Sengsara” (1921) yang ditulis Merari Siregar. Novel ini mengangkat kontekstual adat dan budaya semacam kawin paksa, harta warisan, hubungan kekerabatan, dan tradisi lokal Mandailing-Angkola.<ref name=askolani/>
 
=== Kontemporer ===
Sastra Mandailing kontemporer tidak lagi berkembang sejak pra-kemerdekaan, dikarenakan berubahnya kurikulum pendidikan yang memakai bahasa Nasional dengan sendirinya mengikis pemakaian bahasa Mandailing.<ref name =askolani/>
 
=== Entertainment ===
Sastra dalam lirik lagu dan drama musikal berbahasa Mandailing antara lain :
* Drama musikal tahun 1970an dalam kepingan tape kaset recorder.
* Drama "[[Sampuraga]] namaila marina".
* Album lagu Mandailing dalam kepingan vcd periode awal.
* Album lagu Tapsel, Madina, Palas dan Paluta.<ref name=askolani>{{citeweb |url=http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/kesusastraan-mandailing |title =Kesusatraan Mandailing |publisher =www.jendelasastra.com |author=Askolani Nasution |date =27 Januari 2014}}</ref>
 
== Ragam bahasa ==
Baris 44 ⟶ 102:
# ''Hata teas dohot jampolak'' yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci maki.
# ''Hata si baso'' yaitu ragam bahasa yang digunakan khusus oleh si baso (tokoh shaman) atau datu.
# ''Hata parkapur'' yaitu ragam bahasa yang digunakan orang Mandailing di masa lalu ketika mereka mencari kapur barus.<ref>{{cite web |url=http://www.mandailingonline.com/mengenal-bahasa-mandailing-bagian-1/ |author =[[Basyral Hamidy Harahap]] |publisher =www.mandailingonline.com |title =Mengenal Bahasa Mandailing-bagian 1 |date =17 november 2018}}</ref>
 
Contoh kosa kata :
Baris 59 ⟶ 117:
|}
 
Di masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu alat komunikasi atau jenis bahasa tertentu yang disebut ''Hata bulung-bulung'' (bahasa dedaunan). Bahasa ini bukanlah berupa lambang bunyi melainkan menggunakan daun tumbuhan sebagai perlambangnya.<ref>{{cite web |url= http://www.mandailingonline.com/mengenal-bahasa-mandailing-4-selesai/ |title = Mengenal Bahasa Mandailing-bagian 4 |author = [[Basyral Hamidy Harahap]] |publisher =www.mandailingonline.com |date =21 November 2016 |accessdate =11 maret 2018}}</ref><ref name=tulila>{{cite book |author =Edi Nasution |last1= |first1= |last2= |first2= |editor-last= |editor-first=Edi Nasution |title=Tulilla, Muzik bujukan Mandailing |publisher=Arecabooks|date=2007|origyear=|pages=31|chapter= Bahasa Mandailing|chapterurl=https://books.google.co.id/books?id=tTa__ZfyMhEC&pg=PA31&lpg=PA31&dq=Hata+jampolak,+Hata+Andung&source=bl&ots=ZT-0T6R1Zq&sig=kn0Hu-YZqXVstSXx83VPPc2S2ZA&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwimoYrsiOPZAhWE6Y8KHe6iBJEQ6AEwAHoECAgQAQ#v=onepage&q=Hata%20jampolak%2C%20Hata%20Andung&f=false
|isbn=9789834283445
|lastauthoramp=y}}</ref>