99 Cahaya di Langit Eropa (novel): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Rudyindarto (bicara | kontrib)
Baris 30:
'''99 Cahaya di Langit Eropa''' adalah novel laris karya [[Hanum Salsabiela Rais]] dan Rangga Almahendra. Buku ini diterbitkan oleh [[Gramedia Pustaka Utama]] pada tahun 2011.
 
== SinopsisAlur ==
Buku [[autobiografi]] ini mengkisahkan kehidupan [[Hanum Salsabiela Rais]] saat dia menemani suaminya, Rangga Almahendra, mengikuti kuliah di [[Vienna]], [[Austria]] selama tiga tahun. Hanum merasakan untuk pertama kali bagaimana hidup di wilayah dimana penduduk beragama Muslim membentuk minoritas, dimana agama dipandang sebelah mata, serta bagaimana agama Islam sesungguhnya pernah berjaya di benua Eropa selama beberapa abad.
Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas. Pengalaman yang makin memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang berbeda.
 
Perjalanan pertama Hanum dimulai ketika ia mengikuti kursus [[bahasa Jerman]] di Vienna. Di sana, ia bertemu dan berteman dengan Fatma Pasha, wanita imigran asal [[Turki]] yang bersama dengan putri batitanya, Ayşe, menemani suaminya bekerja di Vienna. Selain mengajarkan mengenai sejarah kota Vienna yang hampir direbut oleh umat Islam pada abad ke-16, Fatma juga mengajarkan Fatma untuk menyikapi dengan baik orang yang memandang rendah agama Islam. Hanum dan Fatma kemudian merencanakan perjalanan keliling Eropa untuk mengunjungi situs-situs berserajah Islam. Namun, justru pada batas waktu yang ditentukan, Fatma menghilang secara tiba-tiba. Ia tidak membalas surel-surel Hanum, sementara rumah kontrakannya juga telah dikosongi. Ia bahkan tidak hadir dalam pelantikan kursus bahasa Jermannya.
Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari sekadar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepak bola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia. Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam.
 
Tidak putus asa, Hanum memutuskan untuk melanjutkan rencana mereka seorang diri. Kunjungan pertamanya adalah ke [[Paris]], [[Perancis]]. Ditemani dengan wanita pemandu wisata, Marion Latimer, Hanum menyusuri tengara-tengara populer di Paris, seperti [[Museum Louvre]], Panthéon, dan [[Notre Dame de Paris]]. Marion adalah seorang [[mualaf]] Perancis dan selain memberi gambaran umum, ia juga memberitahukan Hanum sejarah tersembunyi Islam di Paris. Umat Islam ternyata memiliki hubungan dekat untuk raja-raja Perancis sejak zaman Pertengahan. Islam menjadi tonggak cahaya yang menerangi Eropa ketika benua tersebut dilanda kegelapan, kebodohan, dan ketidaktahuan, dan buktinya dapat dilihat seperti manik-manik dan karya seni di Paris yang terinspirasi oleh peradaban Islam.
Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya.
 
Setelah perjalanan di Paris, Hanum menunggu beberapa bulan sehingga Rangga dapat mengambil cuti dan menemaninya dalam perjalanan keduanya ke [[Kordoba, Spanyol]]. Mereka mengunjungi [[Masjid Kordoba]] dan mempelajari sejarah Islam di sana. Kordoba adalah ibukota dari [[Keamiran Kordoba]], sebuah negara pecahan [[Kekhalifahan Umayyah]] yang pernah menguasai keseluruhan [[Iberia]]. Meskipun mereka bermusuhan, kerajaan-kerajaan Kristen Eropa juga mengagumi peradaban maju Kordoba, baik dalam segi pengetahuan maupun arsitektur. Kordoba adalah satu dari sedikit wilayah dimana tiga [[agama Abrahamik]]: Kristen, Islam, dan Yahudi, dapat hidup berdampingan.
Pertemuanku dengan perempuan Muslim di Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan dalamnya samudra kerendahan hati.
 
Setahun setelah perjalanannya di Kordoba, Hanum terkejut ketika ia secara mendadak mendapatkan surel dari Fatma. Ternyata Fatma dan sanak keluarga telah kembali ke kampung halamannya. Ia berjanji akan menjelaskan Hanum yang sebenarnya bila ia mengunjungi [[Istanbul]], Turki, tujuan ketiga rencana perjalanan mereka. Di sana, Fatma mengantarkan Hanum dan Rangga mengunjungi situs-situs terkenal seperti [[Hagia Sophia]] dan [[Masjid Sultan Ahmed]]. Karena tidak melihat Ayşe, Hanum menanyakan perihalnya. Dengan berat hati, Fatma mengungkapkan bahwa Ayşe telah meninggal dunia. Alasan Fatma menghilang dan tidak menghubungi Hanum lagi adalah karena ia harus menanggung pengobatan Ayşe yang sakit parah secara tiba-tiba. Ketika Ayşe wafat, ia merasa tidak dapat lagi tinggal di Vienna sehingga memutuskan untuk pulang dan menenangkan diri bersama suaminya. Saat ini, Fatma sudah memulihkan dirinya dan telah dikarunai seorang putra sebagai pengganti Ayşe.
Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru mengantarkanku ke Kota Paris, pusat ibu kota peradaban Eropa.
 
Ketika masa pendidikan Rangga berakhir, Hanum dan Rangga kembali ke [[Indonesia]]. Namun Hanum masih memiliki tujuan terakhir perjalanannya, sebuah titik awal pencarian makna dan tujuan hidup dimana ia dapat didekatkan dengan Yang Maha Sempurna. Ia dan Rangga bertolak ke [[Mekkah]] untuk melakukan ibadah [[haji]].
Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan kasih.
 
Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan
 
Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya.
 
Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar umat beragama.
 
Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.
 
== Film adaptasi ==