Filsafat Buddhis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
\
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 268:
</ref> Seperti pada yang ditemui pada gerakan nasionalis di Thailand, Sri Lanka,<ref name=":9" /> dan Myanmar ; Atau bahkan lebih jauh ke zaman peradaban Tiongkok kuno, terdapat catatan sejarah diimana pada tahun 621, para biksu dari kuil Shaolin berpartisipasi dalam pertempuran untuk membantu Dinasti Tang yang berkuasa.<ref name=":10">{{Cite news|url=https://www.thoughtco.com/war-and-buddhism-449732|title=How does a Peaceful Philosophy Reconcile to the Reality of War?|newspaper=ThoughtCo|access-date=2017-10-21}}</ref> Keterlibatan dalam suatu pertempuran untuk mempertahankan diri, keluarga, dan negara secara umum tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Begitu pula dalam pandangan awam umat Buddha.<ref name=":10" /> Hal ini kemudian yang umum dipakai oleh pemimpin politik untuk menyusun suatu narasi, demi mempertahankan wilayah, atau bahkan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
 
====== Hak asasi manusia dalam Pandanganpandangan ajaran Buddha ======
Secara singkat, hak asasi manusia merupakan suatu norma yang didefinisikan secara universal untuk melindungi seluruh manusia dari penyalahgunaan kekuasaan, hukum, dan tradisi.<ref>{{Cite book|url=https://plato.stanford.edu/archives/spr2017/entries/rights-human/|title=The Stanford Encyclopedia of Philosophy|last=Nickel|first=James|date=2017|publisher=Metaphysics Research Lab, Stanford University|editor-last=Zalta|editor-first=Edward N.|edition=Spring 2017}}</ref> Contoh hak asasi manusia seperti : hak dalam kebebasan beragama, hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat siksaan, hak untuk terlibat dalam aktivitas politik, dan lain-lain.<ref>{{Cite web|url=http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/|title=Universal Declaration of Human Rights|website=www.un.org|language=en|access-date=2017-10-21}}</ref> Dalam ajaran Buddha, tidak terdapat definisi pasti mengenai hak asasi manusia. Kata "hak" selalu menjadi kata yang asing jika diterjemahkan dalam bahasa yang terkait literatur ajaran Buddha.<ref name=":11">Emmanuel M. Steven (2013). ''A Companion to Buddhist Philosophy''. Willey-Blackwell. hlm. 651-662. "There is no precise definition of human rights in the Buddhist lexicon and no concept that can be mapped without problem in any of the Buddhist canonical languages. No matter how we parse the word “rights,” it remains a foreign concept when translated into Buddhist languages  ......"
</ref> Meskipun demikian, hal ini bukan berarti ajaran Buddha tidak mendukung konsepsi dari hak asasi manusia, bukan pula menandakan bahwasanya ajaran Buddha kekurangan konsep untuk menjelaskan istilah "hak asasi manusia". Melainkan perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap ajaran Buddha untuk mendapatkan pandangannya terhadap konsep hak asasi manusia. Pandangan ajaran Buddha terhadap hak asasi manusia jika dikaji lebih lanjut, tersatukan bersama konsep kewajiban dan pengakuan terhadap adanya ''dukkha.''<ref name=":11" /> Kewajiban manusia dalam ajaran Buddha diatur melalui hukum karma. Melalui hukum ini, setiap individu bertanggung jawab terhadap perbuatan, perkataan dan pemikiran mereka, dan juga menerima konsekuensinya.<ref name=":11" /> Tersirat juga dari hukum karma bahwa setiap memiliki kebebasan untuk melakukan hal apapun namun dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan makhluk lainnya, karena akan membawa karma buruk yang berdampak pada diri sendiri.