Suku Batak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Nampak, +Tampak; -nampak, +tampak; -Nampaknya, +Tampaknya; -nampaknya, +tampaknya)
Baris 207:
[[Ida Pfeiffer]] mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".<ref>[http://www.amazon.com/dp/0217663761 Pfeiffer, Ida, ''A Lady's Second Journey Around the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States.'' New York, Harper & Brothers, 1856, p. 151.]</ref>
 
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.<ref>Sibeth, p. 19.</ref> Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknyatampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.<ref>[http://www.amazon.com/dp/0472101765 Kipp RS. ''The early years of a Dutch Colonial Mission: the Karo Field.'' Ann Arbor: University of Michigan Press, 1990.]</ref>
 
Menurut [[Franz Wilhelm Junghuhn]], dalam bukunya yang berjudul [[Die Battaländer auf Sumatra]], kemungkinan ritual kanibalisme suku Batak hanyalah kabar angin yang ingin menakuti [[Belanda]] agar tidak berani memasuki Tanah Batak.