Musa Asy'arie: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Nampak, +Tampak; -nampak, +tampak; -Nampaknya, +Tampaknya; -nampaknya, +tampaknya)
Baris 84:
 
Beberapa bidang filsafat Islam dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
* '''Ontologi Islam''' membahas tentang “yang ada” (''being''), “yang nyata” (realitas), esensi dan eksistensi, hakikat kemajemukan (pluralitas), dan hakikat perubahan. Pada prinsipnya terdapat dua jenis ''ada'', yaitu ''ada'' yang mencitakan dan ''ada'' yang diciptakan, ''ada'' yang menyebabkan dan ''ada'' yang diakibatkan. ''Ada'' yang menciptakan tidak sepenuhnya tepat untuk disebut sebagai sebab yang ada, karena hukum sebab akibat berlainan dengan hukum yang menciptakan dan yang diciptakan. Hukum sebab akibat bisa bersifat fisik, mekanis, berdimensi material, sementara pencipta dan ciptaan di dalamnya selalu terkandung dimensi ideal, yang bersifat spiritual. Dalam konsep filsafat ditegaskan bahwa setiap proses penciptaan, selalu ada beberapa faktor yang menentukan adanya penciptaan, yaitu 1) Adanya pencipta (subjek). 2) Adanya ciptaan (objek). 3) Adanya bahan yang dipakai. 4) Adanya tujuan, yaitu gagasan ideal mengenai objek ciptaan, baik bentuk maupun apa yang ingin dicapai dengan bentuk itu. 5) Adanya proses, yang di dalamnya berkaitan dengan ruang dan waktu, di mana penciptaan itu dilakukan dan memakan waktu berapa lama (FIS: 41). Berbeda dengan yang ''ada,'' maka yang ''nyata'', kenyataan, pada dasarnya merupakan bagian dari yang ''ada'' itu sendiri, yaitu ''ada'' yang faktual, yang berupa fakta-fakta dalam kehidupan, sifatnya dinamik, dan dinamikanya dipengaruhi oleh proses dialektika kehidupan manusia yang kompleks, yang terjadi dan berlangsung dalam berbagai aspek kehidupannya, sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. ''Yang nyata'' (realitas) selalu berdimensi ruang dan waktu, karenanya selalu mengandung pluralitas dan relativitas. Hakikat realitas adalah immateri yang memateri, suatu spiritualitas yang faktual (FIS: 45-46). Dalam setiap yang ''ada'', baik yang nyata maupun yang tidak nyata, selalu ada dua sisi di dalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi ada yang gaib, sisi yang nampaktampak adalah eksistensi, sedangkan bagi ''ada'' yang konkret, sisi yang nampaktampak bisa kedua-duanya, yaitu esensi dan eksistensi (FIS: 50). Sementara itu fakta adanya pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari apalagi ditolak. Pluralitas merupakan kodrat dari kehidupan yang tidak mungkin ditiadakan, dan karenanya tidak pernah ditemukan dalam kehidupan ini dua hal yang sama persis dari berbagai sisi dan aspeknya (FIS: 56). Terkait dalam perubahan, filsafat Islam memandang perubahan kehidupan kesemestaan itu pada hakikatnya ''sunnatullah'' yang mekanismenya terkendali dalam hukum-hukum alam yang ditetapkan sejak proses penciptaan itu terjadi (FIS: 61).
* '''Epistemologi Islam''' membahas tentang objek kajian ilmu, cara memperoleh ilmu, kebenaran ilmu, tujuan ilmu, dan hubungan antara ilmu dengan etika. Wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya bercorak tauhid, dan tauhid dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan non syariah (FIS: 67). Dalam Alquran dijelaskan bahwa di dalam ayat-ayat Tuhan, yaitu alam, manusia dan kitab suci, di dalamnya terdapat hukum-hukum dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau memikirkannya, karena melalui proses pemikiran keilmuan itu, maka akan tersingkap dan diketahui makna kebenaran yang ada di dalamnya, yang memungkinkan manusia memanfaatkan untuk kepentingan hidupnya. Alquran 43:3-4 menjelaskan tentang dirinya sebagai objek berpikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah: ''Sesungguhnya Kami menjadikan Alquran berbahasa Arab agar kamu berpikir. Dan sesungguhnya Alquran dalam induk Kitab, di sisi Kami adalah tinggi dan penuh hikmah'' (FIS: 68).   Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu ''kasbi'' atau ''khushuli'' dan jalan ''ladunni'' atau ''khudhuri''. Jalan ''kasbi'' atau ''khushuli'' adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan. Ilmu ini biasa diperoleh oleh manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses itu, dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangkan ilmu ''ladunni'' atau ''hudhuri'', diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahan oleh hadirnya cahaya Ilahi dalam ''qalb'', dengan hadirnya cahaya Ilahi itu semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini Tuhan bertindak sebagai Pengajarnya (FIS: 72). Dalam konsep filsafat Islam, kebenaran sesungguhnya datang dari Tuhan, melalui hukum-hukum yang sudah ada dan ditetapkan pada setiap ciptaan-Nya, yaitu dalam alam semesta, manusia dan Alquran. Semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan yang menjadi sumber kebenaran yang terkandung dalam sunnatullah: hukum alam, hukum akal sehat dan juga hukum agama (moralitas) (FIS: 78). Kebenaran dan ilmu tidak boleh berada di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena akan melahirkan kekuasaan. Dengan demikian etika ilmu adalah keberpihakan kepada kebenaran, pembebasan manusia dan kemandirian artinya tidak terkooptasi oleh sistem yang menindas (FIS: 86).
* '''Etika Islam''' membahas tentang hakikat baik dan jahat, etika sosial, etika ekonomi, etika politik, etika kebudayaan, dan etika agama. Dalam konsep filsafat Islam, yang baik itu disebut ''al-ma’ruf''  artinya semua orang secara kodrati tahu dan menerimanya sebagai kebaikan, sedangkan yang jahat itu disebut ''al-munkar'' yaitu semua orang secara kodrati menolak dan mengingkarinya. Nilai baik atau ''al-ma’ruf'' dan nilai jahat atau ''al-munkar'' adalah bersifat universal, dan manusia diperintahkan untuk melakukan yang baik dan menjauhi serta melarang tindakan yang jahat (FIS: 92). Dalam etika sosial terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama yaitu: persamaan dan kebersamaan, keadilan sosial, serta keterbukaan dan musyawarah (FIS: 95-100). Dalam etika ekonomi, pemilikan kekayaan dan harta benda oleh individu atau pun masyarakat tidaklah bersifat mutlak, karena kekayaan sesungguhnya diperoleh hanya dengan memanfaatkan kekayaan alam dan kerja sama dengan sesama manusia yang lainnya, dan pemilik mutlak yang menguasai langit dan bumi adalah hanya Allah sendiri, bukan manusia, baik oleh pribadi maupun masyarakat (FIS: 104). Sementara dalam etika politik, menurut konsep filsafat Islam, etika politik didasarkan pada politik moral, bukan politik kekuasaan. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak, yang dijalankan dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental. Kepemimpinan politik Islam tidak terletak pada Islam yang formalistik, tetapi pada Islam yang substansinya pada aktualitas prinsip musyawarah keadilan, kebenaran, persamaan dan kebebasan berpikir (FIS: 113). Dalam etika kebudayaan, sejak dari berpikir, berimajinasi dan beraktualisasi diri dalam pilihan-pilihan serta percobaan-percobaan kreatif dalam realitas kehidupan, seharusnya didasarkan pada nilai-nilai yang baik, untuk menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi (FIS: 115). Dan dalam etika agama, terdapat empat hal pokok yang dibicarakan yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan. Etika agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan dengan dirinya, hubungan manusia dengan alam di sekitarnya serta hubungan manusia dengan kebudayaan (ciptaannya) (FIS: 117-118).