Kerusuhan Poso: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 105:
 
==== Kedatangan BRIMOB ====
Pada tanggal 17 April, anggota BRIMOB secara tidak sengaja menembaki kerumunan massa, menewaskan Mohammad Yusni (23) dan Yanto (13) dan melukai delapan orang Muslim lainnya, termasuk seorang pria bernama Rozal Machmud yang dilaporkan meninggal kemudian karena luka-lukanya. Setelah penguburan korban pada siang yang sama, Muslim yang marah menyerang Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan sekolah.{{sfn|Mappangara|2001|p=50}} Keesokan harinya, Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan disambut oleh sekelompok Muslim yang dipimpin oleh pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa Tompo. Mereka menuntut agar Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus melawan Agfar Patanga ditutup, agar Kapolres dipecat, dan agar pasukan BRIMOB dikirim kembali ke Palu.{{sfn|Aragon|2001|p=65}} HRWHuman Rights Watch menilai tuntutan tersebut mencerminkan tema konflik yang mendasar: persaingan politik, sistem peradilan yang dipolitisir, dan ketidakpuasan terhadap para penegak hukum. BRIMOB dikirim pulang, namun pembakaran rumah berlanjut setelah sebuah mayat tak dikenal ditemukan di samping sejenis topi yang biasanya dikenakan oleh pihak Islam. Muslim dari kota dan sekitarnya membakar rumah, gereja, dan markaskantor cabang [[Partai Demokrasi IndonesiaPDI-PerjuanganP]] (PDI-P), meninggalkan Lombogia dan [[Kasintuwu, Poso Kota Utara, Poso|Kasintuwu]] dalam kondisi hancur. Razia dalam bentuk pengecekan identitas —terutama terkait agama— dimulai di wilayah mayoritas Muslim. Beberapa orang Kristen dilaporkan ditarik paksa untuk keluar dari mobil dan dibunuh.
 
[[Kodam Wirabuana|Pangdam Wirabuana]] [[Slamet Kirbiantoro|Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro]] di Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya mengirim 600 tentara dan pertempuran mereda. Gubernur meminta masyarakat Kristen Poso, yang banyak di antaranya telah melarikan diri ke Tentena atau bukit-bukit di sekitar kota Poso, untuk tidak membalas dendam namun menyerahkannya kepada Tuhan. Polisi mengumumkan tahap kedua selesai pada tanggal 3 Mei 2000.<ref name=FASE2#1>{{harvnb|Aragon|2001|p=66}}; {{harvnb|Braithwaite|Braithwaite|Cookson|Dunn|2010|p=249}}; {{harvnb|Human Rights Watch|2002|p=16}}; {{harvnb|McRae|2013|p=48}}</ref> Selama fase kedua, kedua belah pihak mulai menggunakan ikat kepala berwarna dan ban lengan untuk membedakan diri. Para pejuang Kristen dikenal sebagai pasukan merah atau kelompok merah, dan kelompok Islam sebagai pasukan putih atau kelompok putih. Meskipun pentingnya agama tidak boleh diabaikan, kedua kelompok ini juga mengatur jalur sosial, etnis, dan ekonomi, dan dengan demikian istilah pejuang Protestan atau Muslim berisiko terlalu menyederhanakan konflik.