Maraden Panggabean: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Snovanwimo98 (bicara | kontrib)
Snovanwimo98 (bicara | kontrib)
Baris 166:
 
Pada tanggal 17 Pebruari 1955 Letkol M. Panggabean tergabung dalam Tim Perwira TT. II untuk memberikan masukan-masukan dalam Konferensi Perwira Angkatan Darat di Yogyakarta dalam rangka membina keutuhan Angkatan Darat. Tim perwira TT. II/Sriwijaya berjumlah 15 orang, terdiri dari Kolonel 1 orang, Letkol 2 orang, Mayor 7 orang, dan Kapten 5 orang, nama-namanya sebagai berikut:
# Kolonel [[Bambang Utoyo]] Panglima TT. II/Sriwijaya.
# Kapten [[Alamsjah Ratoe Perwiranegara|Alamsyah Ratu Perwiranegara]] Kasi 2 TT. II/Sriwijaya.
# Mayor Darmo Sugondo Komandan Batalyon Inf. D.
# Mayor [[D.I. Pandjaitan|D. I Pandjaitan]] Wakil Kepala Staf TT. II.
# Mayor Haffiludin Komandan Batalyon PM. II.
# Mayor Hasan Kasim Pa CIAD TT. II/Sriwijaya.
# Letkol [[Ibnu Sutowo]] Kepala DKAD TT. II/Sriwijaya.
# Kapten J. M Patiasena Komandan Batalyon Genie PL. TT. II/Sriwijaya.
# Mayor Jusuf Kepala Cabang BPAT II.
# Letkol M. Panggabean Komandan RI 5 TT. II/Sriwijaya.
# Mayor [[Musannif Ryacudu|Musanif Ryacudu]] Komandan KMKB Palembang.
# Kapten Nur Nasution Komandan IPRI TT. II/Sriwijaya.
# Mayor Roosman Komandan RI 6 TT. II/Sriwijaya.
Baris 213:
# Komandan Detasemen Staf : Lettu Sudarsono
# Perwira Penerangan : Lettu I G. Dwipayana
# Dokter RTP III : Kapten dr. Subagio dan perwira-perwira lainnya dari `Dinas Angkutan, Peralatan, Kesejahteraan, dan sebagainya.
Dalam pemberangkatan pasukan ke Palopo Letkol M. Panggabean memerintahkan tiga perwira untuk berangkat naik kapal laut mendahului guna mempersiapkan akomodasi bagi staf RTP, namun karena kerusakan propeler, kapal tersebut baru dapat mendarat di Palopo tanggal 18 November 1958 pukul 08.00. Pada tanggal 19 November 1958, Letkol Maraden Panggabean berangkat ke Makassar dan tiga hari kemudian menerima Komando RTP III dari Kodam XIV Hasanuddin. Mengenai keadaan pasukan lawan, Letkol Maraden Panggabean memperoleh informasi, bahwa di daerah rawa-rawa di sebelah utara Palopo bercokol beberapa pasukan dari Kahar Muzakkar yang mungkin sudah mempunyai kontak untuk kerjasama dengan pasukan PRRI-Permesta yang menyusup ke daerah itu. Akan tetapi masih perlu dicari tambahan informasi mengenai konsentrasi dan maksud lawan.
 
Baris 239:
# Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
# Bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei untuk membubarkan negara boneka
Pada tanggal 16 Mei 1964 terbentuk Komando Siaga (Koga) yang tugasnya mengkoordinasikan kegiatan militer untuk menghadapi Malaysia. Koga dipimpin oleh Marsekal Madya Udara [[Omar Dhani]], Panglima AURI, dengan Laksamana Muda [[Muljadi|Mulyadi]] dari ALRI sebagai Wakil Panglima I dan Brigjen TNI Achmad Wiranatakusumah dari AD sebagai Wakil Panglima II.
 
Serangan-serangan militer dilakukan sekitar bulan Agustus dan September 1964, akan tetapi tidak berhasil. Dengan mengambil contoh dari pengalaman sewaktu Trikora, kemudian Letnan Jenderal A. Yani dalam kedudukannya sebagai Kepala Staf Koti, menekankan perlu adanya koordinasi yang dipegang oleh seorang pimpinan yang telah berpengalaman.
Baris 248:
 
=== Peristiwa G30S/PKI (1965) ===
Pada saat terjadinya Peristiwa G30S/PKI, Mayjen TNI Maraden Panggabean berada di Jakarta dalam perjalanan dinas dan kebetulan ditemani oleh Istrinya. Pada tanggal 30 September 1965 M. Panggabean melapor kepada Letnan Jenderal [[Ahmad Yani|A. Yani,]] Men/Pangad di Mabad untuk pamitan kembali esok harinya ke Banjarmasin. Sebagaimana biasanya, apabila sedang bertugas ke Jakarta, M. Panggabean juga mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Mayor Jenderal S. Soeprapto, Mayor Jenderal S. Soeparman, Brigadir Jenderal D. I Panjaitan, Mayor Jenderal Soetoyo, dan Mayor Jenderal Haryono yang semuanya kebetulan pula berada di SUAD pada hari itu. Sama sekali di luar dugaan, ternyata pertemuan itu merupakan pertemuan terakhir dengan para pejabat teras TNI-AD tersebut. Karena besok harinya mereka telah diculik dan menjadi korban kebiadaban PKI.
 
Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 05.30, mereka bertiga, yaitu istri, Pak [[Tjilik Riwut|Cilik Riwut]] (almarhum), mantan anggota DPA/Gubernur Kalimantan Tengah dan M. Panggabean sedang minum kopi di teras atas Mess Koanda Kalimantan di Jalan Blora. Pada saat itu Nampak iring-iringan truk tentara penuh dengan pasukan bergerak dari arah Senayan menuju utara ke arah Jalan Thamrin. Menyelutuk Pak Cilik Riwut ''“Kok, banyak benar pasukan, mau kemana pagi hari seperti ini?”'' Karena memang tidak mengetahuinya, M. Panggabean pun tidak dapat menjawab pertanyaannya. Tetapi M.Panggabean menduga “mungkin persiapan latihan dalam rangka perayaan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965 nanti”.
 
Kemudian mereka bertiga berkemas dan berangkat menuju Kemayoran. M. Panggabean satu mobil dengan istri, sedang Pak Cilik Riwut menggunakan kendaraan pribadi. Mereka menempuh rute Jalan Thamrin melalui Bank Negara Indonesia, air mancur, depan kantor DKI, Hotel Transaera, kantor Shell, Lapangan Banteng dan Jalan Gunung Sahari. M. Panggabean mengenakan pakaian dinas harian Angkatan Darat. Mulai air mancur sepanjang Lapangan Monas, M. Panggabean melihat pasukan Angkatan Darat mengambil posisi siap tempur. Mereka semua memakai syaal, sedang pada bahu lengan kiri melekat pita berwarna merah. Pemakaian syaal dan pita seperti itu adalah biasanya sebagai tanda pengenal dalam pertempuran.
 
Melihat keadaan ini, M. Panggabean meminta sopir agar mengurangi kecepatannya. M. Panggabean sengaja melongokkan kepala keluar pintu kaca belakang mobil dan berulang-ulang mengucapkan “Selamat pagi”. Karena tidak pernah dijawab, M. Panggabean merasa agak tersinggung dan bertanya dalam hati: “Mengapa pasukan Angkatan Darat ini tidak berdisiplin?”. Saat singgah di Surabaya untuk mengisi bahan bakar M. Panggabean turun dan berjalan menuju terminal di mana telah berkerumun banyak orang. Mereka segera menghampiri M. Panggabean dan menghujani M. Panggabean dengan pertanyaan yang terkait dengan apa yang terjadi di Jakarta. M. Panggabean pun terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, karena diajukan dengan wajah yang penuh ketegangan dan kecemasan. M.Panggabean menduga mereka menanyakan mengenai sesuatu kejadian di Jakarta yang mungkin mereka dengar melalui RRI sewaktu M. Panggabean masih berada di pesawat antara Jakarta dan Surabaya. Sehingga yang dapat diceritakan M. Panggabean adalah hanya apa yang dia lihat antara Mess Koanda Kalimantan sampai Lapangan Udara Kemayoran. Setelah selesai mengisi bahan bakar, pesawat segera berangkat ke Banjarmasin. Setibanya di Lapangan Udara Ulin, M. Panggabean telah ditunggu oleh Panglima Daerah Kodam X/Lambung Mangkurat Brigjen TNI [[Amirmachmud|Amir Mahmud]], Pangkodau dan Pangkoanda Polri Sukahar. Mereka pun bertanya tentang apa yang terjadi di Jakarta. M. Panggabean ajak mereka untuk membicarakannya di ruangan Pangkodau yang ada di terminal.
 
Pertanyaan-pertanyaan para panglima tentang apa yang terjadi di Jakarta, M. Panggabean pun belum bisa menjawab karena terbatasnya informasi. M. Panggabean hanya dapat menguraikan apa yang terjadi sejak keberangkatan dari Mess Koanda Kalimantan sampai ke Lapangan Terbang Kemayoran, serupa dengan yang diuraikan kepada sekelompok masyarakat yang bertanya kepada M. Panggabean di Surabaya. Keadaan yang tidak jelas ini memaksa M. Panggabean untuk hari itu juga kembali ke Jakarta dengan pesawat yang sama, karena naluri M.Panggabean mengatakan, bahwa ada sesuatu kejadian yang sangat penting, bahkan mungkin sangat fatal di Jakarta. Kepada para Panglimanya kemudian berpesan untuk meningkatkan kewaspadaan dalam rangka mengawal negara milik kita bersama dan yang kita cintai itu. M. Panggabean menandaskan, jika ada golongan yang hendak memaksakan kehendaknya dengan cara-cara yang tidak konstitusional, agar ditangkap dan ditahan saja.
 
Dalam penerbangan dari Banjarmasin ke Surabaya M. Panggabean diundang oleh Kapten Pilot untuk memasuki kokpit pesawat, saat itu terdengar RRI menyiarkan pengumuman dari yang menamakan dirinya “Dewan Revolusi” di Jakarta, di bawah pimpinan Letnan Kolonel [[Untung Syamsuri|Untung]]. Dari siaran itu jelas dapat diketahui, bahwa memang telah terjadi suatu pengambilalihan pemerintahan yang sah oleh Dewan Revolusi, dengan alasan mencegah suatu “Dewan Jenderal” mengadakan kudeta terhadap Pemerintah dan Presiden Ir. Soekarno. Kemudian ada pengumuman, bahwa pangkat tertinggi adalah Letnan Kolonel sesuai dengan pangkat Ketua Dewan Revolusi, Letnan Kolonel Untung sendiri. Segera timbul pertanyaan dalam hati M. Panggabean: Kenapa tidak ada sesuatu pesan dari Bung Karno? Lagi pula, kenapa tidak ada sesuatu pesan dari salah seorang Waperdam ataupun dari Jenderal A. Yani sebagai KAS Koti? Kenapa untuk masalah nasioanal yang begitu penting, RRI dipercayakan kepada seorang yang hanya berpangkat Letnan Kolonel dan kebetulan bernama Untung?.
 
Akhirnya M. Panggabean mengambil kesimpulan, bahwa di Jakarta pasti telah terjadi suatu kudeta yang tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kecuali PKI. Karena itu M. Panggabean harus lebih waspada jika tiba di Surabaya atau Jakarta nanti. Setibanya di Surabaya M. Panggabean melihat terminal penumpang kosong. Akan tetapi di luarnya, banyak orang sedang bergerombol. Seperti tadi pagi, mereka terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh M. Panggabean dan mereka menjadi kecewa. M. Panggabean memandang sekelilingnya, baru sadar, bahwa M.Panggabean berpakaian seragam AD dengan tanda pangkat Mayor Jenderal. Sedang baru saja “Dewan Revolusi” mengumumkan bahwa M. Panggabean tidak berhak lagi menyandang pangkat Jenderal. Tetapi M. Panggabean tidak memperdulikan hal itu, yang menjadi masalah ialah, bahwa semua penerbangan ke Jakarta telah dibatalkan, sehingga ke manakah M. Panggabean harus menginap malam itu? Bagaimana pula keadaan Kodam Brawijaya? Apakah mereka mematuhi “Dewan Revolusi” itu?.
 
Syukur kepada Tuhan, dari tengah-tengah orang banyak itu muncul Kolonel [[Soedharmono|Soedarmono]], seorang anggota Staf SUAD, ia juga mengenakan seragam AD dan menawarkan jasa jasanya untuk mencarikan penginapan yang aman bagi Mayor Jenderal TNI M. Panggabean, bukan di Mess Kodam Brawijaya, tentu Mayor Jenderal TNI M. Panggabean sangat gembira menerima bantuannya. Mayor Jenderal TNI M. Panggabean dibawa ke suatu rumah yang ternyata adalah Mess dari Pabrik Rokok Faroka/BAT. Pengurusnya sangat ramah, bahkan meminjamkan satu kemeja putih kepada Mayor Jenderal TNI M. Panggabean. Hingga, sekarang Mayor Jenderal M. Panggabean masih ingat kabaikan hatinya dan berkata “mudah-mudahan pada suatu ketika saya dapat membalasnya”.
 
Melihat keadaan yang masih serba gelap, Mayor Jenderal M. Panggabean kemudian merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Sedapatmungkin, Mayor Jenderal TNI M. Panggabean akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Jika hal itu tidak mungkin, Mayor Jenderal TNI M. Panggabean akan kembali ke Kalimantan dengan alat transportasi apa pun juga, baik melalui udara, maupun melalui laut. Dalam keadaan yang sejelek-jeleknya Mayor Jenderal TNI M. Panggabean akan menyeberang ke Kalimantan dengan perahu sekaligus untuk menyelamatkan anak-anak yang masih tinggal di Banjarmasin. Semuanya ini perlu diatur dengan cepat dan cermat, oleh karena Dewan Revolusi pasti akan mengganti para pejabat lama. Apabila Mess tempat penginapan Mayor Jenderal M. Panggabean pada waktu itu terancam, Mayor Jenderal M. Panggabean akan pindah ke rumah Mayor Risbanten, mantan Asisten I dari Kolonel Kretarto. Mayor Jenderal TNI M.Panggabean mengenalnya sewaktu sama-sama bertugas di Sumatera Selatan. Bilamana hal ini pun tidak mungkin, Mayor Jenderal M. Panggabean akan pindah ke rumah Pendeta Napitupulu. Rencana tersebut oleh Mayor Jenderal M. Panggabean disimpan diotak dan tidak memberitahukannya kepada ajudan. Untunglah, ternyata bahwa ajudannya pun sudah dibina oleh [[Partai Komunis Indonesia|PKI]].
 
Pada pukul 19.00 Mayor Jenderal M. Panggabean nyetel radio untuk mendengarkan siaran RRI Jakarta, diluar dugaan terdengar suara Mayor Jenderal [[Soeharto]] membacakan suatu pidato. Dalam pidato tersebut dia mengatakan bahwa suatu gerakan bernama G30S di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, telah menculik enam perwira tinggi dan satu perwira menengah, termasuk di dalamnya Men/Pangad Letnan Jenderal A. Yani. Keadaan telah dapat dikuasai dan Mayor Jenderal Soeharto untuk sementara waktu memegang pimpinan TNI Angkatan Darat, Presiden Ir. Soekarno den Jenderal A. H. Nasution berada dalam keadaan sehat walafiat. Mayor Jenderal M. Panggabean sangat gembira mendengar pidato itu dan rasanya Mayor Jendral M. Panggabean hendak meloncat-loncat dan menari-nari karena kegelisahannya hari-hari itu terjawab. Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi Mayor Jenderal M. Panggabean memanggil becak untuk berkeliling kota melihat keadaan.
 
== Karier politik ==