Mangga Dua Selatan, Sawah Besar, Jakarta Pusat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wie146 (bicara | kontrib)
Revisi, +info, pic, refs
Wie146 (bicara | kontrib)
k →‎Sejarah: redaksi
Baris 25:
==Sejarah==
[[Berkas:Masjid Manggadua.jpg|thumb|[[Masjid Manggadua]], sekitar tahun 1920-an.]]
Kampung Manggadua keberadaannya setidak-tidaknya telahsudah tercatat semenjak tahun 1685; ketika itu telah dihuni oleh sejumlah kecil suku [[Ambon]] muslim.<ref name=hendrik/>{{rp|97}} Pada tahun-tahun tersebut, Pemerintah Tinggi [[VOC]] (''de Hoge Regering'') mulai menata kampung-kampung di kawasan ''Ommelanden'', yakni wilayah di luar benteng [[Batavia]], untuk mengawasi dan mengendalikan berbagai kelompok etnis yang tinggal di Batavia dan sekitarnya. Tiap-tiap etnis dikumpulkan dalam satu, atau beberapa, kampung yang tersendiri dan diletakkan di bawah pengawasan dan pengaturan [[kapitan]] masing-masing. Semua ini dilakukan untuk mencegah dan mengurangi keributan antar suku dan menjaga Batavia dari pencurian, perampokan serta gangguan keamanan yang kemungkinan dilakukan oleh penghuni ''Ommelanden''.<ref name=hendrik/>{{rp|94-9,}}<ref name=kompas>{{aut|[[Parakitri Tahi Simbolon|Simbolon, P.T.]]}} (2006). ''Menjadi Indonesia''. Cet. ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. xxxvii+ 846 hlm. ISBN 979-709-264-X.</ref>{{rp|46-62}}
 
Namun, upaya untuk memilah-milah dan memisahkan aneka suku bangsa yang tinggal di Batavia dan sekitarnya itu terbilang gagal.<ref name=kompas/>{{rp|58}} Berselang dua puluhan tahun, sebagaimana dicatat oleh [[Cornelis Chastelein|Chastelein]] dan juga [[Frederik de Haan|de Haan]], pada awal abad ke-18 Kampung Manggadua telah diramaikan oleh pelbagai suku bangsa yang tinggal berbaur di sini, termasuk di antaranya suku-suku [[Bali]], [[Jawa]], dan [[Cina]]. Nama kampung ini berasal dari dua batang pohon [[mangga]] yang besar, yang tumbuh di dekatnya.<ref name=hendrik>{{aut|Niemejer, H.}} (2012). ''Batavia: masyarakat kolonial Abad XVII''. Jakarta: Masup Jakarta. xiv+449 hlm. ISBN 978-602-96256-7-7.</ref>{{rp|100}}
 
Pada masa-masa selanjutnya, Kampung Manggadua berkembang menjadi permukiman yang banyak dihuni oleh orang-orang Jawa; meski suku lain pun turut bertambah banyak. Sebuah masjid tua pernah berdiri di sini, dikitari oleh pekuburan yang luas, konon dibangun pada tahun 1841. Kini disebut [[Masjid Nurul Abrar, Mangga Dua|Masjid Nurul Abrar]], Masjid Nurul Abror, atau Masjid Manggadua, tempat ibadah ini dipugar total pada tahun 1986, dengan menyisakan empat tiang utama (''soko guru'') yang masih asli. Makam-makam yang sekarang ada di dalam dan di sekitarnya mencerminkan bahwa memang Kampung Manggadua telah lama ditinggali oleh berbagai suku bangsa. Di antaranya, makam Sayid Abubakar bin Sayid Aluwi dan makam Bahsan Jamalulail (suku [[Arab]]), serta makam Rd. Tumenggung Anggakusumah Dalem-Gadjah (suku [[Sunda]]). Seorang dari keluarga [[Kesultanan Banten]] pun tercatat pernah tinggal di sini, yakni Pangeran Ratu Bagus Urip Mohammad (wafat 1685).<ref name=heuken>{{aut|[[Adolf Heuken|Heuken, A.]]}} (2016). ''Tempat-tempat bersejarah di Jakarta''. Ed. ke-8. Jakarta :Cipta Loka Caraka.</ref>{{rp|215-6,}}<ref>Liputan 6: [http://news.liputan6.com/read/147677/masjid-nurul-abrar-terhimpit-di-tengah-kota ''Masjid Nurul Abrar terhimpit di tengah kota], berita 17 Sep 2007, 09:30 WIB. Diakses 28/X/2017.</ref>