Surat Perintah Sebelas Maret: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Arif Suryo (bicara | kontrib)
k koreksi struktur kalimat agar lebih mengalir dan lebih enak dibaca
Baris 5:
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan [[Soeharto]], selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban ([[Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban|Pangkopkamtib]]) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
 
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan [[Indonesia]] mengatakan bahwa terdapat berbagai versi naskah Supersemar sehingga masih ditelusuri mana naskah supersemar yang asli yang dikeluarkan oleh [[Soekarno|Presiden Soekarno]] di [[Istana Bogor]].
 
== Keluarnya Supersemar ==
[[Berkas:Supersemar.jpg|thumb|Supersemar]]
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal [[11 Maret]] [[1966]], Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan [[Kabinet Dwikora II|Kabinet Dwikora yang disempurnakan]] yang dikenal dengan nama "''kabinet 100 menteri''". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral [[Subur]] sebagai panglima pasukan pengawal presiden' [[Tjakrabirawa]] melaporkan bahwa banyakbanyaknya "''pasukan liar''" atau "''pasukan tak dikenal''" yang belakangan diketahui adalah Pasukan [[Kostrad]] dibawahdi bawah pimpinan Mayor Jendral [[Kemal Idris]] yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat [[G-30-S]] di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I [[Soebandrio]].
 
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III [[Chaerul Saleh]] berangkat ke Bogor dengan [[helikopter]] yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II [[Johannes Leimena|Dr.J. Leimena]] yang kemudian juga menyusul ke [[Bogor]].
 
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral [[Soeharto]] (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral [[Ahmad Yani]] yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebabsebab hal itu dianggap sebagai sebuahsuatu kejanggalan).
 
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral [[M. Jusuf]], Brigadir Jendral [[Amirmachmud]] dan Brigadir Jendral [[Basuki Rahmat]]. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno berlangsung hingga pukul 20.30 malam.
 
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai '''Su'''rat '''Per'''intah '''Se'''belas '''Mar'''et yang populer dikenal sebagai '''Supersemar''' yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Baris 34:
* Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) [[Sukardjo Wilardjito]], ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah [[Indonesia: Era Reformasi|Reformasi 1998]] yang juga menandakan berakhirnya [[Orde Baru]] dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal [[11 Maret]] [[1966]] pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) [[M. Panggabean]]. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah ''Surat Perintah Sebelas Maret'' yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “''Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati'',” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari [[RPKAD]] dan [[Kostrad]], Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
 
* MenurutMantan Kesaksianduta besar Indonesia di [[Kuba]] yang dipecat secara tidak konstitusional oleh [[Soeharto]], [[A.M. Hanafi]], dalam bukunya "''A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto''", seorang mantan duta besar Indonesia di [[Kuba]] yang dipecat secara tidak konstitusional oleh [[Soeharto]]. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadapke arah Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di [[Istana Merdeka]], [[Jakarta]] untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistanadi istana untuk menghindari kalauketerlambatan datangjika baru besoknya,datang demonstrasi-demonstrasikeesokan yangharinya sudahsehubungan berjubeldengan luar biasa maraknya demonstrasi di Jakarta. A.M Hanafi Sendirisendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) [[Chaerul Saleh]]. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke [[Istana Bogor]], menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan [[tank]]-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatangyang datang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
 
* Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD [[Ali Ebram]], saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.