Perang Batak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: penggantian teks otomatis (- dibawah, +di bawah)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 8:
| combatant1 = [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|25px]] [[Belanda]]
| combatant2 = Kerajaan Batak
| commander1 = [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|25px]] [[VanHans DaalenChristoffel]]
| commander2 = [[Sisingamangaraja XII]] {{KIA}}
| strength1 =
Baris 19:
Alasan meletusnya perang ini adalah:
* Raja Sisingamangaraja XII tidak senang daerah kekuasaannya diperkecil oleh Belanda. Kota [[Natal]], [[Mandailing]], [[Angkola]] dan [[Sipirok]] di Tapanuli Selatan dikuasai oleh Belanda.
* Belanda berusaha mewujudkan [[Pax Netherlandica]], Pax neerlandica adalah politik kolonial yang dimaksud sebagai kesatuan Nusantara dibawah kekuasaan penjajah Belanda, yang mempunyai arti penyatuan dan penentraman.
 
Perlu diketahui bahwa setelah perang Padri berakhir, Belanda mulai memasuki tanah Batak seperi Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini merupakan ancaman bagi kekuasaan Raja Batak, Sisingamangaraja XII (Patuan Ompu Pulo Batu) Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Sisingamagaraja XII karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun.
Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di [[Tarutung]], dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam ''[[Rhijnsnhezending]]'', dengan tokoh penyebarnya [[Nommensen]] (orang Jerman). Raja Sisingamangaraja XIII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di [[Bahal Batu]], [[Siborong-borong]], [[Balige Laguboti]] dan [[Lumban Julu]].
 
Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII berkampanye keliling daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para Zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Masuknya pengaruh Belanda ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak. Akibat kampanye Raja Sisingamangaraja XII telah menimbulkan akses pengusiran para zending di Silindung. Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos Zending di Silindung Kejadian ini memicu kemarahan Belanda dan dengan alasan melindungi para Zending, pada tanggal 8 Januari 1878 Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya untuk menduduki Silindung.
Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai [[Bakkara]], pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke [[Dairi Pakpak]]. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Van Daalen dari [[Aceh]] Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli.
 
Alasan untuk melindungi para Zending itu ternyata hanyalah dibuat-buat Belanda. Karena yang jelas Belanda mendudukin Silindung sebagai langkah awal untuk memasuki tanah batak yang merupakan wilayah kekuasaan Sisingamangaraja XII. Belanda ingin menguasai seluruh tanah Batak. Pertama kali pasukan belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju Bahal Batu. Rakyat batak dibawah pimpinan Sisingamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di Bahal Batu. Untuk menghadapi perang melawan Belanda ini rakyat Batak sudah menyiapkan benteng pertahanan seperti benteng alam yang terdapat di dataran tinggi Toba dan Silindung. Di samping itu, dikembangkan benteng buatan yang berad diperkampungan. Setiap kelompok kampung dibentuk empat persegi dengan pagar keliling terbuat dari tanah batu. DDiluar tembok ditanami bambu berduri dan disekeliling luarnya juga dibuat lagi parit yang cukup dalam. Pimtu masuk dibuat hanya beberapa buah dengan ukuran sempit.
 
Pertempuran pertama terjadi di Bahal Batu. Sisingamangaraja XII dengan pasukannya berusaha memberikan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi nampaknya kekuatan pasukan batak tidak seimbangg dengan kekuatan pasukan tentara Belanda, sehingga pasukan Sisingamangaraja XII ini harus ditarik mundur. Akibatnya justru pertempuran merembet ke daerah lain, misalnya sampai di Butar. Karena dengan gerakan mundur tadi, Pasukan Sisingamangaraja XII juga melakukan penyerangan pada pos-pos Belanda yang lain.
 
Perang Batak ini semakin meluas ke daerah-daerah lain. Setelah berhasil menggagalkan berbagai serangan dari pasukan Sisingamangaraja XII, Pada tahun 1894, Belanda mulai bergerak ke Bakkara. Bakkara merupakan benteng dan istana Kerajaan Si Singamangaraja. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar Belanda mulai mengepung Bakkara. Letnan Kitchner menyerang dari arah selatan, Chelter mendesak dari sebelah timur, sementara Van den Bergh mengepung dari arah barat. Beberapa komandan tempur Belanda berusaha memasuki benteng Bakkara, tetapi selalu dapat dihalau dengan lemparan batu oleh para pejuang Batak. Akhirnya benteng dan Istana Bakkara dihujani tembakan-tembakan yang begitu gencar, sehingga benteng itu dapat diduduki Belanda. Si Singamangaraja dan sisa pasukannya berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke daerah Paranginan di bagian selatan Danau Toba. Belanda terus memburu. Si Singamangaraja menyingkir ke Lintung. Belanda terus mengejar. Si Singamangaraja terus bergerak ke Tambunan, Lagu Boti, dan terus ke Baligie. Dengan kekuatan pasukannya, Belanda dapat menguasai tempat-tempat itu semua, sehingga semua daerah di sekitar Danau Toba sudah dikuasai Belanda.
 
Si Singamangaraja XII dengan sisa pasukannya bergerak menuju Huta Puong. Pada Juli tahun 1889 Si Singamangaraja XII kembali angkat senjata melawan ekspedisi Belanda. Di Huta Puong ini pasukan Si Singamangaraja XII bertahan cukup lama. Tetapi pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga jatuh ke tangan Belanda. Si Singamangaraja XII kemudian membuat pertahanan di Pakpak dan Dairi. Pasukan Belanda di bawah komando van Daden mengadakan gerakan sapu bersih terhadap kantong-kantong pertahanan dari Aceh sampai tanah Gayo, termasuk yang ada di tanah Batak.
Pada tahun 1904, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Van Daalen dari [[Aceh]] Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan untuk menangkap Si Singamangaraja XII. Si Singamangaraja XII berhasil dikepung rapat di daerah segitiga Barus Sidikalang dan Singkel. Dalam pengepungan ini Belanda menggunakan cara licik yakni menangkap Boru Sagala, istri Si Singamangaraja XII dan dua anaknya. Dengan beban psikologis yang berat Si Singamangaraja XII tetap bertahan, tidak mau menyerah. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda dikerahkan untuk menangkap Si Singamangaraja XII di pos pertahanannya di Aik Sibulbulon di daerah Dairi. Dalam keadaan terdesak, Si Singamangaraja XII dengan putera-puteranya tetap bertahan dan melakukan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran itu Si Singamangaraja XII tertembak mati. Begitu juga putrinya Lopian dan dua orang puteranya Sutan Nagari dan Patuan. Dengan demikian berakhirlah Perang Batak.
 
== Pranala luar ==