Konflik di Negara Bagian Rakhine (2016–sekarang): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdur rokib (bicara | kontrib)
Aung San Suu Kyi tuduh adanya kampanye berita palsu soal Rohingya
Abdur rokib (bicara | kontrib)
Aung San Suu Kyi dikecam lima peraih Nobel Perdamaian
Baris 35:
BBC Indonesia Edisi 6 September, memuat berita Aung San Suu Kyi tuduh adanya kampanye berita palsu soal Rohingya. Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menyebut foto-foto palsu tentang krisis Rohingya merupakan "puncak gunung es misinformasi yang dibuat untuk menciptakan banyak masalah antara komunitas berbeda dan untuk tujuan mengedepankan kepentingan teroris". Meski demikian, Suu Kyi sama sekali tidak menyebut eksodus besar-besaran komunitas Rohingya dari negara bagian Rakhine di Myanmar ke Bangladesh.
Lebih lanjut, Suu Kyi mengklaim pihaknya melindungi semua pihak di negara bagian Rakhine. Dalam pernyataan resminya sejak krisis pengungsi Rohingya merebak pada 25 Agustus, Suu Kyi berkata: "Kami sangat paham, lebih dari sebagian besar orang, apa maknanya kekurangan perlindungan hak asasi dan demokrasi". "Karena itu kami memastikan bahwa semua orang di negara kami mendapat perlindungan hak mereka, dan juga hak serta perlindungan politik, sosial, dan kemanusiaan," papar Suu Kyi. Saat berbincang dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, Suu Kyi juga mengklaim pemerintah Myanmar telah "memulai melindungi semua orang di Rakhine sebaik mungkin." Aung San Suu Kyi sebelumnya dikritik oleh pelapor khusus PBB untuk hak asasi di Myanmar karena dianggap tidak melindungi minoritas Muslim Rohingya. <ref>[http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41170972 ]</ref>Selasa, 12 September 2017
 
Aung San Suu Kyi juga dikecam lima peraih Nobel Perdamaian. Lima perempuan peraih Nobel Perdamaian mendesak pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, 'tak berdiam diri' melihat 'pembersihan eknik' yang terjadi pada komunitas Muslim Rohingya di negara tersebut. Kelima peraih Nobel Perdamaian yang mendesak Suu Kyi untuk angkat bicara dan membela hak-hak warga Rohingya adalah Mairead Maguire (perain Nobel Perdamaian 1976 dari Irlandia Utara), Joy Williams (1997, Amerika Serikat), Shirin Ebadi (2003, Iran), Leymah Gbowee (2011, Liberia) dan Tawakkol Karman (2011, Yaman).
"Kami sangat terpukul, sedih dan khawatir menyaksikan sikap diam Anda atas kekejaman terhadap minoritas Rohingya ... mereka dieksekusi, dihilangkan secara paksa, ditahan, diperkosa dan mengalami serangan seksual lainnya. Desa-desa mereka dibakar, warga sipil diserang yang membuat PBB menyatakannya sebagai pembersihan etnik," kata lima peraih Nobel Perdamaian melalui surat terbuka kepada Aung San Suu Kyi. Mereka menambahkan bahwa apa yang menimpa minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine adalah 'serangan terhadap kemanusiaan'. <ref>[http://www.bbc.com/indonesia/dunia-41239843 ]</ref>Selasa, 12 September 2017