Gelar kebangsawanan Eropa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 3:
 
== ''Peerage'' ==
'''''Peerage''''' adalah sistem hukum yang secara historis tersusun dari beberapa gelar kebangsawanan (biasanya turun-temurun). Sistem ''peerage'' dapat berbeda-beda di tiap negara. Misalnya, sistem ''peerage'' Inggris Raya tersusun dari lima peringkat: ''duke'', ''marquess'', ''earl'', ''viscount'', dan ''baron''.
 
== Tingkatan gelar ==
Baris 113:
Saat seorang wanita menikah dengan pria bangsawan, wanita tersebut juga akan dianugerahi bentuk wanita dari gelar suaminya. Jika suaminya adalah seorang ''king'', maka sang istri akan menjadi ''queen'', jika seorang wanita menikah dengan seorang ''duke'', maka dia akan menjadi ''duchess'', begitu seterusnya. Hal ini didasarkan pada prinsip Kristen bahwa pernikahan adalah penyatuan dua individu.<ref>Matius 19:6</ref> Namun meskipun telah berbagi kedudukan yang setara, hal ini tidak diikuti pembagian peran dan kewenangan. Misalnya, meskipun seorang wanita telah menikah dengan ''king'', seorang ''queen'' tidak bisa ikut campur dalam urusan pemerintahan dan negara.
 
Berbagi kedudukan yang setara juga terjadi jika pihak wanitalah yang pada dasarnya menyandang gelar kebangsawanan, seperti seorang pria akan menjadi ''king'' jika menikahi ''queen''. Namun dalam kasus ini, peran dan kewenangan dalam gelar tersebut akan jatuh ke tangan suami yang notabene hanya mendapat gelar karena menikahi wanita bangsawan. Atau paling tidak, kedua orang itu akan berbagi peran dengan setara secara hukum. Namun sangat jarang seorang wanita menjalankan peran dan kewenangannya secara mandiri selama dia masih memiliki suami. Hal ini karena biasanya urusan pemerintahan merupakan ranah kewenangan kaum pria.
 
Dengan keadaan seperti ini, meski secara teori setara, pada kenyataannya gelar kebangsawanan wanita akan dipandang lebih rendah daripada gelar kebangsawanan pria. ''Queen'' dipandang lebih rendah dari ''king'', ''duchess'' dipandang rendah dari ''duke'', dan sejenisnya. Oleh karena masalah ini, beberapa wanita yang menjadi bangsawan atas namanya sendiri memilih untuk menyandang gelar yang lazimnya dipakai pria untuk menegaskan peran dan kewenangan mereka. Contoh kasus ini adalah Ratu Jadwiga yang memerintah Polandia pada tahun 1384–1399. Dia menyandang gelar ''król'' saat memerintah, yang sering diterjemahkan menjadi ''king'' dalam bahasa Inggris atau raja dalam bahasa Indonesia, dan bukannya menyandang gelar ''króla'' (''queen'' atau ratu) yang merupakan bentuk wanita dari ''król''. Kasus yang mirip terjadi sebelumnya di [[Kekaisaran Romawi Timur]]. [[Irene dari Athena|Maharani Irene]] yang memerintah pada tahun 797–802 bahkan tidak konsisten dalam menggunakan gelarnya. Dia menandatangani dua dokumen dengan memakai gelar ''basileus'' (βασιλεύς), gelar yang biasanya disandang Kaisar Romawi Timur, dan gelar itu pula yang muncul di koin emasnya yang ditemukan di Sisilia. Namun dalam dokumen dan koin yang lain, Irene menggunakan gelar ''basilissa'' (βασίλισσα), bentuk wanita dari gelar ''basileus'' yang biasanya digunakan oleh permaisuri kaisar.<ref>James, p. 45, 46.</ref> Beberapa hal yang lain yang dilakukan para wanita untuk menegaskan kewenangan mereka secara mandiri adalah dengan mengadakan perjanjian tertulis, tidak menikah, atau memberikan gelar yang lebih rendah kepada suaminya. Pembahasan lebih lanjut ada di bagian "hak atas gelar: ''jure uxoris"'' di bawah.
Baris 129:
Prinsip ''jure uxoris'' didasarkan pada prinsip feodal abad pertengahan Eropa. Hukum di Eropa, baik dari Kristen yang merupakan agama mayoritas masyarakat Eropa, maupun dari hukum pra-Kristen, tidak memberikan seorang wanita hak milik pribadi bila telah menikah. Seluruh hak milik istri akan lebur menjadi milik suami, penguasaan dan pengelolaannya juga sesuai kehendak sang suami, meskipun istrinya tidak setuju.<ref>Emanuel, p. 121.</ref> Masalah hak milik ini juga termasuk gelar dan hak kebangsawanan. Hukum ini mengikat semua wanita yang menjadi istri, bahkan termasuk seorang ratu sekalipun. Seorang lelaki bahkan dapat meneguhkan kepemilikan atas gelar dan segala hak milik istri bahkan setelah pernikahan mereka berakhir. Saat pernikahan Matius dan Marie dibatalkan oleh Paus pada 1170, Marie yang merupakan pemimpin [[Daftar Comte Boulogne|''County'' Boulogne]] hidup di biara, sedangkan suaminya tetap melanjutkan kepemimpinannya atas ''county'' tersebut.
 
Pada [[Abad Pencerahan|masa pencerahan]], terdapat beberapa upaya yang dilakukan untuk menegaskan kemandirian wanita menyangkut peran dan kewenangannya agar tidak dibayang-bayangi suaminya. Beberapa di antaranya adalah melakukan perjanjian tertulis agar kedudukan dan peran sang wanita tetap menjadi yang paling tinggi. Hal ini terjadi saat pernikahan [[Mary I dari Inggris|Mary I]], Ratu Inggris, yang hendak menikah dengan [[Felipe II dari Spanyol|Felipe II]]. Meski Felipe dilantik menjadi Raja Inggris setelah menikah dengan Mary, kewenangannya berada di bawah istrinya. Upaya lain yang dilakukan untuk menjaga kekuasaan seorang wanita adalah dengan tidak menikah, seperti yang dilakukan oleh [[Elizabeth I dari Inggris|Elizabeth I]], Ratu Inggris dan saudari Mary I.
 
Di masa-masa selanjutnya, seorang pria yang menikahi wanita bangsawan akan dianugerahi gelar yang tingkatannya lebih rendah dari istrinya. Hal ini untuk lebih menegaskan lagi kedudukan sang wanita. Misalnya, seorang pria yang menikahi ''queen'' (ratu) akan dianugerahi gelar ''prince'' (pangeran) dan bukannya ''king'' (raja). Suami tiga Ratu Belanda, [[Wilhelmina dari Belanda|Wilhelmina]] (berkuasa 1890-1948), [[Juliana dari Belanda|Juliana]] (berkuasa 1948-1980), dan [[Beatrix dari Belanda|Beatrix]] (berkuasa 1980-2013), masing-masingnya bergelar pangeran, dan bukan raja. Di Inggris Raya, tradisi untuk tidak memberikan gelar ''king'' kepada suami ratu dimulai semenjak masa [[Anne dari Britania Raya|Ratu Anne]] (berkuasa 1702-1713). [[Victoria dari Britania Raya|Ratu Victoria]] (berkuasa 1837-1901) hendak menganugerahkan gelar ''king'' kepada suaminya, [[Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha|Albert]], tetapi parlemen tidak menyetujui hal itu karena sentimen anti-Jerman dan upaya untuk menjauhkan Albert dari politik.{{sfn|Weintraub|1997|p=88}} Suami [[Elizabeth II dari Britania Raya|Ratu Elizabeth II]] (berkuasa sejak 1952) juga tidak diangkat menjadi raja, begitu pula suami [[Margrethe II dari Denmark|Margrethe II]], Ratu Denmark (berkuasa sejak 1972).