Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: penggantian teks otomatis (-sekedar, +sekadar)
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes
Baris 104:
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, Fakhruddin. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu [[Ahmad Hassan|A. Hassan]] dan [[Mohammad Natsir]]. Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malik menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatera. Ia mampu memukau sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang yang menitikkan air mata. Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22-23}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=26}}
 
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam ''Tentera'' sebanyak empat edisi dan majalah ''Al-Mahdi'' sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pempimin Muhammadiyah setempat.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=28-31}} Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padangpanjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan Barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan masyarakat Makasar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak, ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck|Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.]].''
 
Kembali ke Padangpanjang pada 1934, Malik diserahi untuk memimpin [[Kulliyatul Mubalighin]] sebagai ganti Tabligh School yang mengalami kemunduran sepeninggalnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=32-33}} Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=34}}
Baris 118:
Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah ''Pedoman Masyarakat'' berhenti terbit.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=190}} Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah, Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.
 
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota ''[[Chuo Sangi-in|]]''Chuo Sangi-in'']] untuk Sumatera, yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatera Timur [[Letnan Jendral T. Nakashima]]. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padangpanjang. Hamka tiba di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
 
Kembali ke Sumatera Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti ''Negara Islam'', ''Islam dan Demokrasi'', ''Revolusi Pikiran'', ''Revolusi Agama'', ''Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi'', dan ''Dari Lembah Cita-Cita''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=12-13}} Ketika berlangsung konferensi Muhammadiyah di Padangpanjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, menggantikan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|S.Y. Sutan Mangkuto]] yang diangkat menjadi [[Daftar Bupati Solok|Bupati Solok]]. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.
Baris 250:
 
* {{cite book|last=Wahid|first=Abdurrahman|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|title=Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar|publisher=Sinar Harapan|isbn=978-1-234-56789-7|year = 1996|location = Jakarta|ref = {{sfnRef|Wahid|1996}}}}
 
* {{cite book|last=Ali|first=Mukti|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|title=Persepsi Buya Hamka: Ulama Sudah lama Terjual...!|publisher=Sinar Harapan|isbn=978-1-234-56789-7|year = 1996|location = Jakarta|ref = {{sfnRef|Ali|1996}}}}
 
* {{cite book|last=Ahmad|first=Syaikhu|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|title=Hamka: Ulama, Pujangga, Politisi|publisher=Sinar Harapan|isbn=978-1-234-56789-7|year = 1996|location = Jakarta|ref = {{sfnRef|Syaikhu|1996}}}}
 
* {{cite book|last=Ahmad|first=Zainal Abidin|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|title=Wartawan Itu Bernama Hamka|publisher=Sinar Harapan|isbn=978-1-234-56789-7|year = 1996|location = Jakarta|ref = {{sfnRef|Zainal|1996}}}}
 
* {{cite book
|last = Hamka