Kerajaan Pagaruyung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 223.255.230.24 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh HsfBot
Tag: VisualEditor menghilangkan referensi [ * ]
Baris 48:
 
Dari [[prasasti Suruaso]] yang beraksara [[Melayu]] menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi ''taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi''<ref name="Cas">{{cite journal |last=Casparis |first= J.G. |authorlink=Johannes Gijsbertus de Casparis |title=An ancient garden in West Sumatra |journal=Kalpataru |year=1990 |issue=9|pages= 40-49}}</ref> yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu [[Akarendrawarman]] yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan [[adat Minangkabau]], pewarisan dari ''mamak'' (paman) kepada ''kamanakan'' (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.<ref name="Kozok">{{cite book|last=Kozok|first=U.|authorlink=Uli Kozok|title=Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua|location=Jakarta|publisher=Yayasan Obor Indonesia|year=2006|id= ISBN 979-461-603-6}}</ref> Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara ''Nagari'' atau [[Tamil]], sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan [[India]] dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.<ref name="Cas"/>
 
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (''uparaja'') dari [[Majapahit]].<ref name="Mul">{{cite book|last=Muljana|first=S.|authorlink=Slamet Muljana|title=Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara|location=Yogyakarta|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2005|id= ISBN 979-98451-16-3}}</ref> Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan ''bhumi jawa'' dan kemudian dari berita [[Cina]] diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke [[Cina]] sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.<ref name="Kozok" />
 
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.<ref name="Mul" /> Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah [[Padang Sibusuk]]. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara [[Jawa]] berhasil dikalahkan.
 
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam [[konfederasi]], yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai [[Nagari]] dan [[Luhak]]. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat ([[Suku Minangkabau|Suku Minang]]).
Baris 62 ⟶ 58:
Dari [[prasasti Batusangkar]] disebutkan Ananggawarman sebagai ''yuvaraja'' melakukan ritual ajaran Tantris dari [[agama Buddha]] yang disebut ''hevajra'' yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan ''San-fo-ts'i'' kepada [[Kaisar Cina]] yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan ''San-fo-ts'i''.<ref>{{cite book|last=Suleiman|first=S.|authorlink=Satyawati Suleiman|title=The archaeology and history of West Sumatra|publisher=Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K|year=1977}}</ref>
 
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian [[Candi Padang Roco|Padangroco]], kawasan percandian [[Candi Padang Lawas|Padanglawas]] dan kawasan percandian [[Candi Muara Takus|Muara Takus]]. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.<ref name="Mul">{{cite book|title=Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara|last=Muljana|first=S.|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2005|location=Yogyakarta|id=ISBN 979-98451-16-3|authorlink=Slamet Muljana}}</ref> Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah [[Kubilai Khan]] dari [[Mongol]] dan raja [[Kertanegara]] dari [[Singhasari]].<ref name="Poepo">{{cite book|last=Poesponegoro|first=M.D.|authorlink=|coauthors=Notosusanto, N.|title=Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno|year=1992|publisher=PT Balai Pustaka|location=Jakarta|id=ISBN 979-407-408-X }}</ref>
 
=== Pengaruh Islam ===
Perkembangan agama [[Islam]] setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, ''[[Suma Oriental]]'' yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi [[muslim]] sejak 15 tahun sebelumnya.<ref name="Cortes">Cortesão, Armando, (1944), ''The Suma Oriental of Tomé Pires'', London: Hakluyt Society, 2 vols.</ref>
 
Pengaruh [[Islam]] di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh [[Abdurrauf Singkil]] (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh [[Burhanuddin Ulakan]], adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama ''[[Sultan Alif]]''.<ref name="Dt">Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), ''Tambo Minangkabau dan Adatnya'', Jakarta: Balai Pustaka.</ref>
 
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: ''"Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah"'', yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada [[Al-Qur'an]]. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama [[Perang Padri]] yang pada awalnya antara ''Kaum Padri'' (ulama) dengan ''Kaum Adat'', sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.<ref name="Kep">Kepper, G., (1900), ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900'', M.M. Cuvee, Den Haag.</ref>
Baris 172 ⟶ 168:
{{Raja Malayapura}}
=== Aparat pemerintahan ===
''Adityawarman'' pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di [[Majapahit]]<ref name="Dt">Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), ''Tambo Minangkabau dan Adatnya'', Jakarta: Balai Pustaka.</ref> masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya ([[Kerajaan Dharmasraya|Dharmasraya]] dan [[Sriwijaya]]) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh [[Datuk di Minangkabau|Datuk]] setempat.<ref>{{cite book|last=Muljana|first=S.|authorlink=Slamet Muljana|title=Sriwijaya|location=Yogyakarta|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2006|id= ISBN 979-8451-62-7}}</ref>
 
Setelah masuknya Islam, ''[[Raja Alam]]'' yang berkedudukan di [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu ''Raja Adat'' yang berkedudukan di [[Buo, Lintau Buo, Tanah Datar|Buo]], dan ''Raja Ibadat'' yang berkedudukan di [[Sumpur Kudus, Sijunjung|Sumpur Kudus]]. Bersama-sama mereka bertiga disebut ''[[Rajo Tigo Selo]]'', artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam [[bahasa Minang]] adalah ''tigo tungku sajarangan''. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem [[patrilineal]]<ref>{{cite journal |last=Benda-Beckmann |first=Franz von |title=Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra |journal=Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde | issue =86 |year=1979|pages=58 }}</ref> berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan ''suku'' yang masih tetap pada sistem [[matrilineal]].<ref name="Dt"/>