Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan Yohanes haryanto (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Ibnu fadhillah humairah
Hapus pranala ke "Binjai": Tidak melayani kepentingan navigasi, hanya menuju ke artikel non-disambiguasi.. (Twinkle 🍁)
Baris 153:
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:<ref>{{cite journal|last=Kingsbury|title=Military Businesses in Aceh|journal=Verandah of Violence|pages=212–217}}</ref>
 
* [[Obat terlarang]]: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam [[ganja]] dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai [[pasar gelap]]. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40&nbsp;kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi [[Aceh Besar]] (perlu dicatat bahwa pada saat itu [[Kepolisian Republik Indonesia]] atau Polri berada di bawah komando militer atau [[ABRI]]). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di [[Binjai]], [[Sumatera Utara]] dengan muatan 1.350&nbsp;kg ganja.
* [[Industri pertahanan|Penjualan senjata ilegal]]: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personel militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personel militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi.
* [[Pembalakan liar]] : Oknum militer dan polisi [[Penyuapan|disuap]] oleh [[perusahaan penebangan]] untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan [[Leuser]] yang didanai oleh [[Uni Eropa]] dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal tersebut.