Persaudaraan Suku Banjar dengan Suku Dayak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgxbot (bicara | kontrib)
k Robot: Cosmetic changes
Baris 6:
 
==== Sultan Muhammad Seman ====
Salah satu ''sayap [[militer]]'' [[Pangeran]] [[Antasari]] yang terkenal tangguh dan setia, adalah kelompok [[Suku Dayak Siang Murung]] dengan kepala sukunya [[Tumenggung Surapati]]. Hubungan kekerabatan sang [[pangeran]] melalui perkawinannya dengan Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara perempuan kepala suku mereka, Surapati. Dari puteri [[Dayak]] ini lahir Sultan Muhammad Seman yang kelak meneruskan perjuangan ayahnya sampai gugur oleh peluru [[Belanda]] tahun [[1905]]. Dalam masa perjuangan tersebut, Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari [[Suku Dayak Ot Danum]]. Puteranya, [[Gusti Berakit]], ketika tahun [[1906]] juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai [[Tabalong]]. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya [[Adat rukun kematian Kaharingan | tiwah]], yaitu upacara pemakaman secara adat [[Dayak]] ([[Kaharingan]]).
 
==== Puteri Mayang Sari ====
Putri Mayang Sari yang berkuasa di Jaar-Singarasi, kabupaten Barito Timur adalah puteri dari Raja Banjar Islam yang pertama (Sultan Suriansyah) dari isteri keduanya Norhayati yang berdarah Dayak, [[cucu]] Labai Lamiah tokoh Islam Dayak Maanyan. Walau Mayang Sari beragama [[Islam]], dalam memimpin sangat kental dengan [[adat]] Dayak, senang turun lapangan mengunjungi perkampungan Dayak dan sangat memperhatikan keadilmakmuran [[masyarakat]] [[Dayak]] di masanya. Itu sebabnya ia sangat dihormati dan makamnya diabadikan dalam [[Rumah Banjar | Rumah Adat Banjar]] di Jaar, kabupaten [[Barito Timur]].(Marko Mahin, 2005)
 
==== Perang Banjar ====
Baris 19:
* Panglima Sogo, yang turut menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda [[26]] [[Desember]] [[1859]] di Lewu Lutung Tuwur, makamnya di desa Malawaken, Kecamatan [[Teweh Tengah, Barito Utara]].
* Panglima Batu Balot (Tumenggung Marha Lahew), panglima wanita yang pernah menyerang Fort Muara Teweh tahun [[1864]]-[[1865]], makamnya di desa Malawaken (Teluk Mayang), Kecamatan [[Teweh Tengah, Barito Utara]].
* Panglima Wangkang, dari [[suku Dayak Bakumpai]] di [[Barito Kuala | Marabahan]], putera dari Damang Kendet dan ibunya wanita Banjar dari Amuntai
* Perang Montallat tahun [[1861]] juga menyebabkan gugurnya dua putera [[Ratu Zaleha]] yang dimakamkan di desa Majangkan, kec. [[Gunung Timang, Barito Utara]].
 
Baris 26:
 
==== Sangiang ====
Toleransi antara suku Banjar dan [[Dayak]], juga dapat dilihat dari [[sastera]] [[suci]] [[suku Dayak Ngaju]], [[Panaturan]]. Digambarkan disana, Raja Banjar ([[Raja Maruhum]]) beserta Putri Dayak yang menjadi isterinya [[Nyai Siti Diang Lawai]] adalah bagian [[leluhur]] orang Dayak Ngaju. Bahkan mereka juga diproyeksikan sebagai '''''sangiang''''' (manusia illahi) yang tinggal di [[Lewu Tambak Raja]], salah satu tempat di [[Lewu Sangiang]] (Perkampungan para Dewa). Karena Sang Raja beragama [[Islam]] maka disana disebutkan juga ada [[masjid]].(Marko Mahin, Urang Banjar, 2005)
 
==== Balai Hakey ====
Secara [[sosiologis]]-[[antropologis]] antara etnis Banjar dan Dayak diibaratkan sebagai ''dangsanak tuha'' dan ''dangsanak anum'' (saudara tua dan muda). Urang Banjar yang lebih dahulu menjadi [[muslim]] disusul sebagian etnis Dayak yang ''bahakey'' (berislam), saling merasa dan menyebut yang lain sebagai saudara. Mereka tetap memelihara [[toleransi]] hingga kini. Tiap ada upacara '' [[Adat rukun kematian Kaharingan | ijambe]]'', ''tewah'' dan sejenisnya, komunitas [[Dayak]] selalu menyediakan '''Balai Hakey''', tempat orang muslim dipersilakan menyembelih dan memasak makanannya sendiri yang dihalalkan menurut [[keyakinan]] [[Islam]].
 
==== Intingan dan Dayuhan ====