Ratu (gelar): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 18:
Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki]], ratu adalah padanan dari gelar [[Raja (gelar)|raja]], dan merujuk pada wanita yang memimpin kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah ratu jauh lebih sedikit daripada raja. Hal ini karena banyak kebudayaan di masa lalu yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.
 
Dalam hukum Salik yang dianut banyak monarki Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.<ref>Cave, Roy and Coulson, Herbert. ''A Source Book for Medieval Economic History'', Biblo and Tannen, New York (1965) p.&nbsp;336</ref> Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya, dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah tidak memiliki hak kepemilikan ataspribadi namanyayang sendirisangat terbatas.<ref name="Emanuel">{{cite book|title=Property |last=Emanuel |first=Steven L. |date=2004 |publisher=Aspen Publishers, inc. |location=New York |pages=121}}</ref> Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya. Prinsip ini disebut ''jure uxoris''. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat [[Mary I dari Inggris|Mary I]] yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan [[Felipe II dari Spanyol|Felipe II]], Raja Spanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, [[Elizabeth I dari Inggris|Elizabeth I]], menghindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, wanita pada akhirnya memiliki kepemilikan atas namanya sendiri di masa modern ini. Terkait gelar, saat wanita menjadi ratu, suaminya akan dianugerahi gelar pangeran, dan bukan raja sebagaimana di abad pertengahan, menghindari agar kedudukan sang pria tidak lebih tinggi dari ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua monarki Eropa telah mengubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak, yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan kepada anak pertama tanpa memandang jenis kelamin.
 
Di Asia Timur sendiri, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi penguasa monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi kaisarina. Namun saat Jepang mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia pada [[Zaman Meiji]], wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi kaisarina. Saat Kerajaan Silla di bawah kepemimpinan [[Seondeok dari Silla|Ratu Seondeok]], salah satu pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak dapat memimpin negara." (女主不能善理).<ref>* [http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 (7. Silla and Wa) - ''Bidam''] {{webarchive |url=https://web.archive.org/web/20111005152946/http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 |date=October 5, 2011 }}</ref>
 
Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi penguasa monarki. Di [[Kesultanan Delhi]], Sultan Iltutmish menjadikan putrinya, Raziya, putri mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish mengabaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih saat itu ibunya justru memegang kendali negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta pada 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak memberi restu terhadapnya, sehingga takhta selanjutnya diberikan kepada Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr<ref>Al-Maqrizi, p.463/vol.1</ref>. Meskipun begitu, beberapa kesultanan di luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima sultanah, [[Kesultanan Samudera Pasai|Samudera Pasai]] memiliki satu sultanah, dan [[Kesultanan Aceh|Aceh Darussalam]] pernah diperintah empat sultanah berturut-turut.
 
Meskipun demikian, tidak setiap monarki di masa lampau membatasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, [[Tribhuwana Wijayatunggadewi|Tribhuwana Tunggadewi]] dapat mewarisi takhta menjadi maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.