Muhammad Saleh Werdisastro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Stephensuleeman (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Borgxbot (bicara | kontrib)
k Robot: Cosmetic changes
Baris 1:
'''Muhammad Saleh Werdisastro''' lahir di [[Sumenep]], [[Madura]], [[15 Februari]] [[1908]]; meninggal di [[Yogyakarta]], [[1966]] adalah seorang pejuang perintis kemerdekaan yang sepanjang hayatnya mendirikan dan memimpin sekolah [[PHIS Soemekar Pangabru Sumenep]], merintis [[Muhammadiyah]] Sumenep, menjadi Ketua [[Hisbul Wathon]] (HW) Madura, aktivis [[Muhammadiyah]] dan [[Boedi Oetomo]], menjadi Ketua [[Komite Nasional Indonesia]] (KNI) Daerah Yogyakarta yang pertama. Serta tercatat sebagai salah satu pemimpin penyerbuan markas Jepang di Kota Baru, yang kemudian dikenal sebagai [[Pertempuran Kota Baru]].
 
Di samping itu, beliau juga ikut sebagai salah seorang pendiri [[Universitas Gadjah Mada]] dan [[Universitas Surakarta]] dan menjadi [[Wakil Walikota]] [[Yogyakarta]], [[Residen]] [[Kedu]], dan Walikota [[Surakarta]] untuk dua periode.
 
== Biografi ==
=== Asal-Usul ===
Muhammad Saleh Werdisastro, putera asli Sumenep, lahir 15 Februari 1914 dari pasangan R. Musaid Werdisastro dan R. Ayu Aminatuszuhra. Ayahnya adalah seorang cendekiawan dan budayawan Madura yang berhasil menyusun buku [[”Babad Songenep”]] (Sejarah Sumenep), yang banyak mengungkap berbagai fenomena kehidupan di daerah tempat kelahirannya. Buku tersebut pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka, pada 1914 dengan menggunakan bahasa Madura, berhuruf Jawa.
 
=== Perjalanan Karir ===
Setelah menamatkan sekolahnya di [[Hogere Kweekschool (HKS)]] di [[Purworejo]] dan [[Magelang]] 15 Mei 1930, Muhammad Saleh diangkat menjadi guru [[Gouvernements HIS]] (Hollands Inlandse School), Sekolah Dasar 7 tahun di [[Rembang]], [[Jawa Tengah]]. Didorong rasa nasionalismenya yang tinggi, selama bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda membuat dirinya tidak bahagia, karena sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nuraninya. Ia tidak ingin mengabdi kepada Pemerintah Kolonial. Setelah bertahan setahun, ia berhenti menjadi guru di HIS dan kembali ke kampung halamannya, Sumenep pada 1931.
 
Baris 34:
Jepang ternyata ngotot tidak mau menyerahkan senjatanya. Dengan semangat patriotisme, rakyat Yogyakarta dipimpin antara lain oleh Muh. Saleh, menyerbu markas Jepang di Kota Baru, yang tercatat dalam sejarah sebagai [[Pertempuran Kota Baru]]. Akhirnya Jepang menyerah.
 
=== Walikota Solo ===
Pada clash kedua, Muh. Saleh ikut bergerilya mendampingi Panglima Sudirman di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah penyerahan kedaulatan, Muh. Saleh mengundurkan diri dari Militer dengan pangkat letnan kolonel (Pada masa itu, Panglima TNI seluruh tanah Jawa dijabat A.H. Nasution masih berpangkat kolonel), beliau diangkat menjadi wakil wali kota Yogyakarta]]. Pada 1951 Muh Saleh menjabat walikota Solo.
 
Tahun 1960, Muhammad Saleh diangkat menjadi residen [[Kedu]] sampai pensiun tahun 1965. Muh. Saleh yang mempunyai sifat pendidik dan sangat memperhatikan masalah pendidikan, pada tahun 1946 bersama rekan-rekannya mendirikan Universitas di Yogyakarta, yang sekarang dikenal sebagai [[Universitas Gadjah Mada]]; di samping turut memberikan sumbangan dalam berdirinya [[Universitas Surakarta]].
 
=== Akhir Masa Jabatan ===
Muhammad Saleh Werdisastro mengakhiri karirnya sebagai pamong praja setelah pensiun sebagai Residen Kedu pada tahun 1964 dengan pangkat Gubernur. Dia pada akhir jabatannya sebagai residen sempat sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang. Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro dinyatakan menderita sakit kanker lever dan usianya diperkirakan tidak lebih dari satu tahun.
 
Baris 53:
Muhammad Saleh Werdisastro menikah dengan seorang gadis bernama [[R. Ayu Masturah]], putri seorang opsir Kesultanan Sumenep bernama [[R. Setjodipoero]]. Pasangan muda ini ternyata mempunyai keinginan untuk memajukan bangsanya. R. Ayu Masturah yang hanya lulusan Sekolah Angka Dua mendapat bimbingan sendiri dari suaminya Muhammad Saleh Werdisastro sehingga mampu sejajar atau wanita lainnya dalam pergaulan antar istri pejabat atau petinggi lainnya.
 
Beliau juga aktif dalam kegiatan-kegiatan ibu-ibu yang tergabung dalam Aisyah. Dia dapat menjadi contoh ibu teladan yang dengan setia dan penuh pengorbanan mendampingi suaminya dalam perjuangan menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan 5 anak yang masih belum dewasa dia rela menderita di Yogyakarta, ditinggal suami berjuang, bertempur sampai bergerilya melawan penjajah Belanda dari tahun 1945 sampai tahun 1950. Sebagai isteri seorang pejuang kemerdekaan, R. Ayu Masturah sering mendapat teror dan diancam akan dibunuh sekeluarga. Maka dari itu, berdasarkan pertimbangan bersama teman-teman Muhammadiyah, dia beserta keempat anaknya mengungsi ke kampung Kauman Yogyakarta yang mayoritas penduduknya warga Muhammadiyah dan pejuang-pejuang kemerdekaan.
 
Sedang anak sulungnya bernama Muhammad Mansyur yang waktu itu berusia 15 tahun, dijemput anak buah ayahnya untuk bergabung bergerilya melawan penjajah Belanda keluar kota Yogyakarta. Dibidang pendidikan R. Ayu Masturah berprinsip bahwa anak-anaknya tidak lepas dari pendidikan Muhammadiyah. Karena itu anak-anaknya, pendidikan dasarnya disekolahkan pada Sekolah Rakyat Muhammadiyah. R. Ayu Masturah juga menampung kemenakan-kemenakannya dan kemenakan suaminya bahkan beberapa cucu untuk disekolahkan samapai tamat SMA atau setingkat. Untuk itu dia tidak segan-segan mengorbankan harta benda atau barang berharganya demi tercapainya pendidikan tersebut diatas.
Baris 63:
# DR. Drs. [[Muhammad Muhtadi Werdisastro]] (beserta istri : [[Ajeng Tarlina]])
# [[Farida]], BA. (beserta suami : [[Marjanto Danusaputro]], SE)
# Prof. DR. Ny. [[Badriyah Rifai]], SH (beserta suami : Prof. Dr. [[Achmad Rifai Amirudin]], SpPd., KGEH)
 
 
[[Kategori:Kelahiran 1908|Werdisastro, Muhammad Saleh]]