Sarwo Edhie Wibowo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 103.17.164.3 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh HsfBot
Baris 53:
RPKAD adalah usaha Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (yang kemudian akan menjadi [[Kopassus]]) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani. Pada tahun 1964, Yani telah menjadi [[Kepala Staf Angkatan Darat]] dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.<ref>{{cite book|last= Djarot|first= Eros|authorlink=Eros Djarot|coauthors= et al.|title= Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI|year= 2006|edition= 1|publisher= PT Agromedia Pustaka|location= Tangerang|language= Indonesia|page= 63}}</ref>
 
=== Menumpas Gerakan G30S/PKI ===
 
Selama Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD [[Gerakan 30 September]] terjadi.
Baris 61:
Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di [[Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur|Cijantung]], Jakarta. Kemudian Kolonel [[Herman Sarens Sudiro]] tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas [[Kostrad]] dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta. Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal [[Soeharto]] yang menjabat sebagai [[Panglima Kostrad]] diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.<ref name="Dake 2005 111">{{cite book|last= Dake|first= Antonie C.A|title= Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan|year= 2005|edition= 4|publisher= Aksara Karunia|location= Jakarta|language= Indonesian|page= 111}}</ref>
 
Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan [[Cakrabirawa]]. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S/PKI. Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.
 
Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang (batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.
 
Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S/PKI. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.
 
=== Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru ===
Baris 72:
Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur [[Lubang Buaya]].
 
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Suharto diangkat menjadi [[KSAD|Panglima Angkatan Darat]] oleh Soekarno. Pada saat itu, [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) menjaditelah penggerakdituduh sebagai penyebab dari G30S/PKI dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di [[Jawa Tengah]]. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal yang keji pada bulan Oktober-Desember 1965 di [[Jawa]], [[Bali]], dan beberapa bagian dari [[Sumatera]].
 
Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama berbulan-bulan. Jumlah perkiraan awal sedikitnya setengah juta orang dan satu juta orang paling banyak menjadi korban.<ref>{{cite book|last = Hughes|first = John|title = The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild|publisher = Archipelago Press|year = 2002|location = Singapore|isbn = 981-4068-65-9|page = 194 }}</ref> Pada bulan Desember 1965, angka yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, hal itu direvisi menjadi 780.000. Angka 78.000 itu adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Soekarno.<ref name="Hughes 2002 195">{{cite book|last = Hughes|first = John|title = The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild|publisher = Archipelago Press|year = 2002|location = Singapore|isbn = 981-4068-65-9|page = 195 }}</ref> Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetapkan sekitar 400.000 jiwa.<ref name="Hughes 2002 195"/> Akhirnya, pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) bahwa 3 juta orang<ref>[http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=17 : Kolektif Info Coup d'etat 65 :. - Dokumen<!-- Bot generated title -->]</ref> tewas dalam pertumpahan darah ini.