Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 104:
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan ''Orde Baru'' terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "''prang sabi''" ("perang suci" atau "[[jihad]]" menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir" (atau [[Perang Aceh]]) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku ''[[Hikayat Prang Sabi]]'' ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu ''Hikayat Prang Sabi'', daripada lagu nasional Indonesia, ''[[Indonesia Raya]]''.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=110}}</ref> Bahan publikasi politik GAM juga menggambarkan ''[[Pancasila]]'', ideologi negara resmi Indonesia sebagai "ajaran [[politeisme|politeistik]]" yang dilarang oleh Islam.<ref>{{cite book|title=ibid|page=199}}</ref>
 
Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah [[kejatuhan Soeharto|jatuhnya Soeharto]] pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya [[referendum]] kemerdekaan Aceh dan menyoroti [[pelanggaran HAM]] yang dilakukan oleh [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] (TNI) di Aceh.<ref>{{cite book|title=ibid|page=197}}</ref> Demikian pula, posisi GAM pada ''syariah'' juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan [[Daerah istimewa|UU Nomor 44/1999]] tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.<ref>{{cite book|title=ibid|page=194}}</ref> Meskipun mengubah sikap terhadap ''syariah'', posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh ''[[International Crisis Group]]'' (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan penerapan hukum ''syariah'' di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki pengaruh.
<ref>{{cite journal|title=Islamic Law and Criminal Justice in Aceh|journal=International Crisis Group|date=31|year=2006|month=July|issue=117|page=5}}</ref> Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang berubah-ubah terhadap ''syariah'' dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting, Islam akan sangat ditekankan.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|pages=200–202}}</ref>