Sunan Bayat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 1:
{{refimprove}}
'''Sunan Bayat''' (nama lain: '''Pangeran Mangkubumi''', '''Susuhunan Tembayat''', '''Sunan Pandanaran (II)''', atau '''Wahyu Widayat''') adalah tokoh penyebar [[agama Islam]] di [[Jawa]] yang disebut-sebut dalam sejumlah [[babad]] serta cerita-cerita lisan. Ia terkait dengan sejarah [[Kota Semarang]] dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai [[Wali Sanga]]. Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan [[Bayat, Klaten]], [[Jawa Tengah]], dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah [[Mataram]]. Tokoh ini dianggap hidup pada masa [[Kesultanan Demak]] (abad ke-16).
 
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari [[Ki Ageng Pandan Arang]], [[bupati]] pertama [[Semarang]]. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
 
Sultan [[Kesultanan Demak|Demak Bintara]], yang mengetahui hal ini, lalu mengutus [[Sunan Kalijaga]] dari [[Kadilangu, Demak, Demak|Kadilangu, Demak]], untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
 
Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan [[Salatiga]], [[Boyolali]], [[Mojosongo, Boyolali|Mojosongo]], [[Sela Gringging]] dan [[Wedi, Klaten|Wedi]], menurut suatu babad. Konon sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu). Ia lalu menetap di Tembayat, yang sekarang bernama [[Bayat, Klaten]], dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.