Undang-Undang Sultan Adam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-kadaluwarsa +kedaluwarsa)
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 1:
'''Undang-Undang Sultan Adam 1835''' (sering disingkat '''UUSA 1835''') adalah Undang-undang yang dikeluarkan oleh Sultan [[Adam Al-Wastsiq Billah]], raja Banjar tahun 1825-1857, setelah baginda memerintah selama 10 tahun dari tahun penobatannya.<ref>http://eprintpasca.unlam.ac.id/964/</ref>
 
Undang-Undang Islam dalam bidang politik sebagai proses perkembangan [[hukum Islam]] dalam [[Kesultanan Banjar]]. Sebagai seorang [[Sultan]], dia dikenal sebagai Sultan yang keras dalam menjalankan ibadah dan dihormati oleh rakyat. Dia pula salah seorang sultan yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Adam Kerajaan Banjar mengalami proses perubahan dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat sebagai akibat dari masuknya pengaruh kolonialisme Belanda dan masuknya kebudayaan asing, khususnya [[agama Kristen]]. Untuk menggalang pengaruh [[budaya Barat]] dan memperkokoh kesatuan kerajaan dan kesatuan serta keutuhan rakyat Banjar, Sultan mengeluarkan Undang-Undang pada [[15]] [[hari]] [[bulan]] [[Muharam]] [[1251]] H atau tahun [[1835]].
== Latar Belakang dan Beberapa Versi ==
Naskah asli yang ditulis dengan tulisan tangan dengan huruf Arab-Melayu menurut penelitian Eissenberger yang pernah menjabat sebagai ''Controleur van Banjarmasin en Marabahan'' pada tahun [[1936]], tidak pernah ditemukan lagi. Eisenberger pernah menemukan sebuah naskah tulisan tangan di [[Martapura]] yang diperkirakan ditulis tahun [[1880]] tetapi itu pun kemudian tidak dapat ditemukan lagi. Pada tahun [[1885]] Eisenberger menemukan naskah yang disimpan dalam [[arsip]] Kantor [[Residen]] [[Banjarmasin]] yang ditulis oleh Tumenggung Soeri Ronggo tahun [[1885]]. Publikasi pertama dari naskah Undang-undang Sultan Adam ini dilakukan oleh A.M. Joekes yang pernah menjabat sebagai [[Gubernur Borneo]] ([[1891]]-[[1894]]) di dalam Majalah ''Indische Gids'' tahun [[1891]]. Naskah itu ditulis dengan [[huruf Latin]] bahasa Melayu Banjar disertai dengan terjemahannya dalam [[bahasa Belanda]]. Naskah ini kemudian diolah kembali oleh [[Komisi]] untuk [[Hukum Adat]] ''Koninklijke Instituut Voor de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlands Indie'' di [[Negeri Belanda]] yang kemudian dipublikasikan di dalam ''Adatrecht Bundels'', jilid XIII tahun [[1917]].
Baris 11:
Untuk mengetahui bagaimana latar belakang dan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang ini dapat kita baca pada bagian [[Mukadimah]] dari Undang-Undang itu yang secara pendek tertulis sebagai berikut : {{br}}
''Pada hejrat sanat 1251 pada hari Chamis yang kalima belas hari bulan Almuharram djam pukul sembilan pada ketika itulah aku Sultan Adam memboeat Undang-undang pada sekalian ra’jatku supaja djadi sempurna agama rakjatku dan atikat mereka itu supaja djangan djadi banyak perbantahan mereka itoe dan soepaja djadi kamudahan segala hakim menghukumkan mereka itu aku harap djuga bahwa djadi baik sekalian hal mereka itu dengan sebab undang-undang ini maka adalah undang-undang ini maka undang-undangku beberapa perkara''.{{br}}
Undang-undang ini ditetapkan pada [[kamis]] [[15]] [[Muharam]] [[1251]] [[Hijriah]] pukul 09.00 pagi oleh [[Sultan Adam]]. Undang-undang ini dibuat oleh sebuah Tim dengan pimpinan oleh Sultan sendiri dan dibantu oleh anggota antara lain : Pangeran Syarif Hussein, [[Mufti]] H. Jamaluddin dan lain-lain.
Maksud dan tujuan dari Undang-Undang ini dikeluarkan jelas tertulis dalm konsiderannya yaitu :
* untuk menyempurnakan [[agama]] dan kepercayaan rakyat
* untuk mencegah jangan sampai terjadi pertentangan rakyat, dan
* untuk memudahkan bagi para hakim dalam menetapkan hukum agar rakyatnya menjadi baik.
 
== Sistematika Undang-undang Sultan Adam ==
Sultan Adam menggunakan istilah ''undang-undang'' karena sudah lama dikenal masyarakat dalam [[bahasa Banjar]]. Pengertian ''hukum'' di dalamnya mengacu kepada pengertian hukum [[agama]] [[Islam]]. Istilah ''perkara'' untuk menyebut pengertian [[pasal]]. Materi undang-undang ini dikelompokkan : {{br}}
I. Masalah-masalah agama dan peribadatan, mencakup :
* Pasal 1 - Masalah kepercayaan<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/02/24/undang-undang-sultan-adam-perkara-1/</ref>
* Pasal 2 - Mendirikan tempat ibadah dan sembahyang berjemaah<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/02/undang-undang-sultan-adam-perkara-2/</ref>
* Pasal 20 - Kewajiban melihat awal bulan Ramadhan puasa
II. Masalah Hukum Tata Pemerintahan, mencakup :
* Pasal 3 - Kewajiban tetuha kampung<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/08/undang-undang-sultan-adam-perkara-3/</ref>
* Pasal 21 - Kewajiban tetuha kampung
* Pasal 31 - Kewajiban lurah dan Mantri-Mantri
III. Hukum Perkawinan, mencakup :
* Pasal 5 - Syarat nikah<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/16/undang-undang-sultan-adam-perkara-5/</ref>
* Pasal 4 - Syarat nikah<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/09/undang-undang-sultan-adam-perkara-4/</ref>
* Pasal 6 - Perceraian
* Pasal 18 - Barambangan ('pisah ranjang')
* Pasal 25 - Mendakwa isteri berzina
* Pasal 30 - Perzinaan
IV. Hukum Acara Peradilan, mencakup :
* Pasal 7 - Tugas mufti<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/30/undang-undang-sultan-adam-perkara-7/</ref>
* Pasal 8 - Tugas mufti<ref>http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/04/06/undang-undang-sultan-adam-perkara-8/</ref>
* Pasal 9 - Larangan pihak yang berperkara datang pada pejabat
* Pasal 10 - Tugas hakim
* Pasal 11 - Pelaksanaan putusan
* Pasal 12 - Pengukuhan keputusan
* Pasal 13 - Kewajiban bilal dan kaum
* Pasal 14 - Surat dakwaan
* Pasal 15 - Tenggang waktu gugat menggugat
* Pasal 19 - Larangan raja-raja atau mantri-mantri campur tangan urusan perdata, kecuali ada surat dari hakim
* Pasal 24 - Kewajiban hakim memeriksa perkara
V. Hukum Tanah, mencakup :
* Pasal 17 - Gadai tanah
* Pasal 23 - Masalah kedaluwarsa
* Pasal 26 - Masalah kedaluwarsa
* Pasal 27 - Sewa tanah
* Pasal 28 - Pengolahan tanah
* Pasal 29 - Mentelantar tanah
VI. Peraturan Peralihan, mencakup :
* Pasal 16.
 
Baris 59:
=== Masalah Agama dan Peribadatan ===
Tiga pasal yang disebutkan adalah yang paling penting dan menonjol menyangkut masalah agama. Suatu kewajiban bagi setiap penduduk untuk berpegang pada itiqad ahlus sunnah wal jamaah. Pasal ini sebagai reaksi dari adanya berbagai aliran dari [[sufi]] yang mengajarkan berbagai ajaran yang sementara pihak dinilai bertentangan dengan [[Ahlus Sunnah wal Jamaah]]. Selanjutnya memuat kewajiban bagi Tetua kampung untuk membuat [[masjid]]/langgar dan ajakan untuk melaksanakan sembahyang berjamaah, sedang pada hari [[Jumat]] diperintahkan untuk [[sembahyang]] Jumat.
Selain itu juga suatu perintah untuk menjaga melihat bulan pada tiap awal bulan [[Ramadhan]] dan akhir Ramadhan awal bulan Haji dan awal bulan Ramadhan.
=== Hukum Tata Pemerintahan ===
Tetua Kampung selalu mengadakan [[musyawarah]] untuk menghindarkan terjadinya perselisihan dan perbantahan. Disini prinsip musyawarah sangat ditekankan. Selanjutnya menyebutkan beberapa jabatan dalam struktur pemerintahan zaman [[Sultan Adam|Adam dari Banjar]] seperti : [[Lalawangan]], [[Lurah]] (Kepala [[Banua]]), [[Pambakal]] dan [[Mantri]]. Mantri merupakan pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa di antaranya ada yang mempunyai daerah kekuasaan sama dengan Lalawangan. Suatu tata cara pelaksanaan pemerintahan yang diwajibkan pada Lalawangan, Lurah dan Mantri selalu selalu mengadakan musyawarah dan mencari kemupakatan dalam setiap persoalan. Akhirnya pada bagian ini terdapat adanya pembagian wewenang antara pejabat-pejabat pemerintah dan tugas peradilan, bahkan harus menguatkan putusan pengadilan tersebut. Jadi ada semacam koordinasi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
 
=== Hukum Perkawinan ===
Para pejabat yang berwenang untuk masalah yang menyangkut perkawinan agama, yaitu :
[[Mufti]] : hakim tertinggi pengawas pengadilan umum, dan [[Penghulu]] : hakim yang lebih rendah yang mendapat piagam atau cap dari Sultan. Disamping hakim ada lagi jabatan yang disebut [[Qadi]], yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berlaku dengan wajar. Perbedaan Qadhi dengan Penghulu adalah, bahwa Qadi, menetapkan hukum bila terjadi sengketa yang kemudian berkembang menjadi pelaksana [[peradilan Islam]]. Pasal-pasal pada bagian ini menyangkut tata cara nikah, larangan nikah bagi yang tidak bermadzhab Syafei, mengenai pembatalan perkawinan, masalah orang yang ''barambangan'', masalah suami yang menuduh isterinya berzina, dan kewajiban melapor kalau ada orang berzina.
 
Baris 70:
Pasal-pasal pada bagian ini menjelaskan tentang larangan bagi seorang [[Mufti]] untuk memberi [[fatwa]] kepada seseorang yang sedang berperkara, begitu pula sebaliknya larangan bagi orang tersebut untuk meminta fatwa dari Mufti. Pasal ini menjamin kebebasan [[peradilan]], dimana hakim tertinggipun tidak diperkenankan turut campur tangan dalam penyelesaian suatu perkara.
 
Juga larangan bagi [[pejabat]] [[pemerintah]], seperti : [[Raja]], [[Mantri]], [[Pambakal]] ataupun [[Panakawan]] untuk mencampuri urusan orang yang berperkara. Suatu kewajiban hakim apabila telah selesai melakukan pemeriksaan perkara dan bersoal jawab dengan saksi-saksi, diperintahkan untuk mufakat terlebih dahulu dengan [[Khalifah]] dan Lurah (kepala [[Banua]])) sebelum putusan dijatuhkan. Segala putusan yang dijatuhkan harus diserahkan pada [[Pangeran Mangkoe Boemi Nata|MangkubumMangkubumi]]i untuk memperoleh cap kerajaan.
* Pasal 11 ''Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe, bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tjap di dalam papoetoesan itoe”.
* Pasal 12 ''Siapa-siapa yang kalah bahoekoem maka anggan ia daripada kalahnya itoe, serahkan kajah ading papoetoesannya itoe jang mengoeroeskannya''.
Para [[Bilal]] dan [[Marbot|Kaum]] merupakan bagian dari aparat pelaksana hukum, karena kedua jabatan ini dapat diminta oleh hakim untuk membantu melaksanakan keputusan pengadilan yang bertindak atas nama Sultan. Surat gugatan yang harus diserahkan dulu kepada tergugat dan tergugat harus menjawabnya. Kalau dalam tempo 15 hari dia tidak menjawabnya, maka hakim berhak memutuskan perkaranya.
Baris 81:
Ketentuan peralihan terdapat dalam pasal [[16]], yang berbunyi : ''Mana-mana segala perkara yang dahulu dari zamanku tiada kubariakan dibabak lagi dan mana-mana segala perkara pada zamanku nyata salahnya boleh aja dibabak dibujurkan oleh Hakim''
 
== Catatan kaki ==
{{reflist}}