Kampung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan teks terakhir (oleh Elisa jkt) dan mengembalikan revisi 12044061 oleh Rachmat04
Elisa jkt (bicara | kontrib)
kampung kota dan sejarah
Baris 17:
{{commons category|Villages}}
 
== Kampung kota ==
{{Macam pembagian negara}}
Abdoumaliq Simone, seorang [[geografer]], memberikan definisi kampung yang berada di wilayah [[perkotaan]] sebagai salah satu unit dasar kota, yang secara etimologis terkait dengan camp dan compound yang telah memiliki ambang batas optimal dan seringkali sangat padat, pola perkotaan tingkat rendah yang bercirikan kepemilikan tanah yang sulit untuk dibakukan. Kampung kota sering kali mengandung spektrum keberagaman etnis dan tingkat pendapatan. Juga seringkali memasukkan struktur sosial dari pulau atau tempat lain.<ref>Abdoumaliq Simone, ''City Life from Jakarta to Dakar: Movements at the Crossroads,'' 2010, ISBN: 0-415-993220-9, pp. 61</ref>
 
Pengertian istilah kampung kota bersifat elusif. Kampung-kampung tak jarang hadir di pusat perkotaan. Kadangkala kampung perkotaan merupakan suatu daerah kumuh yang ditinggalkan, namun lebih sering merupakan wilayah [[pedesaan]] yang tercakup oleh perluasan ruang kota. Perkampungan pada mulanya dibangun sebagai ruang yang kemudian melalui proses intensifikasi [[pembangunan]] menyerap semakin banyak orang pindah untuk bermukim di kampung-kampung.<ref>Lea Jellinek, ''The wheel of fortune: the history of a poor community in Jakarta,'' 1991, pp. 1-15</ref>
 
=== Sejarah perkembangan kampung kota ===
Lebih lanjut lagi, dengan menelusur sejarah asal-usul kampung sebagai bagian penting dari citra yang dimilikinya, kampung dipahami sebagai [[permukiman]] bersama yang muncul begitu saja, bukan merupakan bagian dari suatu rencana penataan jalan dan penempatan bangunan. Definisi yang mengambil persepsi dari penguasa kota ini memiliki keuntungan bahwa ia mencakup elemen-elemen yang kerap menjadi pemicu tindakan negara, yakni kesemrawutan. Penempatan lahan-lahan biasanya tidak teratur baik dalam bentuk maupun ukurannya, pola-pola antar permukiman cenderung zig-zag, dan rumah-rumah yang dibangun sendiri oleh penduduk. Pada akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hinda Belanda menjadi kampung dengan identitas terpisah, bahkan memberikan status administratif yang otonom, namun justru cara seperti ini menyingkirkan penduduk kampung dari modernitas.<ref>Johnny A. Khusyairi & La Ode Rabani, ''Kampung Perkotaan: Kajian Historis-Antropologis atas Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota'', 2010, ISBN: 978-979-185-323-1, pp. xii</ref>
 
Sejak abad ke-20, para birokrat selalu melihat kampung dengan kacamata negara, dengan menganggap kampung sebagai ruang yang tercampur baur, melihat sesuatu yang problematis. Respon standarnya ialah dengan melakukan perbaikan kampung, sebuah kebijakan yang diperkenalkan pada tahun 1920-an dan terus dilanjutkan hingga sekarang di kota-kota besar Indonesia seperti [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]], [[Kota Surabaya|Surabaya]], [[Kota Makassar|Makassar]], [[Kota Kendari|Kendari]] dan [[Kota Surakarta|Solo]]. Diawali dengan banjir besar tahun 1918, yang melanda sebagian besar kampung di kota Jakarta, [[Mohammad Husni Thamrin|Muhammad Husni Thamrin]] mendesak pemerintah kolonial untuk memperbaiki kampung dengan maksud menanggulangi banjir di permukaan.[4] Program tersebut kemudian terkenal dengan sebutan [[Perbaikan Kampung|Kampung Verbetering]], akhirnya tak hanya berlangsung di [[Batavia]], tetapi juga di [[Kota Semarang|Semarang]] dan [[Kota Surabaya|Surabaya]].[5]{{Macam pembagian negara}}
 
[[Kategori:Kampung| ]]