Sejarah Indonesia (1965–1966): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Clean up, replaced: ekstrim → ekstrem using AWB
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- tapi + tetapi)
Baris 46:
Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan Kolonel [[Abdul Latief (kolonel)|Abdul Latief]], Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh atau menangkap Mayor Jenderal Soeharto, komandan [[Kostrad]] (Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai loyalis Soekarno.<ref name="Latief279">Latief (1999) p279</ref> Soeharto, bersama dengan Jenderal [[Abdul Haris Nasution|Nasution]] yang selamat, membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah sebuah gerakan pemberontak yang berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden Soekarno dengan pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio tersebut, Soeharto dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan mereka, berhasil mendapatkan loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor Jenderal [[Umar Wirahadikusumah]] dan Kolonel [[Sarwo Edhie Wibowo]], komandan pasukan khusus tentara RPKAD ([[Resimen Para Komando Angkatan Darat]]).
 
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personel G30S telah mundur kembali ke Markas [[Bandara Halim Perdanakusuma|Halim Perdanakusuma]] [[TNI AU]]. Pasukan RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal 2 Oktober, tapitetapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di lokasi [[Lubang Buaya]] dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.<ref name="Ricklefs_287"/>
 
===Perebutan kekuasaan internal militer===
Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat pengaruh militer jatuh untuk personel tentara yang lebih bersedia untuk menentang Soekarno dan musuh mereka di faksi sayap kiri TNI.<ref>Ricklefs (1991), page 281</ref> Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira berpangkat tertinggi dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga dalam keseluruhan rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan [[Kepala Staf TNI Angkatan Darat]] Jenderal [[Abdul Haris Nasution]], anggota dari kubu TNI sayap kanan.
 
Pada tanggal [[2 Oktober]], Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk mengambil kendali tentara, tapitetapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal [[1 November]] dibentuklah [[Kopkamtib]] ("Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.<ref name="Ricklefs_287"/> Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen [[Pranoto Reksosamudro]], yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal Nasution.
 
Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, ''[[The New York Times]]'' melaporkan bahwa sebuah "laporan diplomatik" Barat yang tidak disebutkan namanya menyatakan bahwa Pranoto adalah mantan anggota PKI. Dugaan komunisme Pranoto, serta pengangkatannya, membuat media tersebut berpandangan bahwa PKI dan Soekarno bersekongkol untuk membunuh para jenderal tersebut untuk mengkonsolidasikan genggaman mereka pada kekuasaan.<ref name="NYT100665">''New York Times'', October 6, 1965</ref>
Baris 64:
Pada pemakaman [[Ade Irma]], putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa G30S, Komandan Angkatan Laut Laksamana [[Raden Eddy Martadinata|Martadinata]] memberi sinyal pada para ulama dan pemimpin Muslim untuk menyerang Komunis. Pada tanggal 8 Oktober, kantor pusat PKI dijarah dan dibakar habis saat petugas [[pemadam kebakaran]] hanya berdiri diam.<ref name="HUGHES">Hughes (2002)</ref> Mereka kemudian berdemonstrasi masal menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia. Rumah-rumah tokoh senior partai, termasuk ketua PKI [[D.N. Aidit]], [[M.H. Lukman]] dan [[Nyoto]] juga dibakar. Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan masyarakat Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen partai komunis dan [[organisasi massa]] berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI segera ditangkap, beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.<ref name="Vickers 2005, page 157"/>
 
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua stasiun radio yang dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah partai terlarang. Larangan tersebut termasuk partai PKI sendiri dan semua "''onderbouw''"-nya (sayap organisasi) seperti organisasi pemuda dan perempuan, asosiasi petani, intelektual dan kelompok mahasiswa, dan serikat buruh [[SOBSI]]. Pada saat itu, tidak jelas apakah larangan ini hanya diterapkan terhadap Jakarta (yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan Darat), atau seluruh Republik Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai dalih oleh Tentara Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia melaksanakan [[hukuman di luar hukum]], termasuk [[penangkapan massal]] dan [[eksekusi kilat]], terhadap siapapun yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis, dan loyalis Soekarno. Saat penyebaran kekerasan berdarah tersebut, Soekarno mengeluarkan perintah untuk mencoba menghentikannya, tapitetapi ia diabaikan. Dia juga menolak untuk menyalahkan PKI untuk peristiwa "kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti yang dituntut oleh TNI Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution semakin curiga tentang peran Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat enggan untuk menghadapi Soekarno langsung karena popularitasnya yang masih luas.<ref name="HUGHES"/>
 
Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian masyarakat yang terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok ''[[vigilante]]'' Muslim) mulai membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI maupun ''onderbouw''-nya, baik yang hanya diduga maupun yang memang betul.<ref name="Ricklefs_287">Ricklefs (1991), p. 287.</ref> Pembunuhan dimulai di ibukota, [[Jakarta]], menyebar ke [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]], dan kemudian [[Bali]]. Meskipun pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia, yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan [[Sumatra utara]].<ref>Ricklefs (1991), page 287; Schwarz (1994), p. 20.</ref> Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965, sebelum mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966.<ref>Cribb (1990), p. 3; Ricklefs (1991), p. 288; McDonald (1980), p. 53.</ref> Perkiraan jumlah korban tewas dari berbagai kekerasan ini berkisar dari lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun kebanyakan sejarawan menerima figur sekitar 500.000.<ref>Robert Cribb, "Genocide in Indonesia, 1965-1966," ''[[Journal of Genocide Research]]'' 3 no. 2 (June 2001), pp. 219-239; Ricklefs (1991), p. 288; Friend (2003), p. 113; Vickers (2005), p. 159; {{cite journal |title=Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965–1966 |author=Robert Cribb |journal=Asian Survey |volume=42 |issue=4 |year=2002 |pages=550–563 |doi=10.1525/as.2002.42.4.550}}</ref> Banyak orang lain juga dipenjara dan selama sepuluh tahun ke depan, orang-orang masih ditangkap dan dipenjarakan sebagai tersangka. Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan atas dasar dugaan pendukung komunisme pada satu saat di masa tersebut.<ref>Vickers (2005), pages 159–60</ref> Sebagai hasil dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah secara efektif dihilangkan oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.
Baris 99:
Sementara itu, Soeharto dan sekutunya terus membersihkan lembaga-lembaga negara dari loyalis Soekarno. Kesatuan pengawal istana, [[Resimen Tjakrabirawa]] dibubarkan, dan setelah demonstrasi mahasiswa selanjutnya di depan gedung legislatif pada tanggal [[2 Mei]], pimpinan [[Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong]] (DPR-GR) digantikan dan anggota legislatif yang Soekarnois dan pro-komunis diskors dari DPR-GR dan [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara]] (MPRS), badan pembuatan hukum tertinggi. Pengganti mereka yang Pro-Soeharto kemudian diangkat.<ref name="RICKLEFS"/><ref name="HUGHES"/>
 
Sebuah sidang MPRS dijadwalkan untuk dibuka [[12 Mei]], tapitetapi akhirnya dimulai pada tanggal [[20 Juni]] dan berlanjut sampai dengan [[5 Juli]]. Salah satu tindakan pertamanya adalah menunjuk Jenderal [[Abdul Haris Nasution|Nasution]] sebagai ketua. Sidang ini kemudian mulai membongkar aparatur negara yang telah dibangun Soekarno di sekitar dirinya. Sidang ini mengeluarkan beberapa keputusan, salah satunya adalah ratifikasi [[Supersemar]], sehingga pencabutannya hampir mustahil. Sidang ini juga meratifikasi pelarangan PKI dan ajaran ideologi [[Marxisme]], menginstruksikan Soeharto untuk membentuk kabinet baru, memanggil Soekarno untuk memberikan penjelasan atas situasi ekonomi dan politik di Indonesia dan menanggalkannya dari gelar "presiden seumur hidup". Sidang ini juga mengeluarkan sebuah dekret yang menyatakan bahwa jika presiden (Soekarno) tidak mampu melaksanakan tugasnya, pemegang Supersemar akan menjabat sebagai presiden.<ref name="HUGHES"/><ref name="SEKNEG_2"/>
 
Kabinet baru yang diumumkan oleh Soekarno pada tanggal [[20 Juni]], dipimpin oleh presidium lima orang yang dipimpin oleh Soeharto, dan termasuk Adam Malik dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengumuman ini kembali mencakup pemberhentian para loyalis Soekarno lebih lanjut.