Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 125.161.104.136 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Rachmat-bot
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 13:
* [[Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Aceh 2006|Diadakannya pilkada]]
|combatant1={{flagicon|Indonesia}} [[Indonesia]]
|combatant2=[[FileBerkas:Flag of Aceh.svg|20px]] [[Gerakan Aceh Merdeka]]
|commander1={{flagicon|Indonesia}} [[Suharto]]<br /> {{flagicon|Indonesia}} [[Bacharuddin Jusuf Habibie|Jusuf Habibie]]<br /> {{flagicon|Indonesia}} [[Abdurahman Wahid]]<br /> {{flagicon|Indonesia}} [[Megawati Sukarnoputri]]<br /> {{flagicon|Indonesia}} [[Susilo Bambang Yudhoyono|Susilo Yudhoyono]]
|commander2=[[FileBerkas:Flag of Aceh.svg|20px]] [[Hasan di Tiro]] <br/> [[FileBerkas:Flag of Aceh.svg|20px]] [[Zaini Abdullah]] <br/> [[FileBerkas:Flag of Aceh.svg|20px]] [[Muzakir Manaf]] <br/> [[FileBerkas:Flag of Aceh.svg|20px]] [[Kamarudin Abubakar]] <br/> [[FileBerkas:Flag of Aceh.svg|20px]] [[Sofyan Dawood]]
|strength1= 150,000 <ref>Miller, Michelle Ann. Rebellion and Reform in Indonesia. Jakarta's Security and Autonomy Policies in Aceh (London: Routledge 2008) ISBN 978-0-415-45467-4</ref>
|strength2= 3,000 <ref>{{cite book|last=Schulze|first=Kirsten E.|title=The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization|year=2004|publisher=East-West Center Washington|location=Washington|isbn=1-932728-03-1|page=30}}</ref>
Baris 54:
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di [[pengasingan]], di[[penjara]], atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi.<ref name=Schulz_p4>{{cite book|last=Schulz|title=Op Cit|page=4}}</ref> Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti berfungsi.<ref>{{cite book|title=ibid|page=11}}</ref>
 
=== Tahap kedua ===
[[Berkas:Teuku Daud Beureueh.jpg|thumb|left|175px|Teungku Muhammad [[Daud Beureueh]]]]
 
Baris 61:
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya.<ref name=Aspinall_Islam_110>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|pages=110}}</ref> Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
 
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era [[Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998|''Daerah Operasi Militer'' (DOM) Aceh]] ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh.<ref name=Schulz_p4>{{cite book|last=Schulz|title=Op cit|page=4}}</ref> Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden [[Habibie]] pada akhir era 1998 setelah [[kejatuhan Soeharto]].<ref>Leonard Sebastian, "Realpolitik: Indonesia's Use of Military Force", 2006, Institute of Southeast Asian Studies</ref> Komandan penting GAM telah entah dibunuh (komandan GAM Pasè [[Yusuf Ali]] dan panglima senior GAM [[Keuchik Umar]]), ditangkap ([[Ligadinsyah]]) atau lari (Robert, Arjuna dan [[Ahmad Kandang]]).<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=113}}</ref>
 
=== Tahap ketiga ===
[[Berkas:Free Aceh Movement women soldiers.jpg|thumb|250px|Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM [[Abdullah Syafi'i (GAM)|Abdullah Syafi'i]], 1999]]
 
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di [[Jawa]] dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya [[Soeharto]] memberikan keuntungan bagi [[Gerakan Aceh Merdeka]] dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.<ref>Miller, Michelle Ann. op. cit.</ref> Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.<ref>{{cite news|newspaper=The Indonesian Observer|date=2 December 1999}}</ref>
 
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "[[darurat militer]]" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.<ref>{{cite book|last=Aspinall|first=Edward|title=The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?|year=2005|publisher=East-West Center Washington|location=Washington|isbn=978-1-932728-39-2|pages=vii}}</ref>
 
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum [[8 November]] [[1999]] di [[Banda Aceh]], GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi.<ref>{{cite web|title=Millions demand referendum in Aceh|url=http://www.greenleft.org.au/node/18871|publisher=Green Left|accessdate=23 October 2012}}</ref> Pada tanggal [[21 Juli]] [[2002]], GAM juga mengeluarkan [[Deklarasi Stavanger]] setelah pertemuan "''Worldwide Achehnese Representatives Meeting''" di [[Stavanger]], [[Norwegia]].<ref>{{cite web|title=Acheh: The Stavanger Declaration|url=http://www.unpo.org/article/747|publisher=Unrepresented Nations and Peoples Organization|accessdate=23 October 2012}}</ref> Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi."<ref>{{cite web|title=ibid|accessdate=23 October 2012}}</ref> Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=142}}</ref>
 
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan [[Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004|operasi militer]] untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan [[keadaan darurat]] dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan ''[[Human Rights Watch]]'',<ref>[http://hrw.org/reports/2003/indonesia1203/5.htm#_Toc58915047 Human Rights Watch]</ref> militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran [[hak asasi manusia]] dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana Tsunami bulan Desember 2004]] memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.
Baris 77:
Setelah [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana Tsunami dahsyat]] menghancurkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan [[gencatan senjata]] dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.<ref>Pengakuan yang sangat berguna dan rinci dari proses negosiasi dari pihak Indonesia dalam buku oleh negosiator kunci Indonesia , Hamid Awaludin, ''Peace in Aceh: Notes on the peace process between the Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki'', diterjemahkan Tim Scott, 2009, [[Centre for Strategic and International Studies (Indonesia)|Centre for Strategic and International Studies]], Jakarta. ISBN 978-979-1295-11-6.</ref> Namun, bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap [[pers]] dan [[pekerja bantuan]]. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk upaya bantuan internasional.<ref>http://www.asiapacific.ca/analysis/pubs/pdfs/commentary/cac43.pdf</ref>
 
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era pasca-[[Soeharto]] dan [[Sejarah Indonesia (1998-sekarang)|masa reformasi]] yang liberal-demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, [[Susilo Bambang Yudhoyono]] dan Wakil Presiden [[Jusuf Kalla]] adalah sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.<ref>See Hamid Awaludin, op. cit.</ref> Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan [[militer Indonesia]] telah menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi.<ref>[http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HH15Ae01.html Asia Times Online :: Southeast Asia news - A happy, peaceful anniversary in Aceh<!-- judul hasil Bot -->]</ref> Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi oleh [[LSM]] berbasis [[Finlandia]], ''[[Crisis Management Initiative]]'', dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia [[Martti Ahtisaari]]. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai <ref>[http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf Text of the MOU] (PDF format)</ref> ditandatangani pada [[15 Agustus]] [[2005]]. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik [[Indonesia]], dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, [[Uni Eropa]] mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam ''[[Aceh Monitoring Mission]]'' (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal [[15 Desember]] [[2006]], setelah suksesnya [[pilkada]] atau [[Pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam 2006|pemilihan daerah gubernur Aceh]] yang pertama.
 
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh akan perlu ditangani.<ref>[http://hrw.org/english/docs/2005/09/19/indone11764.htm]</ref>
Baris 85:
== Kemungkinan penyebab konflik ==
=== Sejarah ===
Akademis dari [[Universitas Nasional Australia|ANU]] Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama [[Revolusi Nasional Indonesia]] menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh para [[ulama]] Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah kemerdekaan Indonesia.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=47}}</ref>
 
Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara berkembangnya separatisme Aceh:
Baris 104:
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan ''Orde Baru'' terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "''prang sabi''" ("perang suci" atau "[[jihad]]" menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir" (atau [[Perang Aceh]]) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku ''[[Hikayat Prang Sabi]]'' ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu ''Hikayat Prang Sabi'', daripada lagu nasional Indonesia, ''[[Indonesia Raya]]''.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=110}}</ref> Bahan publikasi politik GAM juga menggambarkan ''[[Pancasila]]'', ideologi negara resmi Indonesia sebagai "ajaran [[politeisme|politeistik]]" yang dilarang oleh Islam.<ref>{{cite book|title=ibid|page=199}}</ref>
 
Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah [[kejatuhan Soeharto|jatuhnya Soeharto]] pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya [[referendum]] kemerdekaan Aceh dan menyoroti [[pelanggaran HAM]] yang dilakukan oleh [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] (TNI) di Aceh.<ref>{{cite book|title=ibid|page=197}}</ref> Demikian pula, posisi GAM pada ''syariah'' juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan [[Daerah istimewa|UU Nomor 44/1999]] tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.<ref>{{cite book|title=ibid|page=194}}</ref> Meskipun mengubah sikap terhadap ''syariah'', posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh ''[[International Crisis Group]]'' (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan penerapan hukum ''syariah'' di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki pengaruh.
<ref>{{cite journal|title=Islamic Law and Criminal Justice in Aceh|journal=International Crisis Group|date=31|year=2006|month=July|issue=117|page=5}}</ref> Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang berubah-ubah terhadap ''syariah'' dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting, Islam akan sangat ditekankan.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|pages=200–202}}</ref>
 
Baris 110:
Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson berpendapat bahwa manajemen ''Orde Baru'', eksploitasi sumber daya alam Aceh dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab pemberontakan Aceh.<ref>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|issue=66|pages=160}}</ref> Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, Aceh telah mengalami "booming [[LNG]]" setelah penemuan [[gas alam]] di pantai timur laut provinsi Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga setelah provinsi [[Kalimantan Timur]] dan [[Riau]].<ref>{{cite journal|last=Dawood|first=Dayan|coauthors=Syafrizal|title=Aceh: The LNG Boom and Enclave Development|journal=Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia Since 1970|year=1989|series=ed. Hal Hall. Singapore: Oxford University Press|page=117}}</ref> Meskipun demikian, hampir semua pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh dialokasikan ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara [[Pertamina]].<ref>{{cite journal|title=ibid|page=115}}</ref> Selain itu, pemerintah pusat tidak kembali menginvestasikan cukup banyak pendapatan tersebut kembali ke provinsi Aceh.<ref>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|issue=66|page=136}}</ref> Hal ini menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai menonjol saat itu untuk mengeluh bahwa provinsi Aceh telah diperlakukan tidak adil secara ekonomi dan bahwa Aceh telah terpinggirkan dan diabaikan sebagai daerah pinggiran.<ref>{{cite book|last=Kell|title=The Roots of Acehnese Rebellion|pages=30}}</ref>
 
Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama ''booming'' LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu [[Hasan di Tiro]]. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan tawaran kontrak [[pipa minyak]] untuk ''[[Mobil Oil]]'' Indonesia pada tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan [[Amerika Serikat]].<ref>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|volume=66|page=137}}</ref> Robinson mencatat waktu deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan.<ref>{{cite journal|title=ibid|page=138}}</ref> Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
 
: "''Aceh, Sumatera, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa.''"<ref>{{cite book|last=di Tiro|title=The Price of Freedom|pages=16}}</ref>
Baris 162:
== Kemungkinan faktor resolusi damai ==
=== Melemahnya posisi militer GAM ===
Dinyatakannya status [[darurat militer]] di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius.<ref name=ICG_2005>{{cite journal|last=International Crisis Group|title=Aceh: A New Chance for Peace|journal=Crisis Group Asia Briefing|date=15|year=2005|month=August|issue=40|page=4}}</ref> GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya.<ref name=ICG_2005>{{cite book|title=ibid}}</ref> Akibatnya, komando GAM di [[Pidie]] menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui telepon agar mundur dari ''sagoe'' (subdistrik) ke ''daerah'' (distrik) dan aksi militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah.<ref name=ICG_2005>{{cite book|title=ibid}}</ref> Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat ''sagoe''-nya memiliki otonomi komando yang lebih besar sehingga mampu melancarkan aksi militer atas kemauannya sendiri.<ref name=ICG_2005>{{cite book|title=ibid}}</ref>
 
Menurut [[Endriartono Sutarto]] yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI, pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang — yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri, ditangkap, dan tewas dalam baku tembak.<ref>{{cite news|newspaper=Kompas|date=10 June 2005}}</ref> Meski meragukan keakuratan jumlah tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM.<ref>{{cite book|last=Aspinall|first=Edward|title=The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?|year=2005|publisher=East-West Center Washington|location=Washington|isbn=978-1-932728-39-2|url=http://scholarspace.manoa.hawaii.edu/bitstream/handle/10125/3501/PS020.pdf?sequence=1|page=8}}</ref>
Baris 186:
Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan perjanjian resmi.<ref>{{cite book|last=Kingsbury|first=Damien|title=Peace in Aceh: A Personal Account of the Helsinki Peace Process|year=2006|publisher=Equinox|location=Jakarta|isbn=979-3780-25-8|page=15}}</ref> Selain itu, ia menyebut penunjukan Kalla menjadi pengawas delegasi Indonesia pada dialog damai sebagai faktor penting, dikarenakan status Kalla yang merupakan ketua umum [[Golkar]], partai mayoritas di [[Dewan Perwakilan Rakyat|DPR]] saat itu, sehingga pemerintahan SBY mudah menghadapi penolakan dari anggota DPR lainnya.<ref>{{cite book|title=ibid|pages=15–16}}</ref>
 
== Laporan ''Time To Face The Past'' ==
Pada April 2013, ''[[Amnesty International]]'' meluncurkan laporan ''Time To Face The Past'' ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa "sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran, keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, ''Amnesty International'' menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei 2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai [[lembawa swadaya masyarakat]] (LSM), [[organisasi masyarakat]], [[pengacara]], anggota dewan, pejabat pemerintah setempat, [[jurnalis]], dan korban dan perwakilan mereka mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari pemerintah Indonesia sesuai [[nota kesepahaman]] 2005 yang mencantumkan rencana pembentukan [[Pengadilan Hak Asasi Manusia]] di Aceh dan [[Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh]].<ref>{{cite web|title=Time To Face The Past|url=http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/001/2013/en/5a7956bb-be04-494a-85e2-0c02d555b58e/asa210012013en.pdf|work=Amnesty International|publisher=Amnesty International|accessdate=18 April 2013|format=PDF|year=2013}}</ref>
 
Baris 202:
 
== Pranala luar ==
* [http://www.hrw.org/reports/2001/aceh/index.htm INDONESIA: THE WAR IN ACEH (HRW report, 2001)]
* [http://alertnet.org/db/crisisprofiles/ID_PEA.htm?v=in_detail Aceh Peace] From [http://alertnet.org Reuters Alertnet]
* [http://peacemaker.un.org/node/1099 Full text of the Agreement between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement, 18 August 2005], UN Peacemaker
* [http://peacemaker.un.org/node/1105 Full text of the Cessation of Hostilities Agreement Between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement, 9 December 2002], UN Peacemaker
 
{{Konflik Aceh}}