Kabupaten Gowa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak 2 perubahan teks terakhir (oleh 202.67.37.46 dan 180.251.163.57) dan mengembalikan revisi 11393479 oleh Rachmat-bot
HsfBot (bicara | kontrib)
k →‎Pertanian: clean up, replaced: afdol → afdal using AWB
Baris 47:
Kecamatan-kecamatan yang berada di dataran tinggi seperti Parangloe, Bungaya dan terutama Tinggimoncong merupakan sentra penghasil [[sayur-mayur]]. Sayuran yang paling banyak dibudidayakan adalah [[kentang]], [[kubis]], [[sawi]], bawang daun dan [[buncis]]. Per tahunnya hasil panen sayur-sayuran melebihi 5.000 ton. Sayuran dari Kabupaten Gowa mampu memenuhi pasar Kota Makassar dan sekitarnya, bahkan sampai ke Pulau [[Kalimantan]] dan [[Maluku]] melalui Pelabuhan Parepare dan Pelabuhan Mamuju.
 
Selain bertani sayur yang memiliki masa tanam pendek, petani Gowa juga banyak yang bertani tanaman umur panjang. Salah satunya adalah tanaman [[markisa]] (''Fassifora sp''). Mengunjungi Makassar kurang afdolafdal rasanya kalau tidak membawa buah tangan sirup atau ''juice'' markisa. Jika kita melihat pemandangan di bandara atau pelabuhan, kebanyakan para calon penumpang yang akan meninggalkan Makassar membawa sari buah beraroma segar ini. Tanaman yang berasal dari daratan Amerika Selatan ini identik dengan Sulawesi Selatan. Desa Kanreapia, Kecamatan Tinggimoncong merupakan salah satu daerah penghasil markisa di Kabupaten Gowa. Sayangnya [[markisa]] yang rasa buahnya manis asam dan mampu menggerakkan industri kecil makanan dan minuman ini kini mulai kurang diminati petani. Menanam markisa memang tidak mudah, kecuali karena masa tanamnya panjang dan memerlukan perawatan khusus, seperti tinggi permukaan tanah, pupuk dan obat-obatan yang cukup mahal.
 
Selain itu harga markisa juga tidak stabil dan cenderung terus menurun. Tanaman merambat ini memiliki satu masa panen per tahun (November-Januari) dengan produksi sekitar 300.000 buah per hektare. Jika harga pada masa panen raya, satu kilo (kurang lebih 25 buah) hanya Rp. 500,- sampai Rp. 800,-{{fact}} sehingga para petani hanya menerima Rp 6,0 juta sampai Rp 9,6 juta per hektarenya. Keadaan ini yang mendorong luas tanam markisa terus menurun. Pada tahun [[1996]] terdapat 1.241 hektare dengan produksi 21.861 ton. Empat tahun kemudian luas tanam menjadi 854 hektare dengan produksi 7.189 ton. Petani banyak beralih tanam dari markisa ke sayuran karena lebih pendek masa tanamnya.