Bujangga Manik (naskah): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ciko (bicara | kontrib)
Hadiyana (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 13:
Naskah Bujangga Manik diukir diatas [[daun lontar]]. Saat ini disimpan di [[Perpustakaan Bodleian]], [[Oxford]], [[Inggris]] sejak tahun [[1627]].
 
==Ringkasan==
Rujukan
 
Nama penulis naskah ini, pangerang Jaya Pakuan, muncul pada baris ke 14. Nama alias dari penulis, yaitu Bujangga Manik, dapat ditemukan mulai baris ke 456. Dalam baris 15-20 diceritakan bahwa dia akan meninggalkan ibunya untuk pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari kebiasaannya kita tahu bahwa dia mengenakan ikat kepala ("saceundung kaen" dalam baris 36).
 
Kemudian dia memulai perjalanan pertamanya yang dia lukiskan secara terperinci. Waktu Bujangga Manik mendaki daerah Puncak, dia menghabiskan waktu, seperti seorang pelancong jaman modern, dia duduk, mengpasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya [[Gunung Gede]]) yang, pada baris ke 59 sampai 64, dia sebut sebagai titik tertinggi dari kota [[Pakuan]] (ibukota kerajaan [[Sunda]].
 
Dari [[Puncak Pass]] dia melanjutkan perjalanan sampai menyeberangi sungai Cipamali (kali Brebes) untuk masuk ke daerah Jawa. Di daerah Jawa dia mengembara ke berbagai desa Majapahit serta hutan Demak. Sesampai di Pemalang, Bujangga Manik merindukan ibunya (baris 89) dan memutuskan untuk pulang. Namun pada kesempatan ini, dia lebih suka untuk lewat laut dan menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai pertengahan abad ke 15 sampai ditaklukkan oleh Portugis menguasai perdagangan pada perairan ini.
 
Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta (baris 96-120): bedil ditembakkan, alat musik dimainkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak kapal; gambaran terperinci mengenai bahan yang digunakan untuk membuat kapal diceritakan: berbagia jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang berasal dari India juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal berasal dari berbagai tempat atau bangsa.
 
Perjalanan dari Pamalang ke [[Sunda Kalapa]], pelabuhan kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan. (baris 121), yang memberi kesan bahwa kapal yang ditumpangi tersebut berhenti di berbagai tempat diantara Pamalang dan Kalapa. Dari prjalanan tersebut, Bujangga Manik membuat nama alias lainnya yaitu Ameng Layaran. Dari Sunda Kalapa, Bujangga melewati Pabeyaan dan meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di [[Pakuan]], di bagian selatan kota Bogor sekarang (Noorduyn 1982:419). Bujangga Manik memasuki Pakancilan (baris 145), terus masuk ke paviliun yang dihias cantik dan duduk disana. Dia melihat ibunya sedang menenun, teknik menenunnya dijelaskan dalam baris (160-164). Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali. Dia segera meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melewati beberapa lapis gorden, dan naik naik ke tempat tidurnya.
 
Ibu Bujangga Manik menyiapkan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki bahan untuk mengunyah sirih, menyisir rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia kemudian turun dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang ditawarkan ibunya.
 
Pada bagian berikutnya, diceritakan mengenai putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Jompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang meninggalkan istananya, menyeberangi sungai Cipakancilan dan datang ke istana Bujangga Manik. Di istana tersebut dia bertemu seoang asing yang sedang mengunyah sirih yang ternyata adalah Bujangga Manik. Jompong Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga Manik (baris 267-273).
 
Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung Larang yang kebetulan sedang sibuk menenun. Uraian mengenai cara menenunnya diterangkan dalam baris (279-282). Putri, yang mengenakan gaun serta disampingnya ada kotak Cina impor(284-290), melihat Jompong Larang yang terburu-buru, menaiki tangga dan kemudian duduk di sampingnya.
 
Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya; Jompong Larang mengatakan bahwa dia melihat pria yang sangat tampan, “sepadan” bagi putri Ajung Larang. Dia menceritakan bahwa Ameng Layaran lebih tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau “sepupunya putri” (321), atau siapapun itu. Lebih dari itu, pria itu pintar membuat sajak dalam lontar serta bisa bahasa Jawa. (baris 327). Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta. Dia kemudian menghentikan pekerjaan menenunnyadan memasuki rumah. Di sana dia sibuk menyiapkan hadiah bagi pria muda tersebut, terdiri dari berbagai perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan sangat hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi parfum yang sangat mahal, “seluruh parfum tersebut berasal dari luar negeri”, juga baju dan sebuah keris yang indah.
 
{{stub}}
 
Jompong Larang is sent to the prince with this expensive gift; her mistress explicitely requires her to explain that if the gift is accepted the lady herself will follow. The servant leaves the palace, loaden with all the presents: “a chest on her head, a betel-tray on her hands and the cloth on her arms” (411-413). Her route is described again (414-422), she arrives at the house where she finds Bujangga Manik’s mother sitting on mattress. She asks Jompong Larang what her message is, and the servant duly reports the instruction given by the princess.
 
Then the mother addressed her son, in a lengthy speech explaining the outstanding quality of the gift (456-546). In fact she mentions many more articles that were early described. In particular the specification of the quids in 470-493 is remarkable: they are said to be prepared by forming, folding and rolling them on the thighs and the breast of the lady who prepared them, and by binding them with fringe threads of her frock, so “as to bind a young man, to excite a bachelor’s desire” (470-478). It is clear that by this practice an extra sexual charge is loaded to the betel. A number of quids are identified by a specific name.
 
The mother urges her son to accept Lady Ajung Larang’s offer; adding that if he agrees “there is no more than just that”; she mentions “symbolic gifts” (sesebutan 518-522) and ends her strong recommendation by describing the exceptional beauty of the princess and her eagerness to give herself to the young man; has she not said: “I shall give myself, I shall dive like a hawk, leap like a tiger, asking to be accepted as sweetheart”? (530-534; the mother is exaggerating, we have not heard these words from the lady herself).
 
But Ameng Layaran is shocked by his mother’s enthusiasm which he calls “forbidden words” (carek larangan) and resolutely refuses to accept the gift in an equally lengthy declaration (548-650); he reveals the negative meaning of the sesebutan, which predict illness, tears and physical infirmity (563-574). His love is with the instructions which he received from his teacher (575-577). He requests her therefore to go together with Jompong Larang in order to return the gifts to the princess and to comport her. He prefers to stay single and to keep to the lessons which he received during his recent trip to Central Java, in the district of religious schools on the slopes of the Merbabu (here called gunung Damalung and Pamrihan), where as one of the friars he ccommunicated with hermits and ascests, following the teachers indicated as dewaguru, pandita, and purusa (593-606). What his mother requests from him is bad, she shows him the way to death and the cemetery, and ultimately to hell (608-624). He goes on to explain his background as a fatherless child, with a mother who went the wrong way, as a consequence of the fact that his grandmother did not uphold the taboos (pantang) when his mother was pregnant: she ate banana flowers and beunteur fish, as well as fish about to spawn, and she suffered from “squirrel convulsion” (625-640). “That is why it has come to this”. Therefore he feels compelled for good to take leave from his mother (649-650).
 
Bujangga Manik takes up his bag containing the great book (apus ageung) and the Siksaguru, as well as his rattan walking stick and his whip. He then declares that he is going east again, to the eastern tip of Java where he is going “to look for a place for my grave, to look for a sea to float away, a place for me to die, a place to lay down my body” (663-666). With these dramatic words he leaves the palace and begins his long wandering, never return home again.
 
He continues his journey eastward, mentioning a large number of place names and pointing out the high mountains in Central Java which he sees in the south, some of them bearing the names which are used until the present day.
 
 
==Rujukan==
 
* J. Noorduyn (alihbasa ku Iskandarwassid). 1984. Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: data topografis dari sumber Sunda Kuno. KITLV & LIPI, Jakarta.