Asma' binti Umais: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: beliau → dia (34), Beliau → Dia (2)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 7:
=== Pernikahan Asma binti Umays ===
 
'''Asma binti Umays''' menikah dan hijrah dengan suaminya [[Ja'far bin Abi Thalib]] ke Habasyah dan ketika hijrah ke kota [[Madinah]] pada tahun 7 H, suaminya syahid pada perang Mu'tah tahun [[629]] Masehi. Kemudian menikah dengan [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] setelah [[Ummi Ruman]], istrinya meninggal dan Setelah sekian lama melangsungkan pernikahan yang penuh berkah, Allah mengaruniai kepada mereka berdua seorang anak laki-laki, yaitu Muhammad bin [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]]. Mereka ingin melangsungkan haji wada`, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan meyertai haji setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintanya. Kemudian Asma` menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit Nabi [[Muhammad]] shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
 
Kemudian juga menyaksikan suaminya yakni [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] '''Khalifah Pertama''' yang memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta mengirim pasukan [[Usamah bin Zaid]] dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu -ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula dia menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut. Asma` senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan dia hidup bersama suminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar<ref>http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/asma-binti-umais.html</ref>.
Baris 15:
Asma` merasa telah dekatnya wafat dia sehingga dia membaca istirja` dan memohon ampun sedangkan kedua mata dia tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma` meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun dia tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta`ala, dia tetap bersabar dan berteguh hati.
 
Selanjutnya dia menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena dia adalah orang yang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah dia memandikan suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan dia sehingga dia lupa terhadap wasiat yang kedua. Dia bertanya kepada para muhajirin yang hadir, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?” mereka menjawab, “Tidak.”
 
Di akhir siang sesuai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma` binti Umays ingat wasiat suaminya yang kedua yakni agar dia berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? apakah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?