Sejarah Indonesia (1965–1966): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k minor cosmetic change
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes, replaced: personil → personel (5), hirarki → hierarki, jendral → jenderal
Baris 40:
[[Berkas:Suharto at funeral.jpg|thumb|Sebagai Mayor Jenderal, Soeharto (di kanan muka) menghadiri pemakaman umum para jenderal yang tewas dalam G30S, tanggal 5 Oktober 1965 (Foto oleh [[Departemen Penerangan Republik Indonesia|Departemen Penerangan Indonesia]]).]]
 
Pada malam [[30 September]] - [[1 Oktober]] 1965, enam jendraljenderal senior TNI diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh batalyon tentara dari [[Resimen Tjakrabirawa]] (Pengawal Presiden) dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Faksi sayap kanan TNI yang membawahi enam jenderal tersebut hancur, termasuk Panglima Staf Angkatan Darat yang paling berkuasa, [[Ahmad Yani]]. Sekitar 2.000 personilpersonel tentara dari kelompok tersebut menempati tiga sisi [[Lapangan Merdeka]], dan menduduki [[Istana Merdeka]], kantor [[Radio Republik Indonesia]], dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak menempati sisi timur, tempat markas [[Kostrad]].<ref name="Ricklefs 1991, p. 281">Ricklefs (1991), p. 281</ref> Menyebut diri mereka "[[Gerakan 30 September]]" (disingkat "G30S"), kelompok ini mengumumkan di radio RRI sekitar pukul 7:00 [[WIB]] bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh [[Central Intelligence Agency]] (CIA) [[Amerika Serikat]] yang direncanakan untuk menghapus Soekarno dari kekuasaan.<ref name="Ricklefs 1991, p. 281"/>
 
Mereka mengumumkan telah menangkap beberapa jenderal yang tergabung dalam konspirasi tersebut, yaitu anggota "[[Dewan Jenderal]]", yang telah merencanakan kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka kemudian menyatakan bahwa kudeta ini sejatinya akan berlangsung pada "[[Hari Angkatan Bersenjata]]" (5 Oktober) dengan dukungan dari CIA, dan bahwa Dewan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah [[junta militer]] yang memegang tampuk kekuasaan Indonesia.<ref name="RICKLEFS">Ricklefs (1982)</ref><ref name="ROOSA">Roosa (2007)</ref> Setelah itu, kelompok ini memproklamasikan berdirinya sebuah "[[Dewan Revolusi]]" yang terdiri dari berbagai perwira TNI terkenal dan pemimpin sipil yang akan menjadi otoritas tertinggi di Indonesia. Selain itu, mereka menyatakan bahwa [[Kabinet Dwikora]] Presiden Soekarno sebagai "demisioner" ("tidak valid").<ref name="SEKNEG_94App9">Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994) Appendix p19 (verbatim record of radio announcement)</ref>
Baris 46:
Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan Kolonel [[Abdul Latief (kolonel)|Abdul Latief]], Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh atau menangkap Mayor Jenderal Soeharto, komandan [[Kostrad]] (Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai loyalis Soekarno.<ref name="Latief279">Latief (1999) p279</ref> Soeharto, bersama dengan Jenderal [[Abdul Haris Nasution|Nasution]] yang selamat, membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah sebuah gerakan pemberontak yang berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden Soekarno dengan pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio tersebut, Soeharto dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan mereka, berhasil mendapatkan loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor Jenderal [[Umar Wirahadikusumah]] dan Kolonel [[Sarwo Edhie Wibowo]], komandan pasukan khusus tentara RPKAD ([[Resimen Para Komando Angkatan Darat]]).
 
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personilpersonel G30S telah mundur kembali ke Markas [[Bandara Halim Perdanakusuma|Halim Perdanakusuma]] [[TNI AU]]. Pasukan RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal 2 Oktober, tapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di lokasi [[Lubang Buaya]] dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.<ref name="Ricklefs_287"/>
 
===Perebutan kekuasaan internal militer===
Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat pengaruh militer jatuh untuk personilpersonel tentara yang lebih bersedia untuk menentang Soekarno dan musuh mereka di faksi sayap kiri TNI.<ref>Ricklefs (1991), page 281</ref> Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira berpangkat tertinggi dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga dalam keseluruhan rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan [[Kepala Staf TNI Angkatan Darat]] Jenderal [[Abdul Haris Nasution]], anggota dari kubu TNI sayap kanan.
 
Pada tanggal [[2 Oktober]], Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk mengambil kendali tentara, tapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal [[1 November]] dibentuklah [[Kopkamtib]] ("Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.<ref name="Ricklefs_287"/> Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen [[Pranoto Reksosamudro]], yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal Nasution.
Baris 114:
Pada tanggal [[12 Maret]] 1967, sidang khusus MPRS dimulai. Setelah perdebatan sengit, sidang ini setuju untuk melucuti Soekarno dari kekuasaan dan jabatannya. Pada tanggal [[12 Maret]] Soeharto diangkat penjabat Presiden Republik Indonesia yang baru. Soekarno kemudian dimasukkan sebagai [[tahanan rumah]] secara ''de facto'' di kediamannya di [[Bogor]]. Setahun kemudian, pada tanggal [[27 Maret]] 1968 sidang lain dari MPRS kembali menunjuk Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia.<ref name="SEKNEG_2"/>
 
Jenderal Nasution sendiri diyakini telah berusaha mendapatkan kekuasaan pada tanggal [[16 Desember]] 1965, ketika dia ditunjuk sebagai Komando Operasi Tertinggi, dan memegang sebagian dari hirarkihierarki militer yang umumnya dipegang oleh orang sipil. ''The New York Times'' melaporkan bahwa Nasution lebih suka membentuk sebuah [[junta militer|junta]] untuk menggantikan pemerintahan Soekarno.<ref name="NYT121665">''New York Times'', December 16, 1965</ref> (''New York Times'', 16 Desember 1965.)
 
==Konsekuensi ==
Baris 130:
Rezim Orde Baru yang muncul dari gejolak tahun 1960-an ini ditujukan untuk memelihara ketertiban politik, mempromosikan pembangunan ekonomi, dan mengasingkan partisipasi massa dari dalam proses politik Indonesia. Militer diberi peran yang kuat dalam politik, organisasi politik dan sosial di seluruh Indonesia mengalami birokratisasi dan korporatisasi, dan metode represi yang selektif namun efektif dan kadang-kadang brutal digunakan terhadap penentang rezim Orde Baru.<ref name="Aspinall" />
 
Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personilpersonel militer sebagai bagian dari doktrin "[[dwifungsi]]" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan menjadi sebuah partai tunggal, Partai [[Golongan Karya]] ("Golkar"). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, ([[PDI]] dan [[PPP]]) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa.
 
=== Kebangkitan Islamisme ===
Baris 138:
Perubahan rezim ini membawa perubahan dalam kebijakan pemerintah Indonesia yang memungkinkan [[USAID]] dan lembaga bantuan lainnya untuk beroperasi di dalam Indonesia. Soeharto membuka ekonomi Indonesia dengan melepas perusahaan milik negara, dan negara-negara Barat didorong untuk berinvestasi dan mengambil kendali dari banyak kepentingan pertambangan dan konstruksi di Indonesia. Hasilnya adalah stabilisasi ekonomi dan pengentasan kemiskinan absolut dan kondisi [[kelaparan]] yang telah dihasilkan dari kekurangan pasokan beras dan keengganan Soekarno mengambil bantuan negara-negara Barat.
 
Sebagai hasil dari eliminasi komunis, Soeharto kemudian dipandang sebagai seorang yang pro-Barat dan [[anti-komunis]]. Sebuah hubungan militer dan diplomatik yang akan berlangsung lama antara Indonesia dan negara-negara Barat telah dibangun, yang kemudian mengarah ke pembelian senjata dari [[Amerika Serikat]], [[Inggris Raya]], [[Australia]] dan pelatihan personilpersonel militer Indonesia oleh negara-negara tersebut.
 
==Pustaka==