Kerajaan Pagaruyung: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ejaan, replaced: dari pada → daripada (3) |
Wagino Bot (bicara | kontrib) k minor cosmetic change |
||
Baris 35:
'''Pagaruyung''' adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera, wilayahnya terdapat di dalam provinsi [[Sumatera Barat]] sekarang. Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon [[Nibung]] atau Ruyung,<ref>Anonim. 1822. Malayan Miscellanies, Vol II: The Geneology of Rajah of Pulo Percha. Printed And Published at Sumatra Mission Press. Bencoolen</ref> selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung]],<ref name="Amran"/> yaitu pada tulisan beraksara [[Jawi]] dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: ''Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri '''Pagaruyung Dārul Qarār''' Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam''.<ref name="Note">''Lihat'': [[Bagagarsyah dari Pagaruyung#Cap mohor|Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung]] </sup></ref> sayangnya pada cap mohor tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh pada masa [[Perang Padri]], setelah ditandatanganinya perjanjian antara [[Kaum Adat]] dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.<ref name="Stuers"/>
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam '''Malayapura''',<ref name="de Casparis">{{cite book
== Sejarah ==
Baris 47:
Dari [[Prasasti Amoghapasa|manuskrip]] yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang [[Arca Amoghapasa]]<ref name="Kern">Kern, J.H.C., (1907), ''De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka'', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.</ref> disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di [[Malayapura]], Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada [[Prasasti Kuburajo]] dan anak dari [[Dara Jingga]], putri dari kerajaan [[Dharmasraya]] seperti yang disebut dalam [[Pararaton]]. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih [[Gajah Mada]] berperang menaklukkan Bali dan Palembang,<ref>Berg, C.C., (1985), ''Penulisan Sejarah Jawa'', (terj.), Jakarta: Bhratara</ref> pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari [[prasasti Suruaso]] yang beraksara [[Melayu]] menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi ''taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi''<ref name="Cas">{{cite journal |last=Casparis |first= J.G. |authorlink=Johannes Gijsbertus de Casparis |title=An ancient garden in West Sumatra |journal=Kalpataru |year=1990 |issue=9|pages= 40-49}}</ref> yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu [[Akarendrawarman]] yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan [[adat Minangkabau]], pewarisan dari ''mamak'' (paman) kepada ''kamanakan'' (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.<ref name="Kozok">{{cite book
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (''uparaja'') dari [[Majapahit]].<ref name="Mul">{{cite book
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.<ref name="Mul" /> Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah [[Padang Sibusuk]]. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara [[Jawa]] berhasil dikalahkan.
Baris 58:
[[Berkas:Adityawarman batu tulis.jpg|thumb|left|200px|Prasasti Adityawarman]]
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,<ref name="Sanskrit in Southeast Asia">{{cite book
Dari [[prasasti Batusangkar]] disebutkan Ananggawarman sebagai ''yuvaraja'' melakukan ritual ajaran Tantris dari [[agama Buddha]] yang disebut ''hevajra'' yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan ''San-fo-ts'i'' kepada [[Kaisar Cina]] yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan ''San-fo-ts'i''.<ref>{{cite book
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian [[Candi Padang Roco|Padangroco]], kawasan percandian [[Candi Padang Lawas|Padanglawas]] dan kawasan percandian [[Candi Muara Takus|Muara Takus]]. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.<ref name="Mul"/> Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah [[Kubilai Khan]] dari [[Mongol]] dan raja [[Kertanegara]] dari [[Singhasari]].<ref name="Poepo">{{cite book
=== Pengaruh Islam ===
Baris 76:
<blockquote class="toccolours" style="text-align:justify; width:45%; margin:0 0em 1em .25em; float:right; padding: 10px; display:table; margin-left:10px;">"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku [[prosa]] dan [[puisi]], tetapi juga dalam perutusan [[surat]], dan pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan surat daripada raja-raja dari kepulauan [[Maluku]], maupun menterjemahkan surat daripada raja [[Kedah]] dan [[Terengganu]] di [[Semenanjung Malaya]] atau dari [[Minangkabau]] di [[Sumatera]]".<p style="text-align: right;">— Pendapat dari [[William Marsden]].</blockquote>
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan [[Kesultanan Aceh]],<ref>Kathirithamby-Wells, J., (1969), ''Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663'', JSEAH 10, 3:453-479.</ref> dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya ''Raja Pagaruyung'' mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.<ref>Basel, J.L., (1847), ''Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust'', TNI 9, 2:1-95.</ref> Selanjutnya VOC melalui seorang ''regent''nya di Padang, ''Jacob Pits'' yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada ''[[Ahmadsyah dari Pagaruyung|Sultan Ahmadsyah]], Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas'' serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.<ref>NA, VOC 1277, ''Mission to Pagaruyung'', fols. 1027r-v</ref> Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674<ref name="Dobbin">{{cite book
Ketika [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] berhasil mengusir [[Kesultanan Aceh]] dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,<ref name="Amran">{{cite book|last=Amran|first=Rusli|authorlink=Rusli Amran|title=Sumatera Barat hingga Plakat Panjang|publisher=Penerbit Sinar Harapan|year=1981}}</ref> melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi [[emas]] di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian [[Belanda]] dan [[Inggris]] untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.<ref>Haan, F. de, (1896), ''Naar midden Sumatra in 1684'', Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.</ref>
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di [[Padang]] dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di [[Bengkulu]], bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.<ref name="Kato">{{cite book
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan [[Perancis]] dalam [[Peperangan era Napoleon|Perang Napoleon]] di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. [[Stamford Raffles|Thomas Stamford Raffles]] mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.<ref name="Raffles">{{cite book
=== Runtuhnya Pagaruyung ===
Baris 90:
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh [[Aceh]], sedangkan [[Kerajaan Inderapura|Inderapura]] di [[kabupaten Pesisir Selatan|pesisir selatan]] praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara [[Kaum Padri]] dan [[Kaum Adat]]. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. [[Muning Alamsyah dari Pagaruyung|Sultan Arifin Muningsyah]] terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke [[Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Kuantan Singingi|Lubuk Jambi]].<ref>{{cite book|last=Francis||first=E.
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada [[Belanda]], dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan [[Inggris]] sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.<ref name="Amran"/> Pada tanggal [[10 Februari]] [[1821]]<ref name="Stuers">{{cite book|last=Stuers||first=H.J.J.L.|coauthor= Veth, P.J.
[[Berkas:Naar-beide-zijden-front.jpg|thumb|left|250px|Pasukan Belanda dan [[Kaum Padri|Padri]] saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.]]
Baris 99:
Setelah menyelesaikan [[Perang Diponegoro]] di [[Jawa]], Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, [[Pulau Madura|Madura]], [[Bugis]] dan [[Ambon]].<ref>Teitler, G., (2004), ''Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837'': Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw.</ref> Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal [[2 Mei]] [[1833]] Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Elout]] di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia ([[Jakarta]] sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.<ref>Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Alam Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.</ref>
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.<ref>Anon, (1893), ''Mededelingen...Kwantan''. TBG 36: 325–42.</ref> Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di [[Negeri Sembilan]], dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan [[Inggris]].<ref name="Amran"/> Sementara setelah berakhirnya [[Perang Padri]], [[Tuan Gadang]] di [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]] meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekadar ''Regent'' Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda,<ref name="Radjab">{{cite book
== Wilayah kekuasaan ==
Baris 172:
{{Raja Malayapura}}
=== Aparat pemerintahan ===
''Adityawarman'' pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di [[Majapahit]]<ref name="Dt">Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), ''Tambo Minangkabau dan Adatnya'', Jakarta: Balai Pustaka.</ref> masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya ([[Kerajaan Dharmasraya|Dharmasraya]] dan [[Sriwijaya]]) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh [[Datuk di Minangkabau|Datuk]] setempat.<ref>{{cite book
Setelah masuknya Islam, ''[[Raja Alam]]'' yang berkedudukan di [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu ''Raja Adat'' yang berkedudukan di [[Buo, Lintau Buo, Tanah Datar|Buo]], dan ''Raja Ibadat'' yang berkedudukan di [[Sumpur Kudus, Sijunjung|Sumpur Kudus]]. Bersama-sama mereka bertiga disebut ''[[Rajo Tigo Selo]]'', artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam [[bahasa Minang]] adalah ''tigo tungku sajarangan''. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem [[patrilineal]]<ref>{{cite journal |last=Benda-Beckmann |first=Franz von |title=Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra |journal=Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde | issue =86 |year=1979|pages=58 }}</ref> berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan ''suku'' yang masih tetap pada sistem [[matrilineal]].<ref name="Dt"/>
|