Kadipaten Panjalu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: obyek → objek
Baris 226:
Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana ([[1595-1608]]) juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut, maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam.
 
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat. Pada tahun [[1579]] pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm200 cm x 160cm160 cm x 20cm20 cm yang bernama ''Palangka Sriman Sriwacana'' (orang Banten menyebutnya ''Watu Gilang'' atau batu berkilau) . Akibat peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana ([[1567-1579]]) beserta seluruh anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda.
 
Menurut sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan ''Kandaga Lante'' yang terdiri dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata ([[1530-1579]]) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar [[Prabu Geusan Ulun]] ([[1579-1601]]).
Baris 277:
 
== Masa [[VOC]] dan [[Hindia Belanda]] ==
 
 
[[Berkas:Voc.jpeg|thumb|left|VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur)]]
Baris 303 ⟶ 302:
Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu, berada satu lokasi dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.
 
Dewasa ini Nusa Larang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi obyekobjek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari [[Jawa Timur]], apalagi setelah Presiden IV RI [[K.H. Abdurrahman Wahid]] atau [[Gus Dur]] diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
 
== Silsilah Panjalu ==
Baris 403 ⟶ 402:
 
== Bumi Alit ==
 
 
 
Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata ''bumi alit'' dalam Bahasa Sunda berarti "rumah kecil" .
Baris 429 ⟶ 426:
 
Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk.
 
 
Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu '''Raden Hanafi Argadipradja''', cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu.