Komisi Yudisial Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: VisualEditor karakter berulang [ * ]
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: praktek → praktik (2)
Baris 1:
{{Kotak info lembaga yudikatif
| nama_lembaga = Komisi Yudisial</br /> Republik Indonesia
| native_name = <!-- nama lain lembaga -->
| gambar = [[Berkas:Logo KY.jpg|250px]]<!-- logo/gambar -->
Baris 15:
<!-- Pimpinan -->
| nama_jabatan_pimpinan1 = [[Daftar Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia|Ketua]]<!-- nama jabatan pimpinan -->
| nama_pejabat1 = [[Maradaman Harahap]] <small>(Ketua sementara merangkap Ketua Bidang Rekrutmen Hakim)<small/small>
| nama_jabatan_pimpinan2 = [[Daftar Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia|Wakil Ketua]]
| nama_pejabat2 = [[Farid Wajdi]] <small>(Wakil Ketua sementara merangkap Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim)<small/small>
| nama_jabatan_pimpinan3 = Anggota
| nama_pejabat3 = [[Sukma Violetta]]</br /><small>(Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi)<small/small>
| nama_jabatan_pimpinan4 = Anggota
| nama_pejabat4 = [[Joko Sasmito]]</br /><small>(Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi)<small/small>
| nama_jabatan_pimpinan5 = Anggota
| nama_pejabat5 = [[Sumartoyo]]</br /><small>(Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan)<small/small>
| nama_jabatan_pimpinan6 = Anggota
| nama_pejabat6 = <small>Lowong<small/small>
| nama_jabatan_pimpinan7 = Anggota
| nama_pejabat7 = <small>Lowong<small/small>
| nama_jabatan_pimpinan8 =
| nama_pejabat8 =
Baris 33:
| nama_pejabat9 =
| nama_jabatan_pimpinan10 =
| nama_pejabat10 =
 
<!--Jabatan lainnya-->
Baris 42:
<!--Jabatan lainnya seperti Panitera -->
| nama_jabatan_lainnya2 =
| nama_pejabat_lainnya2 =
 
<!--Sekretaris / Sekretaris Jenderal-->
Baris 55:
 
== Sejarah ==
Komisi Yudisial merupakan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir tahun 1998. Saat itu, salah satu dari enam agenda reformasi yang diusung adalah penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut merupakan wujud kekecewaan rakyat terhadap praktik penyelenggaraan negara sebelumnya yang dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan.
 
Sejarah Komisi Yudisial dimulai pada 9 November 2001, saat sidang tahunan Majelis Permusyarawatan Rakyat RI mengesahkan amandemen ketiga UUD 1945. Dalam sidang itulah Komisi Yudisial resmi menjadi salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam konstitusi/dasar negara dalam Pasal 24B UUD 1945.
Baris 63:
{{cquote|Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
 
Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktekpraktik-praktekpraktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah}}
 
Beberapa agenda kebijakan mulai digagas,sepertipemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutifdan pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum. Untuk merealisasikan hal tersebut, terdapatperubahan penting dalam tubuh kekuasaan kehakiman melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
Salah satu pokok perubahan yang mendasar ialah penempatan tiga aspek organisasi, administratif, dan finansial kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di Mahkamah Agung. Sebelumnya, secara administratif ada di bawah kendali Departemen Kehakiman.Sedangkan secara teknis yudisial, berada dalam kekuasaan Mahkamah Agung. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan penyatuatapan kekuasaan kehakiman (''one roof of justice system'').
 
Kehadiran sistem tersebut bukan tanpa kekhawatiran. Menyadur naskah akademis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, penyatuatapan –tanpa perubahan sistem lainnya misalnya rekrutmen, mutasi, promosi, dan pengawasan terhadap hakim– berpotensi melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman.
 
Selain itu, ada pula kekhawatiran [[Mahkamah Agung Republik Indonesia|Mahkamah Agung]] belum mampu menjalankan tugas barunya karena memiliki beberapa kelemahan organisasi yang sampai saat ini masih dalam upaya perbaikan. Alasan lain ialah gagalnya sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik. Sehingga penyatuatapan kekuasaan kehakiman ke [[Mahkamah Agung Republik Indonesia|Mahkamah Agung]] belum menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Baris 77:
===Gagasan Pembentukan Penegak Etik Hakim===
 
Pembentukan lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial. Misalnya, ada wacana pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH).
 
MPPH yang telah diwacanakan sejak tahun 1968, berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Sayangnya, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Baris 83:
Sementara Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.
 
Barulah ide pembentukan Komisi Yudisial mulai terealisasi pada tahun 1999, setelah Presiden B.J. Habibie membentuk panel diskusi mengkaji pembaharuan UUD 1945. Istilah Komisi Yudisial sendiri dikemukakan oleh Hakim Agung Iskandar Kamil. Ia ingin agar kehormatan, keluhuranmartabat, serta perilaku hakim terjaga. Kemudiannama Komisi Yudisial secara eksplisit mulai disebut saat ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004.Maka, secara resmi nama Komisi Yudisial tercantum dalam Pasal 24B UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen ketiga.
 
Berdasarkan Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara bersifatmandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung danmempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kemudian pada 13 Agustus2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disahkan. Implementasi dari undang-undang tersebut, pemerintah membentuk panitia seleksi untuk mengisi organ Komisi Yudisial dengan memilih tujuh orang yang ditetapkan sebagai Anggota Komisi Yudisial.
 
===Periode 2005 - 2010===
 
Meski pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 pada 13 Agustus 2004, namun kiprah Komisi Yudisial dimulai sejak terbentuknya organ organisasi pada 2 Agustus 2005. Ditandai dengan pengucapan sumpah ketujuh Anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010di hadapanPresiden Susilo Bambang Yudhoyono.
 
Periode tersebut dipimpin Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, dan Wakil Ketua M.Thahir Saimima, S.H., M.Hum. Anggota yang lain adalah Prof. Dr. Mustafa Abdullah (Koordinator Bidang Penilaian Prestasi Hakim dan Seleksi Hakim Agung),Zaenal Arifin, S.H.(Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat), Soekotjo Soeparto, S.H., L.LM. (Koordinator Bidang Hubungan Antar Lembaga), Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais,S.H., M.H. (Alm)(Koordinator Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan Irawady Jonoes,S.H.(Koordinator Bidang Pengawasan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim) yang tidak dapat menuntaskanhingga masa jabatan berakhir.
Baris 97:
Sebagai organisasi baru, pada awal masa menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Yudisial masih dengan kondisi yang memprihatinkan. Pada saat Komisi Yudisial terbentuk, lembaga negara ini belum memiliki kantor untuk menjalankan aktivitasnya. Awalnya, Komisi Yudisial menumpang sebuah ruangan milik Departemen Hukum dan HAM dengan sarana dan prasarana seadanya. Setelah itu Komisi Yudisial pindah kantor dengan menyewa dua lantai sebuah gedung di jalan Abdul Muis. Setelah melalui proses panjang, akhirnya Komisi Yudisial baru menempati gedung sendiri di Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusatsejak Agustus tahun 2009.
 
Dalam perjalanannya, lembaga yang diberi amanat untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung danmempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim ini tak luput dari peristiwa yang menyesakan dada.
 
Sebanyak 31 orang hakim agung mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Yang akhirnya, melalui Putusan MahkamahKonstitusi Nomor: 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim MK tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah mengajukannya.
Baris 110:
 
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemilihan Pimpinan Komisi Yudisial, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial dijalankan selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali untuk 2 tahun dan 6 bulan berikutnya.Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum. mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial periode Desember 2010 – Juni 2013 pada 30 Juni 2013. Keduanya telah memimpin Komisi Yudisial selama 2,5 tahun sejak terpilih pada 30 Desember 2010 lalu.
Setelah diadakan pemilihan kembali secara terbuka dan demokratis untuk menentukan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial periode Juli 2013 – Desember 2015, terpilihlah Dr. Suparman Marzuki S.H., M.Si. sebagai Ketua Komisi Yudisial dan Dr. H.Abbas Said, S.H., M.H. sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial.
 
Sementara Dr.Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. dipercaya sebagai Ketua Bidang Rekrutmen Hakim; Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. sebagai Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi;Dr. H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum sebagai Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi; Dr. Jaja Ahmad Jayus, S,H., M.H. sebagai Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, dan Penelitian dan Pengembangan; dan Dr. Ibrahim, S.H.,L.LM sebagai Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim.
 
Pada 1 April 2013, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si memutuskan pensiun dini. Selama masa kekosongan posisi itu, Komisioner Komisi Yudisial menunjuk Ir. Andi Djalal Latief, M.S. sebagai (Plt) Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial. Setelah melewati proses seleksi sekretaris jenderal, akhirnya Danang Wijayanto, Ak., M.Si dilantik sebagai Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial oleh Ketua Komisi Yudisial Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. pada 29 Agustus 2013 di Auditorium Komisi Yudisial, Jakarta. Penunjukan akhirnya Danang Wijayanto, Ak., M.Si dalam jabatan Eselon IA dengan pangkat Pembina Utama Muda IV-C berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 96/M/2013 tertanggal 23 Agustus 2013.
 
===Penguatan Kewenangan===
 
Usaha untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang dirintis sejak masa kepemimpinan Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum mulai membuahkan hasil di bawah kepemimpinan Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. Komisi Yudisial memiliki amunisi baru dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada 9 November 2011. Kelahiran Undang – Undang ini menandai kebangkitan kembali Komisi Yudisial.
 
Selain itu, amunisi lain yang menguatkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
 
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagiKomisi Yudisial, antara lain : melakukan seleksi pengangkatan hakim adhoc diMahkamah Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraanhakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjagakehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapanbekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilanpaksa terhadap saksi.
 
Disahkannya undang-undang tersebut merupakankonkritisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisialsebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balancesdi bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakimanyang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyatIndonesia.
 
Namun, kembali terjadi permohonan uji materiil terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB)Ketua Mahkamah Agung Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Kemudian pada 9 Februari 2012, majelis hakim di Mahkamah Agung, yang diketuai oleh Paulus Effendie Lotulung, memutuskan perkara Nomor: 36 P/HUM/2011 bahwa mengabulkan permohonan dan poin-poinpenerapan dalam pasal 8 dan 10dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Baris 130:
Artinya butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perudang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
 
Kemudian untuk lebih menjalin komunikasi yang lebih intens dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung mulai membentuk Tim Penghubung yang berfungsi sebagai jembatan mencapai titik temu dan mencairkan hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung. Gagasan adanya Tim Penghubung ini berawal dari pertemuan pimpinan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung di Gedung Mahkamah Agung pada awal Desember 2011. Tim Penghubung dilandasi semangat kerja mendekatkan dan menyamakan pandangan dan penafsiran tugas kedua lembaga.
 
Setelah melewati proses dan koordinasi panjang, lahirlah empat Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Yudisial Periode Desember 2010 – Juni 2013 Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan Ketua Mahkamah Agung Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H. pada 27 September 2012. Keempat Peraturan Bersama tersebut berisi tentang Seleksi Pengangkatan Hakim, Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Tata Cara Pemeriksaan Bersama dan Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
 
===Batal Membentuk Panel Ahli dan MKHK===
Baris 142:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka penyelamatan wibawa MK. Perpu Nomor 01 Tahun 2013 tersebut mengamanatkan dua kewenangan baru Komisi Yudisial (KY), yaitu membentuk panel ahli untuk melakukan rekrutmen hakim MK dan memfasilitasi pembentukan Majelis Kehormatan MK. Kemudian DPR mengesahkan Perppu MK itu menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang Undang tertanggal19 Desember 2013.
 
Namun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 diuji materi oleh gabungan advokat dan konsultan hukum yang menamakan Forum Pengacara Konstitusi serta sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang melakukanuji materi UU Nomor 4 Tahun 2014 dengan perkara nomor 1-2/PUU-XII/2014. Dalam sidang pembacaan putusan yang dilakukan delapan hakim konstitusi di ruang sidang MK yang diketuai oleh Hamdan Zoelva pada 13 Februari 2014sore terungkap, majelis memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan pemohon yang dicantumkan dalam pengajuan uji materi undang-undang tersebut.
 
Berdasarkan uji materi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 beserta seluruh lampirannya bertentangan dengan UUD 1945 dan undang-undang tersebut juga diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Konsekuensinya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 berlaku kembali sebagai landasan hukum. Sehingga, terhadap pembentukan MKHK dan Panel Ahli Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Konstitusi menjadi tidak berlaku.
Baris 252:
* [http://www.pkh.komisiyudisial.go.id/ Portal Peningkatan Kapasitas Hakim - Komisi Yudisial]
* [http://www.pkh.komisiyudisial.go.id/elearning Pembelajaran jarak jauh (e-learning) Peningkatan Kapasitas Hakim - Komisi Yudisial]
{{indo-stub}}
 
{{Topik Indonesia}}
Baris 258 ⟶ 257:
[[Kategori:Komisi Yudisial| ]]
[[Kategori:Lembaga nonstruktural Indonesia]]
 
 
{{indo-stub}}