Filsafat linguistik: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: praktek → praktik
Baris 12:
 
=== Metafisika ===
Metafisika ialah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori yang paling pokok atas pengelompokan hal dan benda dan gambaran saling hubungan mereka. Di dalam metafisika ini, maka dapatlah filsuf-filsuf seperti Plato dan Aristoteles mencoba memahami bahasa. Sebagai misal, dalam bukunya ''Republik'' Plato berkata, “Manakah sejumlah orang menyebut kata yang sama, kita berasumsi bahwa mereka itu juga memikirkan ide yang sama”. Jadi kalau orang-orang menggunakan kata yang sama seperti ''rumah'' dan ''pohon'', maka Plato beranggapan bahwa di dalam masyarakat memang ada kesatuan ide seperti ''rumah'' dan ''poho''n itu. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkinlah beberapa orang yang berlainan menggunakan kata-kata yang sama itu.
 
Di dalam buku ''Metaphysics'', Aristoteles menulis “... Kita boleh bertanya apakah kata-kata seperti ''berjalan, duduk, sehat'' itu ada. Bukankah yang ada itu ialah pekerjaan ‘''berjalan, duduk, atau sakit''’. Kegiatan itu dianggap lebih nyata karena ada sesuatu yang pasti yang mendasarinya, yaitu benda atau orang....” Dalam hal ini, Aristoteles mulai dengan kenyataan bahwa orang tidak menggunakan kata kerja kecuali berhubungan dengan subjek yang dalam hidupnya memang menjalankan pekerjaan-pekerjaan seperti berjalan, duduk, dan sakit. Dari kenyataan ini, Aristoteles berkesimpulan bahwa benda itu mempunyai keberadaan yang lebih bebas dari kata kerja, benda itu lebih pokok daripada kegiatan.
 
Pada akhir abad 19, seorang Filsuf Jerman, Meinong, berkata bahwa setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai ''referent'' (acuan). Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Kalau benda acuan itu tidak dapat dilihat di sekitar kita, maka tentulah benda itu ada dengan cara keberadaan yang lain. <br />
 
Pada abad dua puluh ini, ada aliran filsafat yang disebut ''logica atomism''. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain ialah Bertrand Russel dan Ludwig Wittgenstein. Berkenaan dengan hal ini, Russel berkata antara lain : ”...di dalam simbolisme yang benar dan logis, antara fakta dan simbol yang melambangi fakta itu tentulah terdapat struktur yang beridentitas jelas. Kekompleksitasan simbol tentu menyerupai kekompleksitasan fakta yang dilambanginya.”
Baris 54:
Bahasa standar (baku) timbul ketika beberapa masyarakat yang terpisah merasa ada keperluan untuk saling berhubungan. Bahasa baku atau dialek baku ialah bahasa atau dialek yang dipilih oleh anggota berbagai masyarakat untuk saling berkomunikasi. Bahasa standar ialah bahasa yang dianggap betul oleh masyarakat pemakainya. Bentuk dan pemakaian bahasa baku ini menjadi model percontohan bagi seluruh rakyat.
 
Di samping menyesuaikan diri kepada orang yang diajak bercakap, seseorang penutur bahasa biasanya akan mencoba menyesuaikan diri dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang terpakai secara luas di masyarakat. Dalam praktekpraktik penggunaan bahasa, tarik-menarik antara bahasa standar dengan bahasa yang digunakan secara akrab ini berjalan terus-menerus.<br />
 
'''2. Fungsi standardisasi'''
 
''Pertama-tama'', bahasa baku berfungsi sebagai semacam ''lingua franca'' di dalam masyarakat yang menggunakan bermacam-macam dialek. Dengan bahasa standar ini, orang dari berbagai daerah dapat saling berhubungan dengan baik. Sebagai misal, orang dari Temburung dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang dari Seria. Orang dari Aceh dapat saling berhubungan dengan orang dari Bali, Manado, atau dari Irian Jaya.<br />
 
Karena orang dari masyarakat lain itu biasanya belum dikenal secara akrab, maka sebaiknyalah bahasa yang dipakai itu bersifat sopan. Jadi, kalau dialek memancarkan nuansa arti akrab, maka bahasa baku memancarkan nuansa arti sopan santun. Jadi, di samping berfungsi sebagai ''lingua franca'' di dalam masyarakat dari berbagai macam dialek, bahasa baku juga berfungsi sebagai pengantar kesopan-santunan. Bahasa baku harus dapat dipakai untuk menyampaikan hal-hal dalam suasana yang santun.<br />
 
Selanjutnya, bahasa baku juga berfungsi untuk mengendalikan laju perubahan dialek-dialek yang tumbuh. Bahasa baku yang mempunyai martabat yang tinggi, disenangi oleh masyarakat pemakainya, biasanya dapat memperlambat lajunya perubahan yang dialami oleh dialek-dialek.<br />
 
'''3. Bentuk standardisasi'''
 
Ragam bahasa yang santun biasanya jelas dan lengkap. Ucapannya harus jelas. Komponen wacananya lengkap dan logis, dan tidak berputar-putar.
Karena tuntutan kejelasan inilah, maka biasanya bahasa baku itu bersifat kaya (''elaborated'') dan mempunyai aturan tata bahasa yang ketat. Aturan sintaksis, aturan morfologi, aturan fonologi, dan aturan semantiknya stabil dan ketat. Bentuk dan aturan yang ada tidak boleh digunakan semau-maunya dan tidak boleh mudah berubah. Di samping itu, pola kalimatnya, pola morfo-sintatiknya, pola fonologinya, dan juga perbendaharaan katanya kaya. Dalam hal ini, bahasa baku berbeda dengan dialek-dialek yang tidak standar, karena dialek yang tidak standar itu relatif miskin (''restriced'') dan kondisifikasinya longgar. Apapun boleh dikatakan, asal si lawan bicara tahu maksud kita. <br />
 
'''4. Tempat standardisasi'''
 
Bahasa yang terpakai di pusat kebudayaan biasanya terpilih menjadi bahasa standar ini. Pusat kerajaan biasanya menggunakan bahasa standar. Mungkin saja di pusat kebudayaan inilah yang amat memerlukan bahasa yang sopan dan yang dapat dipakai untuk mengantarkan segala pesan secara jelas. Di pusat kerajaan berbagai orang dari berbagai masyarakat bertemu membicarakan berbagai masalah. Pembicaraan itupun biasanya dijalankan dalam suasana resmi dan penuh dengan rasa sopan santun.<br />
 
Itulah sebabnya, maka sekarang ini ragam bahasa yang dipakai di pusat negeri biasanya terpakai sebagai ragam bahasa baku. Ibukota negara seperti Jakarta, London, Bangkok, Bandar Seri Begawan, dan lain-lain menjadi tempat di mana bahasa baku berkembang. Di Jawa, untuk bahasa Jawa, bahasa yang dipakai di pusat kesultanan di Yogyakarta dan Surakarta pun menjadi bahasa standar.<br />
 
Itulah sebabnya, maka sekarang ini ragam bahasa yang dipakai di pusat negeri biasanya terpakai sebagai ragam bahasa baku. Ibukota negara seperti Jakarta, London, Bangkok, Bandar Seri Begawan, dan lain-lain menjadi tempat di mana bahasa baku berkembang. Di Jawa, untuk bahasa Jawa, bahasa yang dipakai di pusat kesultanan di Yogyakarta dan Surakarta pun menjadi bahasa standar.<br />
 
== Fungsi Bahasa ==
Pada kenyataannya, fungsi yang harus disandang oleh bahasa tidak hanya satu macam. Karena hal inilah maka sukar bagi para filosof untuk mematoki bahasa sebagai alat komunikasi yang akurat, satu simbol melambangi satu makna, satu makna dilambangi satu simbol.<br />
 
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa beserta variasi-variasinya antara lain ialah sebagai berikut :<br />
 
'''1. Register sebagai Penyampai Maksud'''
 
Dikatakan bahwa bahasa ialah alat untuk berkomunikasi. Berkomunikasi pada dasarnya ialah menyampaikan maksud. Maksud itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat ''instinctive'' dan ada juga yang sangat bersifat ''manusiawi''. Yang bersifat ''instinctive'' ialah komunikasi seperti yang dijalankan hewan, yang biasanya bersifat ''emotive'' (berseru, mengelu, menyatakan rasa lega, meneriakkan perintah atau larangan). Yang bersifat manusiawi ialah komunikasi yang berbentuk bertanya, menjawab, memberitahu, menanggapi.<br />
 
'''2. Ragam sebagai Penyampai Rasa Santun'''
Baris 91 ⟶ 90:
Ragam formal sering berbentuk sama dengan apa yang dinamakan '''bahasa baku''' atau ragam '''bahasa standar'''. Ragam informal kadang-kadang terdiri dari dialek bahasa yang sama, tetapi yang bukan baku. Kadang-kadang juga, ragam informal itu terdiri dari “penyantaian” bahasa standar itu. Kata-katanya sering tidak diucapkan secara penuh, aturan tata kalimatnya sering tidak ketat, kata-kata yang teknis sering diganti dengan kata-kata yang umum saja. (Poedjosoedarmo, 1978).
 
Kepekaan anggota masyarakat dalam menggunakan masing-masing variasi ini mencerminkan kepekaan masyarakat terhadap aturan sopan santunnya. Ragam tutur yang wujudnya ditentukan oleh peristiwa percakapan, sebaliknya mengatur anggota masyarakat agar memperhatikan pemakaian ragam itu dan memperhatikan berbagai peristiwa tutur yang berbeda-beda. Memperhatikan cara penggunaan ragam tutur menjadikan anggota masyarakat peka terhadap adanya situasi bicara yang berbeda-beda. Dengan kata lain, adanya ragam tutur ini masyarakat dibuat peka dan dipaksa untuk menaati aturan sopan santun. Masyarakat tidak boleh menggunakan ragam tutur semaunya sendiri dalam bercakap di berbagai situasi dan peristiwa percakapan.<br />
 
'''3. Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat'''
Baris 113 ⟶ 112:
Kecuali sebagai penanda asal usul seseorang, dialek atau bahasa juga dapat dipakai untuk mendapatkan rasa solidaritas, rasa senasib dan sepenanggungan oleh para penggunanya di hadapan orang dari kelompok masyarakat lain. Sebagai contoh, kalau sewaktu di negeri lain kita berjumpa orang dari daerah kita, rasanya seperti berjumpa dengan saudara sendiri, walaupun sebetulnya orang lain itu belum pernah kita lihat sebelumnya. Di Jakarta, pegawai-pegawai di pusat pemerintahan biasanya merasa senang melayani orang yang datang dari daerah seasal. Mereka senang melayani orang yang bercakap dengan dialek atau bahasa yang sama dengannya. Mengapa begitu? Karena dirasanya orang-orang itu seperti keluarganya sendiri.
 
Mengapa dialek atau bahasa yang sama dapat menimbulkan rasa solidaritas? Sebabnya ialah karena dialek atau bahasa yang sama itu adalah milik penutur bersama. Bukan saja milik mereka bersama, tetapi hasil kreasi mereka bersama. Anggota masyarakat bukan saja secara bersama menggunakan dialek atau bahasa itu, melainkan juga menghasilkan inovasi-inovasi secara bersama dan melupakan hal yang tak perlu secara bersama. Siapakah yang menjadikan dialek itu berbeda dengan dialek yang lain kalau bukan seluruh anggota masyarakat dalam kawasan dialek atau bahasa itu. Dialek itu timbul dan tenggelam karena ulah bersama seluruh anggota kelompok masyarakat, dan gunanya memang hanya dinikmati oleh seluruh anggota kelompok masyarakat itu. Dari satu segi, dialek atau bahasa dapat dipersamakan dengan anak kandung, dan anggota masyarakat sebagai suami-isteri. Dialek atau bahasa itu ialah “hasil karya” orang-orang yang menjadi anggota kelompok masyarakat. Maka dari itu, dialek atau bahasa itu dapat menjadi pengikat rasa solidaritas orang-orang dalam kelompok itu. Rasa solidaritas ini tampak kuat pada waktu kelompok itu menghadapi orang luar. <br />
 
'''6. Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian'''<br />
 
Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas, bahasa juga dapat dipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian bangsa. Suatu bangsa biasanya mempunyai bahasa sendiri untuk mengekspresikan dirinya tanpa didikte oleh bangsa lain. Bahasa yang tersendiri ini diperlakukan, karena bangsa itu biasanya memiliki segi-segi kehidupan yang khusus, yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Bangsa itu mungkin mempunyai sistem pemerintahannya sendiri; mungkin mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan bangsa lain yang mana pun; mungkin mempunyai agama dan kehidupan kesenian yang khas; mungkin mempunyai cara-cara menyelesaikan perkara secara lain, dst. Kesemuanya itu ada lambang-lambangnya sendiri. Karena inilah, maka biasanya bahasa yang dimilikinya lain dari bahasa yang lainnya. <br />
 
Rasa kemandirian ini biasanya ditentukan oleh pemilikan bahasa yang mempunyai standarnya sendiri. Kalau si bangsa itu mempunyai bahasa yang bermartabat tinggi di negerinya sendiri, maka bangsa itu biasanya juga merasa menjadi tuan di negerinya sendiri. Tetapi, kalau bahasa yang dipakainya itu hanyalah dialek dari bahasa lain, maka bangsa itu sering merasa tergantung pada bangsa yang memiliki bahasa yang ada standarnya itu. Bangsa itu kurang berdikari dalam berbagai segi kehidupannya. Bangsa itu kurang dapat membanggakan pencapaiannya sendiri. <br />
 
Sebetulnya, yang terpenting di dalam rasa kemandirian ini ialah adanya kebebasan bangsa itu di dalam menentukan standar bahasa itu, sistem tulisnya, tata kalimatnya, idiom-idiomnya, nilai-nilai kesopanan serta keindahan di dalam bahasa itu, dan selanjutnya dapat memakai bahasa itu secara natural untuk mengekspresikan diri dan menciptakan apa saja yang ingin mereka ciptakan tanpa berkiblat pada bangsa yang mana pun.<br />
 
Jadi, bahasa itu mungkin seasal dengan bahasa yang dimiliki oleh bangsa lain. Akan tetapi, asal saja bangsa itu bebas di dalam menentukan segala-galanya, maka bahasa yang dimilikinya itu pun sudah mencukupi sebagai alat untuk menopang rasa kebebasannya. Akan tetapi, sebaliknya, kalau aturan gramatika dari bahasa itu ditentukan oleh bangsa lain, karena bahasa itu memang asalnya ialah milik bangsa lain itu, maka rasa kebebasan itu pun tidak ada. Kalau aturan dan nilai-nilai ditentukan oleh bangsa lain, maka rasa mandiri dengan sendirinya tidak ada. <br />
 
7.''''' Genre'' sebagai Pengaman Kejiwaan'''<br />
 
Melalui variasi bentuknya yang sesuai dengan warna perasaan yang ada pada seseorang individu, bahasa juga dapat dipakai sebagai penyalur tekanan jiwa. Dalam hidupnya, seseorang individu sering dirundung perasaan yang berat, pikiran yang mendalam, serta keinginan mengerjakan sesuatu yang keras. Kalau saja hal-hal yang merundung itu dapat diekspresikan, kadang-kadang orang lalu merasa lega. Tekanan perasaan dan yang lainnya pun menjadi berkurang. Tetapi sebaliknya, kalau hal itu tidak dikatakan kepada orang lain, kalau hanya ditahan saja di dalam diri sendiri, letupan emosi yang keras pun dapat timbul. <br />
 
Segi apakah yang menjadi penyalur tekanan pikiran dan perasaan itu? Segi ekspresinya. Manakala bahasa itu dapat dituturkan sesuai dengan pikiran atau perasaannya, maka tuturan itu pun telah melaksanakan fungsinya sebagai penyalur perasaan dan pikiran itu.<br />
 
'''8. Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan'''<br />
 
Ada pepatah bahasa Melayu yang berbunyi ''bahasa menunjukkan bangsa''. Maksudnya antara lain ialah bahwa kesopanan yang terkandung di dalam bahasa itu sering mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa, atau tingginya martabat seseorang. <br />
 
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa itu yang dapat dipakai untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan suatu bangsa. Perbendaharaan unsur fonologi dan morfosintaksis kiranya tak dapat dipakai sebagai cermin kemajuan kebudayaan itu. Tetapi perbendaharaan kata dan idiom jelas mencerminkan ide dan pengalaman-pengalaman yang pernah dan sedang dihayati oleh suatu bangsa.
Di samping perbendaharaan kata, berbagai variasi tutur seperti ragam, dialek, tingkat tutur, register khusus, genre dan tata format yang ada di dalam bahasa itu pun dengan baik mencerminkan apa yang dialami oleh bangsa di dalam berbagai segi kehidupannya.<br />
 
Ragam tutur mencerminkan adat sopan santun bangsa sehubungan dengan sikap-sikapnya terhadap berbagai peristiwa dan situasi bicara. Dialek mencerminkan kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk bangsa itu. Tingkat tutur mencerminkan adat sopan santun sehubungan dengan berbagai status sosial yang dimiliki oleh anggota masyarakatnya. Register khusus mencerminkan materi yang biasanya dipercakapkan oleh bangsa itu dan juga maksud dan kehendak yang biasanya dikomunikasikan dan dihayati oleh bangsa. Format cara bertutur mencerminkan berbagai sarana tutur yang dimiliki oleh bangsa. Selanjutnya, ''genre'' mencerminkan berbagai emosi yang biasanya terpancar dari diri para penuturnya.<br />
 
Dengan mengamati bahasa yang digunakan oleh masyarakat, biasanya dapatlah kita gambarkan seberapa perkembangan peradaban masyarakat pemilik bangsa itu.