Tionghoa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: praktek → praktik
Baris 1:
{{disambiginfo}}
[[Berkas:Traditional outfit of King and Queen of Hua people.JPG|thumb|right|350px|Jubah tradisional Kaisar dan Permaisuri Huaxia, menurut masyarakat [[Shaanxi]].]]
'''Tionghoa''' atau '''Tionghwa''' (ejaan [[Bahasa Hokkien|Hokkien]] dari kata {{lang-zh|s=中华|t=中華|p=zhonghua}}, Romanisasi Min Nan: ''Tiong-hôa'') atau '''Huaren''' (华人) atau '''Bangsa Tionghoa''' atau '''Orang Tionghoa''' adalah sebutan di [[Indonesia]] untuk orang-orang dari suku atau bangsa [[Tiongkok]]. Kata ini dalam [[bahasa Indonesia]] sering dipakai untuk menggantikan kata "[[Cina]]" yang kini memiliki konotasi negatif.<ref name="Budaya Tionghoa">[http://web.budaya-tionghoa.net/home/625-istilah-tiongkok-tionghoa-china-chinese-dan-cina Budaya Tionghoa], Istilah Tiongkok Tionghoa China Chinese Dan Cina, 2011 </ref> Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar [[Republik Rakyat Tiongkok]], seperti di [[Indonesia]] ([[Tionghoa-Indonesia]]), [[Malaysia]] ([[Tionghoa-Malaysia]]), [[Singapura]], [[Hong Kong]], [[Taiwan]], [[Amerika Serikat]], dsb.. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia, istilah orang Tionghoa dan orang Tiongkok memiliki perbedaan makna; yang pertama merujuk pada etnis atau suku bangsa, yang kedua merujuk pada kewarganegaraan [[Republik Rakyat Tiongkok]]. Orang-orang Tiongkok yang pergi merantau umumnya disebut sebagai orang [[Tionghoa perantauan]] (''Hoakiao'').
 
Di Tiongkok sendiri, konsep serupa dikenal dengan nama '''Huaxia''' ({{lang-zh|s=華夏}}) yang merujuk pada konsep bangsa serta peradaban Tiongkok, yang bersumber dari kesadaran [[bangsa Han]] (kelompok etnis mayoritas di [[Tiongkok Daratan]], yang berasal dari [[Dinasti Han]]) atas nenek moyang mereka, yang secara kolektif disebut sebagai ''Huaxia''. Sedangkan istilah '''Zhonghua''' sendiri digunakan secara resmi dalam nama negara, baik pada waktu sebelum Perang Dunia II ([[Republik Tiongkok]] - Zhonghua minguo) maupun setelah Perang Saudara Tiongkok ([[Republik Rakyat Tiongkok]] - Zhonghua remin gongheguo)
Baris 21:
Pada masa awal Republik ([[Pemerintah Beiyang|1912–27]]) dan Nasionalis ([[Pemerintahan Nasionalis di Tiongkok|1928–49]]), istilah ''Zhonghua minzu'' pertama kali disebut oleh [[Liang Qichao]], yang pada mulanya hanya merujuk pada bangsa Han. Kemudian istilah tersebut diperluas untuk mencakup empat bangsa mayoritas lainnya: [[orang Manchuria|bangsa Man]] (Manchu), [[orang Mongol|bangsa Menggu]] (Mongol), bangsa [[Hui]] (kelompok etnis beragama Islam di barat laut Tiongkok), dan [[orang Tibet|bangsa Zang]] (Tibet),<ref name="Fitzgerald1995"/><ref name="BlumJensen2002">{{cite book|author1=Susan Debra Blum|author2=Lionel M. Jensen|title=China Off Center: Mapping the Margins of the Middle Kingdom|url=http://books.google.com/books?id=pA_MP4Q11qgC&pg=PA170|accessdate=23 February 2013|year=2002|publisher=University of Hawaii Press|isbn=978-0-8248-2577-5|pages=170–}}</ref>, yang merupakan pembagian yang dilakukan oleh Dinasti Qing, di bawah konsep [[Lima Bangsa di Bawah Satu Negara]] ({{lang-zh|五族共和}}). [[Sun Yat-sen]] kemudian memperluas lagi konsep ini, dia menulis:
 
{{quote|有人說,清室推翻以後,民族主義可以不要。這話實在錯了。……現在說五族共和,我們國內何止五族呢?我的意思,應該把我們中國所有各民族融化成一個'''中華民族'''。……並且要把中華民族造成很文明的民族,然後民族主義乃為完了。<br><br>
 
Ada beberapa orang berkata bahwa setelah Qing digulingkan, kita tidak butuh lagi nasionalisme. Ini salah. ... Pada saat ini kita berbicara tentang mempersatukan lima ras, tapi apakah bangsa kita hanya memiliki lima ras? Maksud saya, kita harus mempersatukan semua etnis di Tioingkok menjadi satu bangsa (''Zhonghua minzu''). ... dan lebih jauh lagi, mengembangkan bangsa Tionghoa menjadi bangsa yang yang maju, baru setelah itu nasionalisme selesai.}}
Baris 39:
Penggunaan konsep ''Zhonghua minzu'' dapat memunculkan interpretasi ulang terhadap [[sejarah Tiongkok]]. Sebagai contoh, [[Dinasti Qing]] yang didirikan oleh bangsa Manchu pada masa itu dianggap sebagai rezim "asing", atau "non-Han". Demikian pula dengan [[Dinasti Yuan]] yang didirikan bangsa Mongol. Setelah ideologi ''zhonghua minzu'' diadopsi, maka kedua suku bangsa tersebut adalah bagian dari ''zhonghua minzu'', dengan demikian mereka tidak lagi dianggap sebagai bangsa asing, dan dinasti mereka dianggap merupakan dinasti yang didirikan oleh salah satu etnis minoritas Tiongkok.
 
Di pihak lain, beberapa tokoh pahlawan tradisional Tiongkok juga dikaji ulang sejarahnya. Pahlawan seperti [[Yue Fei]] dan [[Koxinga]] yang pada mulanya dianggap telah berjasa membela Tiongkok dari serangan bangsa "[[barbar]]", sekarang telah dikarakterisasi ulang sebagai "pahlawan etnis (Han)" yang berperang bukan melawan bangsa barbar, melainkan etnis lain yang masih merupakan sesama orang Tionghoa (bangsa [[Jurchen]] dan [[Manchu]]).<ref name="chinadaily.com.cn"/>
 
Dalam prakteknyapraktiknya, konsep ''zhonghua minzu'' telah memberikan akses yang sangat luas kepada warganegara Tiongkok dari etnis minoritas. Mereka memperoleh hak masuk universitas pilihan, kebijakan pajak yang longgar, tidak perlu mengikuti program [[kebijakan satu anak]], dan beberapa kelonggaran lainnya di bawah undang-undang Tiongkok tentang etnis minoritas<ref name="Ethnic Mosaic"/> Hal ini otomatis membuat populasi etnis minoritas di Tiongkok melesat tajam, dari sekitar 5% total etnis minoritas di Tiongkok pada tahun 50-an, menjadi 10% pada tahun 2006-7.
 
=== Perbedaan Tiongkok dan Tionghoa ===
Baris 71:
 
=== Era Hindia Belanda ===
Pada tahun [[1900]] di Indonesia didirikan organisasi [[Tiong Hoa Hwee Koan]] terpengaruh gerakan pembaruan di [[daratan Tiongkok]]. Organisasi internasional ini dipimpin oleh [[Kang Youwei]] dan [[Liang Qichao]], dan di Indonesia dipimpin oleh [[Phoa Keng Hek]] di [[Jakarta]] dengan tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran [[Kong Hu Cu]] dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa.
 
Wacana Tionghoa (''zhonghua'' atau ''cung hwa'') setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880-an, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. [[Sun Yat-sen]], yang merupakan Bapak [[Revolusi Tiongkok]] dengan mendirikan [[Republik Tiongkok]] (中華民國, ''Zhonghua Min'guo'' yang secara harfiah berarti Negara "Rakyat Chung Hwa") pada tahun [[1911]], setelah menggulingkan [[Dinasti Qing]]. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan [[kebangkitan nasional]] di Indonesia. Sejak saat itu orang [[Tionghoa-Indonesia]] menyebut dirinya orang Tionghoa, yang diserap dari bahasa Tionghoa, dialek Hokkian, dan menolak disebut "Cina" (pada waktu itu ditulis "Tjina") yang sudah digunakan terlebih dahulu dan berkonotasi negatif, yang diserap dari bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Jepang. [[Mao Zedong]] juga meneruskan penggunaan kata ''Zhonghua'' untuk negara [[Republik Rakyat Tiongkok]] (中華人民共和國, ''Zhonghua Renmin Gongheguo'') yang diproklamasikan pada tahun [[1949]].
 
Tahun [[1928]], [[Soekarno]] yang merasa berutang budi kepada masyarakat Tionghoa karena koran-koran berbahasa Tionghoa banyak memuat tulisan Soekarno, sepakat mengganti sebutan "Cina" dengan "Tionghoa".<!-- lihat: http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tiongkok&diff=next&oldid=1608285 --> Koran Melayu-Tionghoa, [[Sin Po]], misalnya, adalah koran yang bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Koran ini merupakan publikasi pertama yang mengganti sebutan "[[Hindia Belanda]]" dengan [[Indonesia]] pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu [[Indonesia Raya]] ciptaan [[W.R. Supratman]].
 
=== Orde Lama ===
Baris 81:
Tahun [[1945]] di dalam teks penjelasan [[UUD 1945]] [[s:Penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945#BAB X WARGANEGARA|Pasal 26]] menggunakan istilah Tionghoa. Tahun [[1948]] pada masa pemerintahan Presiden [[Soekarno]] selepas kemerdekaan, Indonesia mengalami keadaan genting menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Meletusnya [[Peristiwa Madiun|pemberontakan PKI di Madiun]] disinyalir mendapat dukungan dari [[Partai Komunis Tiongkok]], beberapa orang Tionghoa-Indonesia pun mendukungnya, meskipun dalam jumlah yang kecil. Karena adanya benturan politik antara kaum nasionalis dan komunis, akibatnya secara umum orang Tionghoa-Indonesia dijadikan kambing hitam dan dikait-kaitkan dengan kegiatan komunisme. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru <ref>[http://lkassurabaya.blogspot.com/2007/07/cina-tionghoa-dan-tiongkok.html Blog Lembaga Kajian Agama dan Sosial: Cina, China, dan Tionghoa oleh Benny G. Setiono, Pengamat Sosial dan Politik]</ref>.
 
Tahun [[1948]] menilik dari perkembangan politik yang kian pelik, munculah larangan tak resmi penggunaan istilah Tiongkok/Tionghoa karena istilah ini digunakan oleh [[Partai Komunis Indonesia]].<ref>oer, Pramoedya Ananta, ''Hoa Kiauw di Indonesia''.</ref> Tahun [[1959]] dikeluarkan [[Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959]] yaitu larangan dagang bagi semua orang asing (termasuk orang Tionghoa dengan kewarganegaraan Tiongkok) di [[Daerah Tingkat II]].
 
Tahun 1959 orang Tionghoa-Indonesia dihadapkan pada pilihan antara menjadi warga negara Tiongkok atau [[warga negara Indonesia]] karena Indonesia tidak mengenal sistem kewarganegaraan ganda. Konflik ini kemudian meluas dengan puncaknya peristiwa rasialisme pada [[10 Mei]] [[1963]] di Bandung dan merambat ke beberapa kota lainnya seperti di Garut [[17 Mei]] [[1963]] dan kembali terjadi di kota Bandung [[5 Agustus]] [[1973]]. (Lihat pula [[Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia#Kronologi|Kronologi SBKRI]])
 
Tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI ([[Gerakan 30 September|G30S/PKI]]) dan kecurigaan akan dukungan Republik Rakyat Tiongkok yang akhirnya menggulingkan Presiden Soekarno.
 
=== Orde Baru ===
Baris 112:
#SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No 286/1978 tentang pelarangan impor, penjualan dan pengedaran terbitan dalam bahasa dan aksara Cina.
#Surat Edaran Bank Indonesia No SE 6/37/UPK/1973 tentang Kredit Investasi untuk Golongan Pengusaha Kecil.
#Surat Edaran Menteri Penerangan No 02/SE/Dit tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.
 
Pada tanggal 12 Maret 2014, Presiden [[Susilo Bambang Yudhoyono]] mengabulkan petisi tersebut, dan menerbitkan [[:s:Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014|Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014]]<ref>[http://setkab.go.id/berita-12473-melalui-keppres-no-122014-presiden-sby-ganti-istilah-cina-dengan-tionghoa.html Sekretariat Kabinet: Melalui Keppres No. 12/2014, Presiden SBY Ganti Istilah Cina dengan Tionghoa]</ref>, setelah sebelumnya ''[[judicial review]]'' ke [[Mahkamah Konstitusi]] dan [[Mahkamah Agung]] tidak dikabulkan, karena hal tersebut berada di luar kewenangan mereka.<ref>[http://poskotanews.com/2014/03/19/presiden-sby-cabut-penggunaan-istilah-china/ Presiden SBY Cabut Penggunaan Istilah China]</ref>